Ayesa sudah sampai ke rumah, lalu memberikan obat ke ayahnya. "Ini obatnya Ayah, maaf terlambat. Tadi aku kesasar, karena lupa jalan."
"Mengapa kamu malah ngotot mau membelikan obat, padahal Bibi pengurus rumah mau membelikannya." jawab Zicko.
"Hadeh, jalan ke apotek saja lupa. Seperti itu saja, berlagak mau pergi." sahut Childith.
"Saudari sepupu, sepertinya ini tidak ada hubungan denganmu. Sudah larut malam, apa pantas tamu tetap tinggal." sindir Ayesa.
"Kamu mengusirku?" Childith melotot.
Ayesa tersenyum. "Santai saja, namun bila kamu merasa begitu silakan pergi sekarang." Memiringkan bibir sebelah kiri.
Childith mengambil tasnya di atas kursi sofa, lalu berpamitan dengan Paman Zicko. Setelah kepergiannya, Zicko ingin berbicara hal penting.
"Ayesa, Ayah ingin menyuruhmu kerja di kantor militer Chenida. Kamu 'kan sudah selesai kuliah dan kursus, sekarang saatnya kamu melihat kemampuanmu." ujar presiden Zicko.
Ayesa merasa pernah melihat tulisan Chenida, tapi lupa di mana. "Baiklah Ayah, besok kita pergi."
Keesokan harinya, Ayesa pergi ke kantor militer bersama Zicko. Komandan Qairen keluar, bersamaan dengan ajudan Duckin. Ayesa membulatkan kedua bola matanya, mengapa tidak teringat dengan kantor ini.
"Komandan Qairen, aku titipkan Ayesa anakku di sini. Biar dia bekerja dan berlatih, mohon untuk dibimbing. Bagaimanapun juga, kamu pernah membantuku. Maka sekarang, aku sedikit membantu." ujar Zicko.
"Baik tuan besar presiden Zicko, dengan senang hati." Komandan Qairen tersenyum.
”Dasar manusia berkepala dua, di depan ayahku kamu ramah. Aku adukan kamu yang pernah menculik, dan menjadikan aku sandera.” batin Ayesa.
"Hai Ayesa!" sapa Qairen.
"Hmmm..." Menjawab dengan acuh.
Komandan Qairen berbicara menggunakan mic. "Asisten Ay, segera bawa berkas gaji pasukan prajurit ke ruangan ku. Jangan lupa buatkan kopi untukku, harus manis iya rasanya. Halo, halo asisten Ay, apa kamu mendengarkan aku?" Berbicara sambil senyum-senyum sendiri.
Ayesa sedang mencatat terjemahan bahasa asing, merasa fokusnya terganggu lalu menepuk jidat sendiri. "Komandan licik satu ini, memanggil orang sudah seperti mobil perabot. Sangat berisik, tidak tahu malu."
Ayesa melangkahkan kakinya ke arah dapur membuat kopi, lalu berjalan ke ruangan Komandan. Dia meletakkan berkas di meja, dan kopi yang telah diseduh dengan sembarangan. Komandan Qairen meneguk air kopi, lalu lidahnya bergetar karena kepanasan.
"Haduh, kenapa sangat panas dan rasanya manis sekali?" Komandan Qairen protes, sebelum Ayesa pergi.
"Kalau air dingin, nanti gulanya tidak larut. Kalau masih panas bisa gunakan kesabaran, untuk menunggunya sampai hangat kuku." jawab Ayesa, tanpa menoleh ke arahnya.
Ayesa meninggalkan ruangan Qairen baru beberapa menit. Dia sudah berteriak menyuruh mengambil senjata di gudang, menyuruh mengambil pena, sapu, tinta, dan lain sebagainya. Masih juga dengan menggunakan mic, membuat orang semakin kesal ingin meninjunya.
"Komandan ini selain licik ternyata dia juga sinting, kenapa tidak sekalian kalau menyuruh. Kakiku jadi pegal semua, sehari kerja rasanya ingin berhenti." Ayesa menendang kaki meja, lalu kesakitan sendiri. "Bertemu denganmu adalah takdir tersial." Mengusap peluh sambil setengah berteriak.
Tiba-tiba Qairen muncul dari balik pintu. "Asisten Ayesa, mengapa nona terlihat resah?"
Ayesa membenarkan sepatunya. "Aku baik-baik saja." Menjawab acuh, tanpa menoleh.
"Asisten Ayesa, mengapa kemarin nona kabur dari asrama? Apa tidak merindukan pacarmu ini? Bukankah harusnya kita bisa membicarakan hal santai, dan juga makan bersama." Qairen tersenyum menggodanya.
"Komandan Qairen, kamu berpikir terlalu banyak. Sejauh ini, untuk tahap berteman baik pun kita belum sampai."
Mengerutkan dahinya. "Lalu siapa iya perempuan dalam hotel, yang mengakui laki-laki membunyikan tembak adalah pacarnya." Pura-pura tidak tahu, namun Ayesa dapat menebaknya.
"Komandan Qairen, jangan pura-pura dungu. Sebelumnya di hotel situasi genting, sekarang bukanlah waktu yang sama." jelas Ayesa.
"Tapi, aku jadi berharap lebih." Memasang raut wajah sedih, namun mulutnya bergerak menyebalkan.
"Tuhan sudah mempertemukan kita, biarkan aku membalas kebaikanmu. Sebutkan saja satu hal, setelah itu kita jangan terlibat apapun lagi." Ayesa rasanya ingin menjauh.
Qairen menjentikkan jari tengah dan ibu jari, lalu membunyikannya di atas udara. "Aku setuju, satu hal ini menarik. Aku katakan kemudian hari saja, harus meminta hal besar." Membenarkan kerah bajunya.
"Terserah." Ayesa menjawab dengan ketus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments