“Cuma apa Sha? Lo udah bikin hidup Gue hancur! Lo udah buat semua mimpi Gue sirna!” bentak Briyan, seketika menepikan mobilnya ke sembarang arah.
Asha terdiam, kepalanya menunduk, matanya berkaca-kaca.
“Aku gak pernah buat Ayang gak bisa ngejar mimpi Ayang kok” gadis itu menggeleng.
“Turun Sha!” bentak Briyan kemudian. Asha menengadah menatap Briyan tidak percaya.
“Turun dari mobil Gue sekarang Berliana Asha!!!” teriak Briyan membentak.
“Tapi Ayang, a aku ...”
“Turun!!!”
Asha terjingkat kaget dengan bentakan Briyan, rute menuju sekolah masih sangat jauh, sementara Asha diminta untuk turun dari mobilnya, jalanan ini adalah jalanan perumahan elite yang tidak akan dilalui oleh kendaraan umum, mau balik lagi ke rumah sudah jelas jaraknya sudah sangat jauh. Asha menunduk takut.
“A aku janji gak akan bicara lagi, ta tapi jangan turu ...”
“Keluar!!” masih dengan amarah yang membuncah, Briyan kembali membentak, bahkan tangannya sudah mendorong tubuh Asha agar keluar dari dalam mobilnya.
“Ayang jahat!” isak Asha kala dia sudah turun dari dalam mobil, gadis itu berdiri mematung, bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Sementara Briyan sudah melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
“Aku gak pernah halangi mimpi kamu, aku akan mendukung apapun keputusan kamu, kenapa kamu begitu membenciku?” Asha kini sudah berjongkok di pinggir jalan sembari menyeka air matanya.
Perlahan Asha meraih ponselnya, lalu menghubungi sahabatnya Gendis untuk menjemputnya.
“Lo itu kenapa sih Sha? Mobil Lo banyak, sopir Lo juga ada, ngapain Lo jalan kaki sampai sejauh itu, sekarang baru terasa ‘kan kalau jalan kaki tuh capek, mana sekolah masih jauh lagi” Gendis, gadis itu terus mengomel, sementara tangannya masih sibuk menyetir mobil.
“Cuman mau cari suasana baru” Asha menjawab ngasal, tadi Asha berbohong pada Gendis, bahwa dia berniat berjalan kaki ke sekolah, namun tidak kuat. Hingga terpaksa Gendis datang untuk menjemputnya.
“Ya lah, orang kaya mah bebas, kadang Gue suka gak ngerti sama apa yang dilakuin orang kaya, orang tuh mau hidup seneng, ini malah mau hidup susah” Gendis masih mengomel, sementara Asha memejamkan matanya.
Ucapan Gendis ada benarnya juga, harusnya Asha bisa hidup bahagia dengan apa yang dimilikinya saat ini, tapi kenapa Asha merasa hidupnya begitu sulit? Gadis itu menghela nafas berat, Asha hanya mencintai Briyan dengan sangat tulus, dan berharap jika suatu hari nanti Briyan akan membalas perasaannya.
Mobil tiba di sekolah dengan selamat, Gendis segera melompat dari dalam mobilnya berlari menuju kelasnya karena sebentar lagi akan masuk bel sekolah, Gendis harus pontang panting hampir kesiangan dan kena hukuman hanya karena dia harus putar arah untuk menjemput sahabatnya Asha.
“Asha, hampir saja kita kesiangan” Gendis mengatur nafasnya yang terengah, sementara Asha masih terdiam, tubuh gadis itu bergetar hebat, bayangan bentakan Briyan jelas menyakiti hatinya, mengatur nafas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan, berharap hatinya bisa tenang.
Terus melakukan terapi paru-paru berulang kali, hingga guru pelajaran masuk ke dalam kelas dan memulai pelajarannya, Asha masih saja belum bisa fokus, terpaksa gadis itu harus izin untuk ke toilet, berniat mencuci muka serta sedikit menenangkan diri.
“Aku sayang kamu Briyan”
Asha menghentikan langkahnya, dadanya bergemuruh kala mendengar suara yang sudah dikenalinya.
Gadis itu menoleh ke samping dimana disana ada sepasang manusia yang tengah berdiri di samping toilet. Jam pelajaran masih berlangsung, suasana lenggang, para siswa masih berada didalam kelas.
“Aku juga”
Duarrrr!!!
Asha terdiam, mengepalkan tangannya hingga membulat, amarahnya membuncah kala mendengar suaminya sendiri mengatakan kata itu pada wanita lain, jelas Asha merasa tengah dikhianati, sementara padanya Briyan tidak pernah mengatakan kata-kata demikian, meski Asha memintanya.
“Makasih Bry ... aku tahu kamu juga punya perasaan yang sama” Raisya memeluk tubuh Briyan.
“Tapi mulai sekarang aku gak bisa kita barengan terus” Briyan menggeleng. Menatap perempuan cantik di hadapannya.
“Kenapa?” Raisya menatap dengan kecewa.
“Aku punya mimpi lain yang harus aku gapai” ucapnya sendu, Asha masih mendengarkan, menyembunyikan tubuhnya pada tiang besar yang menjadi salah satu penyangga gedung sekolah.
“Apa? Kamu punya mimpi apa? Kamu mau jadi apa? Kamu mau kuliah ke luar negri? Kamu mau jadi pengusaha? Atau kamu mau apa? Aku pasti dukung semua impian kamu” Raisya mengabsen, sementara tubuh mereka masih merapat, saling memeluk. Asha berharap saat ini ada guru BK yang mengontrol, dan mereka akan tertangkap, batinnya dibakar api cemburu, Asha tidak tahan melihat pemandangan ini.
“Ya, salah satunya aku ingin kuliah diluar negri, itu mimpiku sedari dulu, tapi ... kini mimpi itu sudah lenyap” Briyan mengutarakan isi hatinya pada Raisya, Asha memejamkan matanya kuat, beraninya Briyan jujur pada orang lain, tapi mengabaikan pertanyaannya tadi pagi.
“Kenapa? Bukan masalah biaya kan? Orangtua kamu mampu Bry” Raisya kembali menatap Briyan lekat.
“Bukan, ada satu musibah di hidupku yang membuatku harus mengubur mimpiku,” Briyan menarik nafas panjang.
‘Musibah?’ batin Asha meronta, jadi bagi Briyan dirinya adalah musibah? Bagaimana dengan hatinya yang selalu memuja Briyan. Batin Asha begitu terasa teriris perih.
“Musibah? Musibah apa Bry? Aku bisa bantu?” Raisya mengeratkan pelukannya.
“Hmh ... cukup tetap disampingku apapun yang terjadi, dan semua akan baik-baik saja” Briyan memejamkan matanya, sekelebat bayangan Asha melintas, namun pria itu segera menepis semuanya.
“Selalu Bry, aku akan selalu disamping kamu” suara Raisya terdengar samar, kala Asha memutuskan untuk berlari menuju ruang UKS, hatinya begitu sakit, Briyan-nya sudah jelas mencintai wanita lain, hampir mustahil rasanya untuk mengharap cinta Briyan.
“Tenang Asha, kita gak akan pernah pisah, Briyan hanya sedang bengkok, dia akan kembali lurus dan kembali padaku” Asha mengatur nafasnya, membaringkan tubuhnya di ranjang pasien.
Matanya terpejam kuat, air mata mulai mengalir lagi, gadis itu sungguh rapuh.
“Di dunia ini, aku gak punya siapa-siapa, kalau kamu berencana pergi, lalu aku dengan siapa? Apa aku juga harus pergi? Mungkin pergi mendahuluimu akan lebih baik?” Asha menilik keadaan sekitar, hanya ada seorang petugas UKS disana, tadi sempat bertanya apa keluhan Asha dan memberikan obat alakadarnya, dan meminta Asha untuk beristirahat.
Tidak ada benda tajam disana, tapi Asha ... menatap pada sebuah cutter kecil yang ada di meja petugas medis, Asha meraih pisau kecil tersebut kala petugas medis tiba-tiba pergi keluar ruangan dan membiarkan Asha sendirian.
Tangan Asha bergetar hebat, keringat dingin mulai membasahi tubuhnya kala dia bersembunyi dibalik tirai yang menjadi pembatas antar ranjang pasien, jantungnya berdegup kencang, perlahan Asha menaikan pisau tersebut hingga bagian runcingnya terlihat, mulai mengarahkan pisau tersebut pada nadinya.
“Kamu jahat Briyan, kamu khianati aku, kamu selingkuh” air mata Asha mengalir deras kala ingatannya menangkap kata-kata Briyan ‘Musibah’.
“Aku sayang kamu Bry ... sangat sayang, aku selalu menganggap kamu adalah segalanya, tapi kamu menganggapku musibah, kenapa aku gak bisa benci kamu Bry?” ujung pisau kian mendekat pada nadi Asha, segala bayangan tentang Briyan juga tentang kedua orang tuanya datang silih berganti.
“Mamah ... aku kangen Mamah dan Papah”
Sreeetttt!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Candy
belum paham kenapa sosok Asha mudah banget frustasi
2023-08-24
0