Meninggalnya Asep

“Tadi saya melihat ada orang di bawah sana, makanya saya suruh berhenti bapak nya, sekali di lihat lagi tidak ada siapa-siapa di bawah sana,” pak Hendri tersenyum.

“Kok bapak malah tersenyum?” tanya Abi.

“Iya kok bapak malah tersenyum, emang ada yang lucu?” tanya Krisna.

“Ya gak ada yang lucu, tapi itu sudah hal biasa di sini.”

“Maksud bapak? Tapi ini kan siang bolong pak masa iya mereka menampakkan diri?” ucap Doni.

“Di hutan mau siang atau malam itu sudah biasa terjadi, jadi kami ya gak heran lagi.”

“Tapi mereka tidak menganggu kan pak?” tanya Krisna agak ketar ketir.

“Tidak, mereka hanya ingin kita tau aja bahwa mereka ada di antara kita, itu aja,” kata pak Hendir sembari tersenyum.

“Tuh baru kamu tahu kan Kris, maka nya jangan sok-sokan gak percaya  lihat sendiri baru tau kan rasanya,” kata Abi membuat Krisna hanya tertawa cengengesan.

“Tapi pak.”

“Tapi apa lagi Kris?”

“Bukankah itu karyawan bapak?” tanya Krisna menunjuk se orang laki – laki yang berjalan menuju lahan yang sedang di Eksafator oleh pak John.

Pak Hendri pun menoleh dan benar saja itu adalah karyawannya yang bernama Asep .

“Ngapain dia di sana? Asep! Sep! Asep!” teriak pak Hendri.

Tapi laki-laki yang di panggil Asep itu sama sekali tidak menoleh, bahkan mungkin dia tidak mendengar, teriakan itu didengar bu Sarah dan Sisil sontak mereka menoleh, Abi pun berinisiatif berlari mengejar laki-laki itu di susul yang lainnya sambil berteriak memanggil.

“John berhenti!” Teriak pak Hendri melalui alat komonikasinya namun pak John belum menjawab.

“Hentikan Ekskavatornya di sana ada Asep!” ulang pak Hendri.

“Apa pak? kurang mendengar,” sahut pak John akhirnya mencari keberadaan mandor itu.

Di lihat nya pak Hendri melambaikan tangan tanda berhenti, namun entah kenpa tangan Jhon malah tidak sengaja menyenggol tuas.

Praaak!

Teriakan terdengar melengking, ujung sekop besar itu menghantam tubuh Asep dengan kekuatan penuh membuat tubuh itu terpelanting tersungkur ketanah dan jatuh berdentam belumurun darah dengan tangan hampir putus tepat di hadapan Abi dan yang lainnya.

bu Sarah dan Sisil yang melihat kejadian itu hanya bisa melonggo dan terduduk lemas, sedangkan Abi dan yang lain nya hanya bisa terdiam terpaku tak sanggup mengerakkan kakinya untuk melangkah melihat kejadian yang ada di depan mata nya secara langsung.

“Astaga kenapa kalian diam saja,” ucap pak Hendri yang datang dan langsung melihat keadaan Asep.

“Ayo bantu bapak bawa ke mobil,” teriak pak Hendri.

Mereka bertiga baru sadar dan masih kebingungan akhir nya membantu pak Hendri mengangkat tubuh Asep walau mereka takut, pak Hendri melepas bajunya dan menalikan baju itu ketubuh Asep agar tangan itu tidak terlepas, terdengar rintihan dari mulut Asep yang menyayat hati.

Mereka pun membopong tubuh itu masuk ke dalam mobil dengan susah payah karena medan yang masih susah masih banyak kayu-kayu yang malang melintang. Tubuh Asep mereka letakkan di dalam mobil  bak terbuka, untungnya mereka saat itu membawa mobil sendiri.

“Abi kamu ikut bapak kerumah sakit, yang lainnya langsung pulang saja,” ucap pak Hendri.

“Baik pak, tapi sebentar pak,” ucap Abi sembari berlari kearah Sisil yang sudah menangis dari tadi melihat kejadian itu.

“Sudah-sudah jangan nangis, kamu pulang sama bu Sarah, gak apa-apa kok, semuanya akan baik-baik saja,” kata Abi.

Sisil menganggukkan kepalanya sambil mengusap air matanya. Abi pun berlari kembali dan langsung masuk ke dalam mobil, mobil itu melaju kencang tak perduli jalanan berlobang dan berlumpur, terdengar pak Hendri menghubungi rumah sakit terdekat beliau kelihatan sangat tenang menghadapi situasi seperti ini.

Mungkin karna ini bukan yang pertama kali buat beliau, sedangkan Abi masih dengan keadaan kaki yang gemetar akibat melihat kejadian di depan matanya itu, jantung Abi juga langsung berdegup kencang tak kala mendengar suara rintihan dau Asep yang tengah berlumuran darah itu.

“Dingin … dingin,” ucapnya terbata dan sangat pelan.

Abi mencari kain atau apa pun yang ada di mobil itu, dan ia tidak menemukan apa-apa, akhirnya Abi berinisiatif untuk melepas bajunya, Ia menyeka darah yang keluar dari hidung dan telinga Asep lalu menyelimuti Asep denga bajunya.

“Kenapa kamu lepas baju mu?” tanya pak Hendri.

“Dia bilang dingin pak, gak apa-apa saya masih pake kaos,” ucap Abi.

Walau tubuh Asep sudah ditutup denganbaju milik Abi, Asep masih merintih kedinginan dan Abi terlihat sedih karena  tidak bisa berbuat apa-apa untuknya lagi, Abi hanya bisa berdoa supaya mobil itu cepat sampai di rumah sakit karena Abi merasa tak tega mendengar rintihan Asep.

Mobil itu pun sudah meninggalkan desa dan terus melaju cepat, udara yang dingin serasa menusuk tulang-tulang  tak berapa lama mobil yang mereka tumpangi itu pun sampai di rumah sakit yang lumayan besar di kabupaten Pace.

Mobil mereka langsung berhenti di UGD rumah sakit itu dan dengan cepat beberapa perawat dating dan langsung membawa tubuh Asep masuk ke ruang UGD.

“Pak Yusuf tolong di bersih kan mobil nya dulu kami tunggu di sini,” pinta Hendri pada sang sopir. 

“Baik Pak.” kata sopir itu dan membawa mobil itu perg.i

“Bi kamu tunggu di sini, bapak mau kedalam dulu ngurus administrasi nya dulu,” kata pak Hendri.

Abi pun mengangguk dan berjalan menuju wastafel yang ada di luar UGD, Abi mulai membersihkan tangannya yang terkena darah dengan sabun sampai bersih dan kembali duduk di ruang tunggu untuk menunggu pak Hendri datang.

cukup lama pak Hendri datang dan itu pun dengan muka lesu. 

“Ada apa pak? tanya Abi penasaran karna melihat wajah beliau murung.

“Hah…,” pak Hendri menghembus nafas pelan.

“Asep tak bisa di selamatkan Bi dia begitu banyak kehilangan darah,” ucapnya lirih.

Hal itu membuat Abi terdiam sejenak.

“Innalillahi wainnailahirojiun,” ucap Abi lirih.

Jantungnya berdesir melihat darah yang masih menempel di baju dan celananya bahkan tembus ke badan Abi,  hari ini adalah hari yang membuat Abi teringat kepada ayahnya.

“Yuk kita pulang nanti ada sendiri yang mengurus jenazahnya, kamu mau ganti baju dulu bapak belikan?” kata pak Hendri. 

“Tidak usah pak langsung pulang saja,” sahut Abi

Pak Hendri mengangguk dalam mobil Abi hanya bisa terdiam sesekali ia menoleh kebelakang di mana tubuh Asep sempat  berbaring bersimbah darah, masih terngiang di telinganya rintihan kedinginan dari Asep yang tanpa ia sadari itu akibat darah yang keluar terus dari lengannya yang hampir putus.

Tanpa terasa air mata Abi menetes tanpa ia minta teringat ayahnya yang juga tiada karna kecelakaan 15 tahun yang lalu.

“Kamu harus kuat Bi.  beginilah dunia kerja kita tidak tahu kapan itu akan terjadi, musibah bisa datang kapan pun tanpa kita minta dan semua pekerjaan pasti ada resiko nya. makanya kita di tuntut untuk selalu waspada kalau kita sudah waspada dan itu terjadi berarti itu sudah takdir kita, kita hanya bisa berusaha bukankah begitu, jadi jangan terlalu larut dengan kejadian ini,” kata pak Hendri menyemangati abi.

Abi hanya mengangguk dan menghela nafas panjang mereka pun sampai di desa, baru kali ini ia melewatinya saat malam hari, hanya terlihat beberapa penduduk yang berada di depan rumah mereka.

“Kamu mau makan dulu Bi?” tanya pak Hendri yang melihat warung makan yang masih buka.

“Tidak pak langsung pulang saja.”

“Baiklah tapi nanti  berhenti di warung biasanya ya pak Yusuf saya mau beli rokok,”  kata pak Erik kepada sopirnya.

Mobil pun berhenti di depan warung yang tidak terlalu besar mereka berdua pun turun, entah sopir itu beli apa hingga ikut turun dari mobil, saat Abi asik melihat keluar jendela mobil, Abi melihat seorang gadis melintas dan ia merasa kenal dengan nya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!