Pergi ke air Terjun

“Kenapa pak?” tanya bu Sarah  kepada sang sopir yang ada di belakangnya  hanya terhalat sandaran kursi yang di duduki sopir itu, bapak itu pun menoleh.

“Belum tahu Bu, mogok kayaknya saya cek dulu, jangan khawatir sudah biasa kayak gini,” katanya  dan memeriksa mesin yang ada di depan nya itu.

“Kenapa sih sama pak Wawan di suruh naik ini kan macet.”

“Buat pengalaman lah sil, mau lo aja naik mobil bagus terus, emang pak Wawan ajudan kamu apa?” kata Krisna sewot.

“Mau ku sih gitu, enak kali ya,” Sisil tertawa terbahak.

“Enak di kamu gak enak di pak Wawan Sil,” tambah Doni.

“Kenapa kalian sirik amat,tau ga sirik tanda tak mampu.”

“Kalian ini ya,  menghayal kok jadi ribut, jangan ribut terus nanti kalo saling kangen dan jatuh cinta gimana,” ledek Abi.

“ Dih … amit- amit!” ucap mereka serempak.

“Tuh kan ngomong gitu aja kalian bisa kompakan, hati-hati kalian nanti jadi jodoh loh,” gantian Abi yang tertawa.

Bu Sarah hanya bisa tepuk jidat melihat kelakuan mereka.

“Sudah belum pak?” tanya Sisil.

“Belum bentar lagi,” teriaknya.

“Wah, bisa telat nih di marahi pak Darno gak ya,” kata Krisna sedikit gusar.

“Ya gak lah De …  namanya juga mogok, siapa yang mau kendaraan nya mogok, tenang aja pak Darno gak akan marah,” ucapnya sambil mencoba menyalakan mesinnya yang sedari tadi terus mati dan menyala.

“Kenapa ya, biasanya walau pun mogok ga seperti ini,” gerutunya.

“Enaknya kita ngapain ini ya?” ucap nya sambil berdiri di lihatnya semua semak belukar dan pohon-pohon namun ada jalan setapak yang masuk kearah kanan hutan itu.

“Pak, jalan itu arah kemana?” tanya Doni.

Sopir itu pun berdiri melihat, “Oh … di dalam sana ada air terjun kecil biasanya para karyawan datang kesana,” jawabnya.

“Kesana yuk!” ajak Doni.

“Kita kan mau kerja Don,” jawab Abi.

“Lagian truk ini masih mogok, mau jalan kaki kamu ke lahan? masih jauh tahu gak.”

“Bener itu kita bisa foto-foto di sana gak hanya lihat hutan mulu, sama lobang raksasa,” ucap Krisna.

“Bagaimana masih lama pak memperbaiki nya?” tanya Krisna.

“Kayaknya masih lumayan lama, kalian kesana aja dulu, nanti kalo sudah selesai bapak panggil.”

“Asiiik!!” Kata Doni langsung melompat turun dari mobil dengan bak papan kayu itu.

“Bu Sarah ga ikut?” tanya sisil.

“Gak ah Sil, Ibu di sini aja nemenin mang Ujang kasian sendirian, lagian Ibu lagi males jalan.” kata bu Sarah sambil tersenyum.

Aku pun mengikuti mereka dari belakang sisil menghentikan langkah nya

“Abi.”

“ Hmmm,” Abie jawab hanya dengan dehaman kecil.

“Kamu percaya di tempat ini ada hantu gak?” 

Ucapan dari Sisil  membuat Abi langsung  melirik ke arahnya.

“Memang kenapa? Kamu di datangi?” tanya Abi. 

“Gak, bukan gitu kemaren aku dengar bapak-bapak ngomongi tentang hantu yang ada di Alas Waringin, kata mereka hantu nya sangat menakutkan,” tuturnya.

“Menakutkannya itu seperti apa Sil?” tanya Abi.

“Entahlah, katanya tinggi besar, dan matanya merah menyala dan suaranya juga menakutkan.”

“Sil, kamu sadar gak kita ini sedang di hutan, kamu malah ngomongi yang begituan, trus.. ciri-ciri yang kamu sebutkan itu seperti hantu-hantu kebanyakan yang di dongengkan orang tua kepada anak-anak nya agar mereka takut, masih aja kamu percaya. bukannya aku ga percaya, ya aku percaya kalo hantu atau setan itu ada tapi gak perlu kita pikirkan terus, nanti kamu di kira orang Halu, ngerti,” Kata Abi sembari mencubit hidungnya.

“Tuh kan kamu itu selalu seperti itu, trus yang kulihat kemaren itu apa?”

“Ya itu mungkin jin atau setan yang menyerupai manusia, mungkin mereka hanya ingin di kenal saja, toh mereka tidak menyakiti kita.”

“Emang mereka artis pengen di kenal, kata bapak-bapak kemaren setan bisa memanipulasi fikiran kita, buktinya kemaren aku ga melihat ada lubang tambang sebesar itu, kamu kira itu masuk akal,” ucap Sisil.

Abi tiba-tiba menghentikan langkahnya, Sisil pun ikut menghentikan langkahnya.

“Kenapa?” tanya Sisil

“Itu kemaren karna kamu kurang fokus, terlalu melihat orang itu.”

“Ngomong sama kamu itu bikin aku males!” ucap Sisil merajuk dan berjalan melewati Abi untuk menyusul Krisna dan Doni yang berada di depan mereka.

“Sil! Jangan ngambek dong,” ucap Abi sambil mengejar Sisil.

“Kamu marah ya?” 

“Tau ah, aku lagi males ngomong sama kamu.”

“Iya-iya aku minta maaf,tapi kan kalo kamu terlalu percaya siapa yang percaya.”

“Pasti ada.”

“ Iya siapa?”

“Setidak nya orang itu kamu Bi.”

“Iya aku percaya trus apa?”

“Kalian itu berantemin apa sih?” tanya Krisna.

“Gak ada!”

“Kalian ini mencurigakan bilang gak pacaran tapi sering berantem kayak sepasang kekasih kenapa gak pacaran aja sih,” ucap Krisna.

“Gak akan!” 

“Kenapa sih Bi? dia itu sewot amat, si Amat aja gak sesewot,” kata Krisna yang melihat Sisil  langsung berjalan cepat mendahului mereka.

“Biasa, perempuan kalo gak di iya kan ya seperti itu suka ngambek, dia udah sering kayak gitu biasa aja sebentar juga baik lagi,” kata Abi menepuk pundak Krisna.

“Sudah terlihat air terjun nya!” teriak Sisil kegirangan.

“Wah bagus banget,” ucap Doni sembari melongo melihatnya.

“yuk- yuk turun.”

Krisna pun langsung menuruni jalanan yang sedikit curam dan banyak bebatuan itu.

“Bantuin woy!” teriak Doni mengulurkan tangannya.

“Makanya punya badan jangan gendut-gendut amat,” ucap Krisna memegang tangan Doni. 

“Ini kan tandanya makmur sejahtera,” ucap Doni tertawa.

Mereka pun saling membantu menuruni jalanan yang curam itu.

“Aaaaa … indah sekali Bi,” teriak Sisil kegirangan dan langsung mengeluarkan ponselnya dan berswafoto di atas bebatuan.

Abi hanya tersenyum melihat Sisil tidak cemberut lagi.

“Bi, sini kita berfoto berempat,” pintanya.

“Iya … iya,” jawab Abi menghampiri mereka dan ikut berfoto.

“Jangan pergi dulu, lagi sekali lagi!” ucap Sisil menarik baju Abi.

“Sudah Sil, kalian saja.” 

“Kamu itu kalo di ajak foto pasti deh begini,” ucap Sisil.

Abi hanya tersenyum kembali duduk di sebuah batu memandang air terjun yang jernih mengalir dengan ke indahan nya suara gemericik aliran nya menenangkan hati, apa lagi angin yang bertiup sepoi-sepoi sangat menyejuk kan membuat suasana begitu damai, mereka terlihat sangat bergembira.

Abian pun teringat kata-kata ibundanya tadi pagi saat menelepon, bahwa jangan lupa setelah magang dari sini harus mengantarkannya kemakam ayahnya karna itu bertepatan dengan meninggal ayahnya.

Bian menghela nafas kecelakaan itu telah merenggut ayah tercintanya dari nya sepuluh tahun yang lalu.

Abi menghela nafasnya, helaan itu terdengar begitu berat seperti ada sesuatu yang mengganjal di dada nya.

“Hei!!” 

Teriakan itu membuyarkan lamunannya, mereka pun sontak menoleh di lihat nya mang Ujang berdiri dimana mereka turun tadi dan melambaikan tangan memanggil.

“Ayo! Mobilnya pasti sudah bisa menyala.”

 Abi pun berjalan duluan karna posisinya yang ada di depan mereka aku pun membantu mereka menaiki tanjakan yang sedikit curam itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!