Ayesa beristirahat di dalam kamar, melihat kucing kesayangannya yang tidur nyenyak. Ayesa mengusap lembut bulunya, lalu menangis tersedu-sedu. Dia rindu ibunya yang telah lama meninggal.
”Aku akan merawatmu, memberikan kasih sayang, menjagamu dengan baik. Hanya kamu kenangan, yang bisa membuatku merasakan sentuhan Ibu.” Ayesa mengingat kucing ini keturunan dari induk kucing, yang pernah dipelihara oleh ibunya.
Keesokan harinya saat sarapan pagi Qairen melihat kakek tua, sedang mengangkut barang rongsokan untuk dijual ke pasar. Tiba-tiba terpeleset, karena jalan sempoyongan. Komandan Qairen segera membantunya berdiri. Kakek tua itu dipapah ke pinggir jalan, sampai menduduki kursi. Qairen memberikan sebotol air minum untuk si kakek.
"Terima kasih anak muda, kamu sudah sudi menolongku." ucapnya.
"Iya, sama-sama Kek." jawab Qairen.
"Eh, nona Ayesa mengumpat setiap hari. Bahkan dia sudah membenci komandan, karena pertemuan awal tiada berkesan. Aku ingin beritahu padanya, tentang kelebihan mengagumkan dari komandan Qairen."
"Jangan bongkar kebaikan supaya disukai, biarkan Tuhan saja yang mengetahui." jawab komandan Qairen.
"Komandan ini di luar terlihat licik, namun hati dipenuhi mutiara bening. Laut bangga, bunga bermekaran, daun lebat berjatuhan ..." Belum selesai celotehannya, sudah dihentikan.
"Kamu berpuisi di pagi hari, seperti kurang kerjaan saja." Marahnya tidak serius.
Ajudannya nyengir saja ditegur, bukannya kapok meramaikan suasana. Duckin sudah menganggap Qairen seperti Kakak sendiri. Sayangnya bukan sebatas rekan kerja lagi, namun seumur hidup ingin bersama Qairen.
Adrim dan Aziz sibuk berbicara dalam kelas, ntah apa yang diobrolkan mereka. Tentang liburan semester, tentang makanan, tentang dokter Steffy, intinya tidak penting dibahas dalam kelas. Apalagi pelajaran sedang berlangsung, tidak menghargai orang bicara saja.
Pletak!
"Pak, kenapa melempar kepalaku dengan spidol?" tanya Aziz.
"Masih bertanya, kamu dari tadi ribut di kelas. Bahkan hari sebelumnya, berani bolos lompat pagar. Kalau tidak berniat belajar, jangan masuk lagi di jam pelajaran ku." jawab Daren.
Adrim merasa lesu, kalau harus dipulangkan ke rumah. "Pak, sebelumnya aku bolos untuk nongkrong. Sudah lama tidak bertemu dengan teman, lalu kami merokok." Menutupi mulutnya yang keceplosan.
"Hari ini aku beri kebebasan, keluarlah sesuka hati. Namun, jawab dulu pertanyaan ku tentang soal matematika." Menoleh ke siswanya yang susah diatur.
Adrim melihat ke arah papan tulis, dan kebingungan. Cuma tahu rumus, namun tidak tahu langkah mengerjakan. Adrim senggol Aziz, namun malah cuek saja.
"Ayo cepat maju! Tidak benar, nilai tidak diberi. Soal ini berlaku untuk semua mahasiswa. Siapa yang bisa mengerjakan, aku beri hadiah yang sama."
"Iya Pak." Adrim berdiri, melangkahkan kaki ragu-ragu.
Jam istirahat tiba, kebetulan bertemu dokter Steffy di emperan. Adrim dan Aziz segera menghampiri, untuk meminta sedikit bantuan darinya.
"Dokter Steffy, bantu aku bicara dong sama Bapak Daren. Dia melarang ku masuk pelajarannya, nanti aku tidak bisa lanjut semester 8." pinta Adrim, dengan memohon.
"Kalau sudah seperti ini, baru kalian mulai patuh. Kemarin kemana saja, tidak menghargai dosen." Steffy berpangku tangan.
"Dari ucapan Dokter Steffy, sepertinya tidak mau membantu kami." Adrim melihatnya, raut wajah memohonnya terpancar jelas.
"Baiklah, kali ini berbaik hati. Ini cuma karena kasihan, bukan ada maksud lain." Steffy sengaja menegaskan, agar tidak ada yang berharap lebih.
Usai sarapan, Duckin lewat di depan ruangan asisten. Ayesa mengumpat Qairen, dengan penilaian terburuk.
"Hutang budi terus, setiap menolong tidak ada ketulusan. Ibaratnya menolong anak kucing, untuk mendapatkan induknya. Sangat licik, aku ingin meninju dadamu komandan Qairen. Kamu jahat, aku tidak menyukaimu. Sejak perjumpaan awal, sangat menjengkelkan. Dasar tidak punya hati, tidak berperasaan!"
Duckin tiba-tiba muncul, bersandar di pintu. "Asisten Ay, mudah sekali menilai seseorang. Nona belum mengenal komandan Qairen lebih jauh, sudah menganggapnya orang licik tidak punya hati." Memainkan kunci di tangan, meski cuma sekadar berputar ke arah serupa.
"Aku rasa, mengenalnya sekarang sudah jelas. Tidak perlu lebih jauh, untuk mengetahui satu persatu kejahatannya." Merasa yakin dengan jawabannya.
"Tidak, nona belum mengenalnya dari hati ke hati. Kalau hal itu sudah dilakukan, kemungkinan terbesar adalah jatuh cinta. Bahkan sedetik pun, tidak membiarkan dia pergi." Duckin percaya diri, saat mengucapkannya.
"Aku tidak akan jatuh cinta padanya, kamu pegang ucapanku ini baik-baik." jawab Ayesa, tetap pada pendiriannya.
"Asisten Ay kalau jatuh cinta dengan komandan Qairen, suatu hari nanti perlu minta restuku. Perempuan mana yang tidak beruntung, bila dinikahi dengan orang sepertinya. Namun saat itu, aku ingin mempersulit asisten Ay." Duckin sudah berlagak jadi orangtuanya.
Ayesa memiringkan bibirnya ke kiri. "Jangankan untuk jatuh cinta, perasaan kagum pun tidak mungkin." Tidak mau kalah, meyakini apa yang jadi penilaiannya benar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments