Dengan hati yang teramat getir, Giselle memasuki kamarnya. Yang dia tuju sekarang adalah kamar mandi, melihat luka di pelipisnya, karena ada cermin di kamar mandi. Bahkan, ketika sakit pun, Giselle di kamar mandi membersihkan lukanya sendiri dan memasang plester di pelipisnya. Terkena kayu, pastilah pelipisnya terasa begitu sakit.
Setelahnya, Giselle segera mandi, membersihkan tubuhnya, dan lebih baik segera tidur. Di saat seperti ini, dia merasa tidur adalah hal yang terbaik untuk menghilangkan perih di hatinya.
Walau matanya terpejam, tapi Giselle belum sepenuhnya tidur. Dia masih memikirkan bagaimana caranya untuk lepas dari situasi ini.
"Ya Allah, apa lagi yang bisa hamba lakukan ya, Allah ... hamba tidak meminta Mas Gibran untuk melawan Ibunya. Namun, Mas Gibran bisa memberikan rasa aman dan perlindungan kepada hamba, sebagai istrinya."
Sekadar memohon kepada Allah saja, air matanya berlinang dengan sendirinya. Giselle kembali teringat kesan pertama mertuanya kala bertemu dengannya. Kala itu, juga air muka Bu Rosa tampak tidak suka dengan Giselle. Giselle pun memaklumi karena dulu, dirinya begitu gendut. Sama sekali tidak menarik. Raut wajah ibu mertuanya berubah, ketika mereka ke Jakarta dan melamar Giselle. Barulah keluarga tahu bahwa Giselle berasal dari keluarga kaya raya, pemilik perusahaan properti terbesar di Ibukota.
"Aku masih berharap ya Allah ... gurun pasir tak bertepi ini, akan Allah ubahkan menjadi sabana hijau yang indah. Tumbuhkanlah rasa kasih dan sayang di hati ibu, untuk hamba."
Sebab, jika Giselle mengadu, dia hanya bisa mengadu dengan Allah semata. Selama satu setengah tahun menikah dengan Gibran, tak pernah Giselle mengadu perihal rumah tangganya kepada orang tuanya sendiri. Menyembunyikan air mata di balik senyumannya tiap kali Mamanya menelponnya.
Hampir sepuluh menit berlalu, barulah Gibran memasuki kamar, dan Giselle pura-pura untuk tidur. Menyimpan semua duka dan air matanya. Berusaha untuk tidur dengan nyenyak, walau pikirannya sendiri terasa begitu penuh sekarang. Bahkan Giselle sudah memikirkan, esok akhir pekan akan menjadi hari yang begitu membosankan.
***
Keesokan harinya ....
Menjelang sore hari justru rumah itu kedatangan seorang wanita yang berpenampilan santun. Rambutnya hitam panjang dibiarkan tergerai lurus. Wanita itu datang dan ingin menemui Bu Rosa.
"Assalamualaikum, Ibu," sapa wanita cantik itu.
Tidak berselang lama, Bu Rosa keluar dari kamar dan berjalan menuju ke pintu depan. Menengok siapa yang datang ke rumah. Sebab, biasanya tidak pernah ada yang datang ke rumah.
"Waalaikumsalam ... siapa?" tanya Bu Rosa dengan menelisik wanita cnatik itu.
"Ibu, Ibu apa lupa dengan saya? Saya Annisa, dulu pernah menjadi pacarnya Aa Gibran," balasnya dengan sedikit menundukkan kepalanya.
Bu Rosa pun berusaha untuk mengingat-ingat kembali. Mantan pacar Gibra? Bernama Annisa? Seingat Bu Rosa, Gibran begitu lama menjomlo kala itu, hingga akhirnya Gibran memutuskan kuliah S2 di Singapura, bertemu dengan Giselle dan akhirnya menikahi Giselle begitu usai wisuda.
"Pacarnya Aa Gibran, sewaktu masih kuliah di Bandung dulu, Ibu," ucap Annisa lagi.
"Anisa Fitri?" tanya Bu Rosa, yang akhirnya bisa mengingat sosok wanita itu.
"Benar, Ibu ... saya Annisa. Sudah begitu lama ya Bu?" tanya Annisa.
Bu Rosa pun menerima Annisa dan mempersilakannya untuk masuk ke ruang tamu. Walau sebenarnya juga bingung karena hubungan Gibran dan Annisa sudah berlalu sangat lama. Sejak mereka kuliah S1 dulu.
"Neng Annisa kok lama tidak kelihatannya? Di Bandung atau di mana?" tanya Bu Rosa kemudian.
"Saya, bekerja di Malaysia, Ibu ... bekerja di perusahaan di Malaysia begitu lulus kuliah. Oleh karena itu, dulu jadinya putus dengan Aa Gibran," balas Annisa.
Bu Rosa merespons dengan menganggukkan kepalanya. Mendengarkan cerita Annisa. Memang dulu, Gibran pernah mengenalkan pacarnya. Namun, hanya beberapa bulan setelahnya mereka putus, dan Gibran tidak pernah berpacaran lagi.
"Aa Gibran gimana kabarnya Ibu?" tanya Annisa kemudian.
"Baik, tapi Gibran baru keluar. Coba Ibu telpon dulu, sapa tahu usai ini Gibran bisa pulang ke rumah," balas Bu Rosa.
Namun, Annisa dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Oh, tidak usah, Ibu ... saya ke sini hanya mampir kok. Pengen menyapa, karena kemarin baru saja pulang dari Malaysia, dan ini ada buah tangan untuk Ibu dan Aa Gibran."
Annisa memberikan dua kantong paper bag yang berisi banyak kue dan makanan khas Malaysia. Tidak lupa, ada tas yang begitu indah, yang dia belikan khusus untuk Bu Rosa. Mendapatkan pemberian sebanyak itu tentu saja Bu Rosa menjadi senang.
"Yahh, kok repot-repot Neng Annisa. Oleh-olehnya banyak sekali," balas Bu Rosa.
"Tidak banyak kok, Bu. Tas ini untuk Ibu, Annisa belikan di kuala lumpur," balasnya.
Biasanya kaum Hawa memang suka dengan tas. Oleh karena itu, Bu Rosa pun juga sangat senang mendapatkan tas dengan merek terkenal dari Annisa. Sontak saja di dalam hatinya membanding-bandingkan Giselle dengan Annisa.
"Yang mantan saja, pulang bawa oleh-oleh dan beliin tas mewah. Yang jadi mantu sendiri, justru pelitnya minta ampun. Ngasih uang 3,5 juta setiap bulan saja sok-sokan," gumam Bu Rosa dalam hati.
"Gak usah keburu-buru Neng Nisa, Ibu buatkan minum dulu yah ... paling sebentar lagi Gibran juga pulang," ucap Bu Rosa.
Agaknya tidak sopan jika sudah mendapatkan banyak buah tangan dan membiarkan Annisa pergi begitu saja. Oleh karena itu, Bu Rosa menawarkan minum, sembari akan menelpon Gibran. Meminta anaknya itu bisa segera pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Enisensi Klara
Ibu aja yg ga pernah bersyukur selalu merasa kurang terus ,dasar kemaruk....ingat umur bu ntar lagi meninggoy ...emosi jadi nya 😤😤😤🙄🙄🙄
2023-03-16
0
Enisensi Klara
Dih matre langsung ijo mata kalo dapat bingkisan 🙄🙄🙄🙄
2023-03-16
0
Enisensi Klara
Eh Annisa ga usah sok jadi ulet bulu.deh🙄🙄🙄🙄😣😣😤
2023-03-16
0