Daisy berjalan dengan santai, tanpa menyadari bahwa tiang spanduk akan menimpanya. Aziz yang kebetulan lagi berjalan-jalan, langsung menghalangi benda itu dengan tangannya. Punggung Aziz tertimpa besi, karena menghalangi tubuh Daisy.
Daisy tersenyum ke arah Aziz, mulai merasa kagum. "Maafkan aku, seharusnya tidak membiarkanmu tertimpa."
"Tidak apa-apa, ini inisiatif diri sendiri." jawab Aziz.
Tidak apa-apa di mulut, padahal terasa sakit sekali. Aziz meringis lalu berdiri, sambil membantu Daisy juga. Diam-diam punggungnya tertusuk ujung besi.
"Terima kasih iya, karena sudah menyelamatkan aku." ucap Daisy, dengan mata berbinar-binar.
"Terima kasih saja tidak cukup, maukah memberikan aku nomor ponselmu." jawabnya.
Secepatnya mengeluarkan ponsel dari dompet, lalu bertukar nomor dengan Aziz. Bingung harus menyembunyikan Daisy, maka dia memberinya nama Badut Pesek.
”Maafin aku iya cantik, karena di kampus kami tidak boleh pacaran. Isi ponsel pun diperiksa, bila sampai asrama.” batin Aziz.
Aziz sudah sampai ke asrama, lalu memanjat pagar. Para prajurit kampus, menyeretnya kembali ke asrama. Adrim tertawa, saat menyaksikan pemandangan tersebut. Apalagi makanan yang dibawa Aziz sampai tertumpah.
"Kamu membeli makanan di luar?" tanya Adrim.
"Katanya kita harus menjaga kesehatan, karena besok sudah pelatihan lapangan." jawab Aziz.
"Memang masakan di sini rasanya hambar, bagaimana aku bisa makan dengan lahap." keluh Adrim.
"Jangankan untuk lahap, memikirkannya saja tidak bisa tenang." jawab Aziz.
Duu Arven membawakan sarapan pagi untuk Ayesa, bahkan sudah membukakan kotaknya. "Ayesa, kamu sudah sarapan belum?"
"Tadi si hampir sarapan puas, namun seleraku menghilang seketika." jawab Ayesa cemberut.
"Pasti sepupu dan Bibi kamu datang, lalu mengacaukan semuanya." Tebakan Duu Arven tidak meleset.
"Memang cuma jenderal muda, yang mengerti aku. Jika mereka berbuat keterlaluan, aku tidak akan memaklumi." Curhat pada orang ternyaman.
"Perkataan mereka jangan dimasukkan ke dalam hati. Setiap kamu tidak ada, Bibi Monic selalu menanyakan kamu. Mereka itu sebenarnya baik, cuma tindakannya terlalu egois." jawab Duu Arven, yang selalu berpikir positif.
"Penipuan tak kasat mata, lebih seram dari setan Qairen." Terucap begitu saja.
Duu Arven tersenyum. "Heheh... semakin hari, hubungan kalian bagaikan perang dunia."
"Iya, rasanya ingin membuat sangkar pertahanan. Suatu hari kalau dia menindasku, akan aku tinju dadanya hingga memar." Berbicara asal-asalan.
"Sebelum dia berhasil menindasmu, aku akan mencegahnya sejak awal." jawab Duu Arven.
Sore harinya Ayesa pergi ke sebuah kedai kue terkenal, bernama Founting Cake. Rasanya lezat, sudah paham karena berlangganan. Namun sejak dirinya menimba ilmu di luar kota, Ayesa sudah lama tidak menyentuhkan kaki di tempat tersebut. Saat tangan meraih gagang pintu kaca, bersamaan dengan tangan dokter Steffy yang memegangnya juga. Ayesa melihat orang di sebelahnya, dan dia sangat membenci sahabat pengkhianat.
"Maaf, tidak seharusnya aku menarik pintunya." ujar Steffy, dengan ramah.
Ayesa pergi begitu saja mengabaikan, mengira Steffy sama jahatnya dengan Daisy. Orang yang tega menjualnya, pada pria hidung belang.
"Dia itu tidak sopan, wanita sombong, jangan ditemani." Daisy menjelekkan Ayesa.
"Biarlah tidak kenal juga, tapi seperti pernah melihatnya." Steffy tidak asing dengan Ayesa, teringat pesta perjamuan istana presiden.
"Jangan dipikirkan, tidak penting." ujar Daisy.
"Iya sudah, yang penting perut telah terisi." Steffy melentangkan tangan, merasa merdeka bila berhasil mengusir rasa lapar.
Saat makan kue sendirian, tiba-tiba datang Duu Arven. Dia menyapa Ayesa, lalu duduk didekatnya. Duu Arven telah memanggil pelayan, untuk menyiapkan kue untuknya.
"Sejak kapan menyukai tempat ini?" tanya Ayesa.
"Sejak kamu menyukainya, aku juga ikut suka." jawab Duu Arven.
"Suatu hari, aku ingin meneruskan bisnis keluarga. Namun di samping itu, aku ingin mendirikan usaha baru. Aku akan merintisnya sejak awal, agar tahu perbedaanya." ungkap Ayesa.
"Kamu perempuan cerdas, aku yakin pasti berhasil." puji Duu Arven, berusaha menyemangati.
"Apa menurutmu bagus, bila aku membuka toko kue?" Ayesa meminta saran.
"Bagus, karena di kota ini masih jarang. Apalagi, sejak kecil kamu pintar dekorasi kue." Duu Arven nostalgia, saat kecil pipinya dioleskan cokelat.
Ayesa tersenyum lebar. "Hahah... kamu masih ingat saja, saat itu aku malah dekorasi pipi kamu." Meneguk air.
"Lama tidak melihatmu tertawa lepas, aku ikut senang." Duu Arven menikmati kue, yang baru diantar oleh pelayan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments