Keesokan harinya, kampus militer Chenida diawasi oleh pasukan komandan Qairen. Di tengah hutan belantara, semuanya berkumpul sejak pagi. Melakukan apel, dan juga pemanasan ringan.
"Saat teori, memang tidak terasa berat. Namun saat latihan lapangan, tentara memiliki resiko kehilangan nyawa. Kalian tahu 'kan, bahwa dunia militer kejam?" Qairen menatap semua mahasiswa.
"Paham komandan Qairen." jawab semuanya serentak.
Adrim berbisik lirih pada Aziz. "Dia siapa si, berisik sekali. Menurutku, enak dilatih oleh komandan yang dulu."
"Kamu saja yang tidak tahu, gara-gara kejadian penembakan pada presiden, komandan sebelumnya turun jabatan. Dia diam-diam, ingin menghabisi nyawa kepala negara." jawab Aziz.
"Setidaknya, masih ada jenderal muda membuatku tidak bermalas-malasan." ujar Adrim.
"Jenderal muda tidak ikut, sedikit aneh si. Namun sudahlah, aku tidak ingin berpikir lebih jauh." jawab Aziz.
Sementara di sisi lain, Ayesa diantar oleh supir pribadinya. Hari ini taksi langganannya, sedang izin untuk menghadiri pernikahan putrinya. Di tengah perjalanan, Ayesa dihadang oleh sekelompok pria berpenutup kepala.
"Nona Ayesa, sepertinya kita harus kabur. Jumlah mereka terlalu banyak, aku tidak akan bisa melawannya." Dengan cepat berusaha memundurkan mobil ke belakang.
"Ayo Pak, kita pergi." Ayesa panik.
Tiba-tiba saja berhenti, karena melihat mobil dengan ban besi di belakangnya. Mereka terkepung, tidak bisa kabur. Kiri dan kanan adalah gedung yang tertutup, aktivitas banyak orang menyewa tempat untuk jualan. Hari ini sedang sepi, tidak ada satu orang pun lewat.
Seorang pria muda rambut gondrong, mengarahkan pistol pada kaca mobil. "Cepat keluar, kalau tidak akan aku hancurkan kendaraan ini." Mengancam, sambil mengetuk kasar kaca mobil.
Ayesa dibius lalu dipaksa masuk ke dalam mobil mereka, setelah sopirnya berhasil dipukuli hingga pingsan. Ayesa tidak tahu dibawa kemana, karena kondisi tidak sadarkan diri. Ayesa dibuang begitu saja, di tengah semak belukar.
"Dia pasti akan mati, harimau senang untuk memakannya."
"Yoi, ayo cepat pergi sebelum ada yang melihat."
Praktik lapangan awalnya masih berjalan lancar, dan masih saling bercanda karena senjata bukan peluru sungguhan. Tiba-tiba saja, terdengar suara tembakan. Semua tentara pelajar diintruksikan untuk melarikan diri. Qairen dan Duckin masih bertahan, memilih memanjat pohon untuk mengawasi pergerakan.
"Kalau dilihat-lihat, mereka ini bukan dari pasukan kita." ujar Duckin.
"Kamu benar, lihat cincin di jari telunjuk mereka." Qairen menunjuknya.
"Namun mengapa menyerang mahasiswa militer, tidak masuk akal." Duckin tidak bisa menerkanya.
"Itu karena mereka tahu tempat pelatihan." jawab Qairen.
Ayesa mengerjapkan mata beberapa kali, kepalanya masih terasa pusing. Dia menatap sekeliling, dipenuhi dengan pohon-pohon besar. Cabangnya sangat banyak, daun-daun juga lebat.
"Aku di mana? Mengapa tidak ada siapapun, aku takut sendirian di sini." Ayesa meringis, mendapati banyak goresan di tangannya.
Ayesa melihat serigala, yang membawa tulang besar. Dia menyantapnya dengan lahap, dan Ayesa mengumpulkan kekuatan untuk berlari. Setelah berhasil berdiri, Ayesa memasang kuda-kuda. Langkah kakinya terseok-seok, sambil memegangi kepala. Serigala berlari mengejarnya dengan kencang, sampai Ayesa tidak sengaja menginjak lubang.
Duar!
Qairen melakukan penyerangan dari atas, lalu melompat ke bawah. Duckin baru saja ingin mengintrogasi, namun mereka sudah mati duluan. Qairen dan Duckin segera menghindar, saat mendapat serangan peluru tiba-tiba.
"Duckin, ayo segera pergi dari sini." ajak Qairen.
"Baik komandan." Duckin berlari dengan cepat.
Adrim dan Aziz memilih bersembunyi di dalam goa, bersama dengan teman-temannya. Rasa deg-degan menyelimuti diri masing-masing, saat suara tembakan seperti hujan bergemuruh.
Bruk!
Qairen tidak sengaja terjatuh ke dalam lubang, lalu mendapati yang sedang pingsan. Duckin memanggil Qairen, dan terkejut saat melihat lubang tanah.
"Komandan Qairen, kamu baik-baik saja?" tanya Duckin.
"Iya, bantu aku membawa asisten Ayesa ke atas." jawab Qairen.
"Mengapa dia bisa di sini, bukankah harusnya di kantor militer Chenida?" Duckin jadi bingung.
"Sepertinya, sesuatu hal buruk telah menimpanya." Qairen menepuk-nepuk lembut pipi Ayesa.
Duckin melemparkan tali tambang, lalu menarik Ayesa hingga sampai permukaan. Selanjutnya Qairen yang memegang tali tambang, hingga berhasil naik ke atas.
"Terima kasih, karena kalian telah menolongku." ucap Ayesa.
"Iya, jangan lupa dicatat sebagai hutang Budi." Qairen tersenyum, lalu membuang pandangan ke sembarang arah.
Ayesa melotot, tidak percaya dengan ucapan Qairen. ”Dasar licik, aku kira dia menolongku tulus. Tidak tahunya, ada niat terselubung.” batinnya kesal.
Tiba-tiba datang seekor serigala, dan Duckin segera menembaknya. Suara tersebut memancing pemberontak bersenjata, untuk mencari sumber suara.
"Dari arah sana, cepat kejar mereka."
"Iya, jangan biarkan lolos lagi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments