Qairen segera menggendong Ayesa dan berlari. Meski gerakannya lambat karena sedikit berat, namun Duckin selalu setia menjaga keselamatan komandan Qairen. Setiap ada yang ingin menembak, dia menyerang duluan.
"Eh, ada sebuah rumah, sebaiknya singgah di sana saja." ujar Qairen.
"Benar juga, kita tidak bisa pulang ke kantor sekarang. Ada para tentara pelajar, yang harus diselamatkan." jawab Duckin.
"Iya sudah, kamu kembali ke hutan dan aku akan mengobati Ayesa." Qairen memberi kode, dengan isyarat mata.
"Siap laksanakan titah komandan Qairen." jawab Duckin.
Qairen mengetuk pintu, lalu mulai terbuka sedikit. Orang yang ada di dalam hanya menampakkan setengah kepala. Ayesa sudah turun dari gendongan Qairen, kondisinya sedikit lebih baik dari yang tadi.
"Ada perlu apa?" tanyanya, dengan intonasi datar.
"Pak, kami butuh pertolongan. Sudikah kiranya memberikan kami tumpangan." tawar Qairen.
"Aku tidak mengenal kalian, bagaimana membiarkan masuk begitu saja." ujarnya lagi.
"Aku adalah komandan tentara negara Glowing. Di sini melakukan tugas, untuk melatih mahasiswa tentara kampus Chenida." jelas Qairen.
Akhirnya dibiarkan masuk, setelah mengetahui asal-usulnya. Dari baju yang Qairen kenakan, itu juga yang menambah keyakinan pria paruh baya tersebut.
"Bapak tinggal di sini sendiri?" tanya Qairen.
"Tidak, aku bersama dengan anak laki-lakiku." jawabnya.
"Mengapa Bapak memilih menyendiri tinggal di sini?" Qairen sekadar ingin tahu.
Dia menuang air dari teko, ke arah dua gelas. "Di sini aku menanam tumbuhan, tanpa diganggu ternak warga. Sekalian juga berburu, dengan membuat lubang jebakan. Kalau kalian berjalan di sekitar hutan harus berhati-hati, jangan sampai sembarangan melangkah."
"Aku mau minta tolong, jika ada sekelompok berbaju hitam mencari bilang saja tidak ada." ujar Qairen.
Pria itu menganggukkan kepalanya. "Iya, aku paham. Mereka adalah pemberontak, yang sering bersembunyi di sini."
Tok! Tok!
Sore hari menjelang Maghrib tiba, terdengar suara ketukan pintu. Pria paruh baya ini membukanya, seperti biasa mereka menumpang minum.
"Hei Pak tua aku bertanya padamu, adakah melihat seorang laki-laki mengenakan baju dinas tentara?" tanyanya.
"Aku tidak melihat." jawab pria itu bohong.
"Jangan mencoba menutupi, kami ditugaskan untuk membunuh. Anehnya, hingga detik ini kelompok mereka hilang. Seluruh hutan belantara, sudah kami periksa." Pria gondrong berpangku tangan.
"Jika kamu tidak berbohong, biarkan kami menggeledah tempat ini." Pria berbadan bongsor memperhatikan sekeliling detail.
"Silakan, tidak ada yang melarang." jawabnya santai.
Qairen menyuruh Ayesa lewat jendela, lalu melompat perlahan. Qairen pun melakukan hal serupa, bersembunyi di bawah kolong. Qairen segera menarik anak laki-laki, yang sedang berjalan memegang mobil mainan. Mengajaknya bersembunyi di bawah kolong, sambil membekap mulutnya rapat.
”Jangan sampai komandan Qairen terluka karena diriku. Nanti, aku berhutang Budi lebih banyak.” Ayesa berbicara dalam batin.
Dapur diperiksa tidak ada siapapun, pergi ke kamar juga tidak ada apa-apa. Toilet dan kamar mandi tidak lepas dari pemeriksaan. Lemari digeledah, juga tidak menemukan apapun. Beralih ke kolong ranjang tidur, namun tidak ditemukan juga. Mereka memilih keluar, dan menatap pria paruh baya curiga.
"Sudah lama menumpang melepas dahaga, masih saja berani berbohong." ujar pria gondrong.
"Bukankah tidak menemukan apapun? Apa yang terlihat salah denganku?" jawabnya, menunjukkan rasa percaya diri.
"Bapak tua, aku melihat jejak tanah diinjak oleh dua sepatu. Aku tidak percaya anak anda mengenakan ukuan besar. Dia masih terlalu kecil untuk memakainya, kecuali anda sedang mengelabuhi kami." Menatap intens, lalu menyodorkan pistol.
Terkejut, namun tidak menunjukkan kegugupan. "Aku sudah jujur, jadi harus bagaimana lagi."
Duar!
Pria paruh baya itu ditembak pelipisnya, hingga dia tewas di depan pintu masuk. Anak laki-laki itu menggigit tangan Qairen, lalu keluar dari persembunyiannya. Ayesa panik lalu mengejarnya, bersamaan dengan Qairen juga.
"Kalian semua jahat, telah berani membunuh ayahku." teriak anak kecil tersebut.
Duar!
Peluru berlari ke arah anak kecil itu, dan Qairen segera menyingkirkan tubuhnya. Hanya itu yang bisa dilakukan, untuk menebus rasa bersalahnya. Qairen bermain pistol menyerang mereka balik, dan Ayesa yang menjadi incaran mereka.
"Komandan Qairen lebih baik menyerah, atau nyawa gadis itu kami habisi." Pria gondrong melirik ke arah Ayesa.
"Cantik juga, boleh kami minta waktu bersamanya." Pria paling bongsor berjalan mendekat.
"Jangan sentuh dia, atau aku habisi nyawa kalian." Ancam Qairen.
"Komandan terlalu rakus, kami mau juga dengan gadis imut ini. Bagaimana bila berdiskusi, sambil berbagi gadis ini. Komandan dapat juga kok bagian, tenang saja." Tatapan berbeda, membuat Ayesa takut.
"Tutup mulut kalian, aku tidak segila itu." Masih mengarahkan pistol, namun belum menembak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments