Hawa dingin terasa menusuk kulit kala Briyan tengah menyetir mobil menuju kawasan puncak, sementara itu Asha yang awalnya berisik kini sudah terlelap karena kelelahan, kondisi jalanan cukup macet mengingat ini adalah akhir pekan.
Briyan terus menyetir dengan sabar, merayap melewati jalanan ramai, hingga kini jalanan sunyi menuju villa mereka lalui.
Pohon-pohon besar berderet rapi sepanjang menuju villa, ada banyak villa yang berjejer pula, namun dengan jarak yang lumayan renggang, Briyan menajamkan pandangannya kala pekat malam semakin menyergap, beberapa jam mengendarai mobil sendiri membuat pria itu sedikit lelah, di tambah macet sebelum tempat ini begitu padat.
Briyan melirik pada sosok istri yang kini tengah terlelap dengan tenang, sebelum berangkat banyak drama yang terjadi, gadis itu terlalu repot menyiapkan ini dan itu, banyak hal yang dia rancang, namun jelas tanpa persiapan karena Briyan mengajaknya pergi dadakan.
Briyan menoleh ke belakang, terdapat sebuah tenda yang teronggok begitu saja, Asha memaksa agar membawa tenda, dengan dalih mereka harus tidur di dalam tenda saat di puncak nanti, menyalakan api unggun dan mereka akan bernyanyi bersama, Briyan menggelengkan kepalanya mengingat segala tingkah absurd dari seorang Berliana Asha.
Melewati jalanan sunyi, suasana semakin gelap, serangga malam mulai berdatangan mengerubungi cahaya lampu mobil yang menyinari, sekelebat bayangan aneh yang berputar secara random di kepala Briyan membuat lelaki itu terpaksa harus menepikan mobilnya, kepalanya terasa sakit mencengkram, Briyan menundukkan kepalanya di atas setir mobil, melirik Asha yang masih terbuai mimpi, mata Briyan terpejam rapat.
‘Tolong! Om! Tante! Tolong Briyan! Mereka mau culik Briyan!’ Briyan kecil berlari terengah menghampiri sepasang suami istri yang tengah menuntun anak perempuan.
‘Kak Briyan?’ mata gadis itu berbinar, namun seketika meredup dan berteriak histeris kala melihat bayangan hitam yang menjadi nyata, ada empat orang manusia yang berlari menghampiri mereka.
Briyan menggelengkan kepalanya, berusaha menepis bayangan buram itu dengan memukul-mukul kepalanya.
“Bayangan apa itu?” Briyan menggumam kesal.
‘Mamah! Papah! AAAAAAHHHKKK!!’
Teriakan gadis kecil itu membuat Briyan membenturkan kepalanya sendiri pada setir mobil, napasnya memburu, berulang kali Briyan menggumam tidak jelas.
“Bukan aku! Bukan aku!” kepala Briyan menggeleng.
“Ayang? Ayang?”
Tubuh Briyan diguncang oleh Asha, mendapati suasana tiba-tiba berisik Asha terbangun dari tidur lelapnya, gadis itu melihat suaminya tengah meracau sendiri dengan tangan memukul-mukul setir mobil.
“Asha!” Briyan memeluk tubuh Asha dalam sekali hentakan, membuat gadis itu terperangah kaget, tubuh Briyan begitu bergetar hebat, napasnya memburu.
“Ayang kenapa? Tenang ya?” Asha mengelus punggung suaminya, menenangkan sebisanya.
“Mau minum?” Asha menyodorkan sebotol air mineral yang berada di mobil tersebut, menyeka keringat yang bermunculan dengan tissue yang berada di dashboard mobil.
“A aku ... aku melihat sesuatu” Briyan masih terengah.
“Sesuatu? Apa? Apakah hantu?” Asha bertanya dengan raut was-was, gadis itu mengedarkan pandangan, suasana cukup sepi, ditambah malam kian pekat.
“Bukan” Briyan menggeleng.
“Apa kamu ingat, kenapa Mamah dan Papahmu meninggal?” Briyan bertanya dengan napas yang masih memburu, keringat masih mengalir di dahinya.
Asha menggeleng pelan, raut gadis itu berubah sendu, dia tidak mengingat apapun, kecuali kedua orangtuanya meninggal karena sebuah kecelakaan, begitu yang dokter itu katakan, selebihnya Asha tidak ingat apapun.
“Baiklah, mungkin aku yang terlalu parno karena melihat tempat ini, aku merasa pernah ada kejadian buruk di jalanan ini, duduk dengan tenang, sebentar lagi kita sampai di villa” Briyan kembali memaksakan dirinya untuk menyetir, sementara Asha kini gadis itu terdiam, kembali mengingat apa yang terjadi padanya, meski nihil. Berulangkali Asha mengingat, namun kepalanya kian sakit kala dia terus berusaha.
Mobil yang Briyan dan Asha tumpangi akhirnya tiba di halaman villa, Briyan mengeluarkan tas mereka dan berjalan menuju pintu villa.
Ceklek ...
Pintu dibuka, suasana hening mulai terasa, dinginnya malam khas puncak mulai terasa, Asha memeluk tubuhnya sendiri, mengedarkan pandangan.
“Kenapa kita malah datang ke villa ini? Bukankah villa kedua orangtua kita tadi sudah terlewat?” Asha bertanya sambil meneliti perabotan yang tertata rapi di ruangan tersebut, ruangan begitu rapi dan bersih, benar-benar siap untuk dihuni.
“Ini juga villa Papih, sama saja” ucap Briyan sambil memasukkan tas mereka ke dalam kamar yang akan mereka tempati.
“Aku lebih suka Villa Mamah” Asha beranjak mengikuti langkah Briyan.
“Ayang, apa kita akan tidur bersama malam ini?” Asha melompat ke atas ranjang dengan seprai putih polos tersebut.
“Ish! Turun Sha! Kaki Lo kotor!” Briyan mendelik kesal, sementara Asha malah melompat-lompat diatas kasur sana.
“Ayang, sini! Ini seru tahu!” Asha tidak peduli dengan peringatan Briyan, gadis itu memilih acuh, dan tetap melakukan apa yang dia suka.
“Terserah! Gue mau ke kamar mandi!” Briyan berlalu meninggalkan Asha yang masih melompat-lompat sembari tertawa.
***
Suasana begitu hening kala mereka sudah membersihkan diri, makan seadanya, lalu merebahkan tubuh mereka di kasur besar yang tadi di lompati Asha.
Ini adalah pengalaman pertama mereka tidur bersama, tentu saja keduanya merasa amat gugup, Asha meskipun dia gadis berisik yang begitu agresif, namun jika dihadapkan dengan kenyataan jika Briyan kini berada di sampingnya, Asha begitu gugup dan takut, bagaimanapun ini adalah pengalaman pertamanya tidur bersama seorang pria.
Juga Briyan, pria yang sering bersikap sangar pada istrinya itu, tubuhnya sedikit bergetar, tidur bersama Asha adalah mimpi buruk baginya, namun Briyan mencoba bertahan.
“Ayang ...” Asha memanggil pelan.
“Hmh?” Briyan menggumam.
“Pernah mikirin hal ini bakal terjadi gak? Aku suka dengan keadaan ini, dimana kamu mau tidur sama aku” gadis itu terkekeh, sementara Briyan hanya bisa menoleh, menggelengkan kepala merasa tidak percaya.
“Nanti, kalau kita sudah punya anak, kita gak bisa lagi tidur berdua dengan tenang kayak gini, pasti ada yang ganggu” Asha mulai berceloteh.
“Apa sih Sha? Otak Lo itu kenapa sih? Emang gak pernah gitu Lo mikirin hal lain selain Gue dan kehaluan Lo tentang rumah tangga sama Gue?” Briyan menatap wajah Asha yang masih berbinar.
“Enggak, aku gak pernah mikirin hal lain, selain daripada Briyan, Briyan, Briyan” Asha menatap Briyan yang tengah menatapnya, kini tatapan mereka saling beradu.
“Briyan adalah langitku, jika langit ku pergi, maka hidupku akan kiamat. Aku hancur!” Asha meraba pipi Briyan dengan lembut.
Sedikit tersentil, Briyan merasa telah mengkhianati dan menyakiti Asha begitu dalam.
“Kamu gak akan pergi dari hidupku kan? Ayang?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments