Dikagumi

Samin sudah menunggunya di seberang laut. "Mengapa kalian datang malam-malam seperti ini, apakah jauh lebih aman?" tanyanya.

"Tentu saja Paman, kalau siang hari bakalan ketahuan." jawab Qairen.

"Terima kasih, karena telah menjemput mayat dengan kapal." ujar Duckin.

"Tidak masalah, mari segera kuburkan di negara ini." ajak Samin.

Qairen merasa lega, karena telah berhasil menguburkan mereka dengan layak. Meski sempat tertunda, karena lari-lari dari kejaran Duu Goval.

"Kalian ini pembela negara sejati, namun malah terkena sasaran berkhianat." ungkap Samin.

Qairen tersenyum. "Sudahlah, ini tidak akan bertahan lama. Aku pasti bisa mengalahkan wakil presiden jahat itu."

Kuburan mereka sengaja ditumpuk rumput segar berwarna hijau, agar tidak ada yang mencurigai sebagai jenazah baru. Nisan cetak juga berada di atasnya, agar dikira orang-orang sebagai kuburan lama.

Keesokan harinya, remaja sekolah SMA lambai tangan. Mereka melihat Qairen dengan antusias, karena wajahnya sangat tampan. Ayesa merasa risih, saat mereka meminta foto bareng. Gerbang ditendang kaki, mereka berebut untuk didekat Qairen.

"Kakak tentara senyum lagi dong, sangat tampan,"

"Imut sekali, aku mau menguyel-uyel pipi Kakak."

Ayesa terus cemberut. "Kalian masih sekolah, mengapa begitu genit." Sekarang tegak pinggang.

"Kak, menyukai adalah hal wajar. Kami penggemar Kakak tentara, lagipula dia masih lajang." jawab perempuan, yang rambutnya dikepang dua.

"Asisten Ay tidak perlu cemburu, nanti kita foto bersama juga." Qairen tersenyum, berkata seenaknya.

"Nah, dengar itu Kak. Kakak tentara milik semua perempuan." Menjawab dengan ceria.

Ayesa merasa geli dengan jawaban remaja putri tersebut. Selain itu, ada rasa tidak rela mendengarnya. Ayesa hanya belum menyadari, dengan sedikit perasaan di hatinya. Dia segera berjalan ketus, sampai sepatunya berbunyi karena dihentakkan.

"Ayesa, kamu kenapa?" tanya Duu Arven.

"Aku kesal dengan remaja SMA itu." jawab Ayesa.

"Mereka demo?" Duu Arven berjalan mendekat.

"Tidak, mereka mengerumuni komandan Qairen." Menjawab, tanpa memberi senyuman.

"Hahah... sejak kapan kamu peduli? Dulu waktu kecil, kamu tidak seperti ini." Duu Arven senyum melihat tingkah Ayesa.

Ayesa nyengir. "Ini mungkin hanya dampak tertekan batin, komandan terlalu mengeluarkan kata-kata. Aku tidak bisa menahan jengkel, jadi sedikit terbawa perasaan." Ayesa malu sendiri, kepergok marah tanpa alasan jelas.

Duu Arven keluar dari ruangan Ayesa, karena dipanggil oleh ajudannya bernama Nhanas. Dia memperlihatkan telegram dari wakil presiden, memberikan tugas pada putranya untuk memeriksa apartemen 22. Duu Arven langsung pergi, karena sudah berpamitan dengan Ayesa.

Qairen menghampiri Ayesa di ruangan asisten. Dia segera menutup pintu, lalu duduk didekatnya. Qairen mencerna kalimat, sebelum diucapkan oleh mulutnya.

"Asisten Ay, jika aku berkhianat pada pengkhianat negara, apakah menurutmu tindakan ini tidak pantas?" Qairen berbicara serius.

"Komandan Qairen, Ayahku selama ini mengawasi dengan baik. Bisnis berjalan dengan lancar dalam negeri, dan bantuan-bantuan pun disalurkan pada masyarakat tidak mampu. Jadi menurutmu, Ayah membiarkan orang seperti ini ada?"

"Asisten Ay, manusia ini terbatas. Ayah nona tidak bisa melihat menyeluruh. Lihatlah waktu kita berteduh di gubuk, Ayah nona lebih percaya ajudan Dipang. Padahal nona tahu sendiri, terselip dusta dalam penjelasannya."

"Ajudan Dipang baik, hanya saja terlalu khawatir. Komandan pikir sendiri, kita juga salah. Waktu itu mengapa berdua saja, padahal hujan turun dengan deras." Ayesa merasa kesal, ingat hari itu.

"Hahah... nona, nona, ucapanmu ini seolah mengenal mereka sangat mendalam." Tertawa sambil bicara.

"Komandan Qairen yang tidak mengenal mereka." Ayesa merasa Qairen lawan debatnya.

Duu Arven pergi ke apartemen 22, untuk mengecek kebenaran dari informasi yang diterimanya. Pasukan prajurit kantor militer Bungin sudah siaga, membawa pistol dengan tegap. Lubang pistol mengarah ke depan pintu, bersiap melawan serangan dari dalam.

"Tuan besar berkata, bahwa mayat yang membunuh pasukan keluarga Duu dilarikan ke sini. Semalam mata-mata mengikuti sebuah mobil, yang dipimpin komandan Qairen." ujar Nhanas.

"Baiklah, segera periksa tempat ini." Duu Arven hati-hati, saat menendang pintu apartemen.

"Cepat masuk ke dalam." Nhanas memerintahkan para pasukan prajurit.

"Baik ketua." jawab semuanya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!