Ketika ibu mertua tengah marah, dan suami juga sedang emosi. Saat seperti ini seolah menjadi hal yang menyedihkan untuk Giselle. Dia juga capek bekerja, sementara ibu mertuanya mengatainya yang bukan-bukan. Di satu sisi suaminya juga sedang emosi.
Jujur, sebenarnya Giselle bisa memahami suaminya yang capek dan lelah karena bekerja. Akan tetapi, dirinya pun membutuhkan tempat. Laksana perahu yang bersandar di dermaga, Giselle juga membutuhkan tempat dan waktu untuk bersandar. Meninggalkan ibu mertua, Giselle memilih untuk menaiki anak tangga menuju ke dalam kamarnya. Wajahnya masih berurai air mata, tapi lebih baik untuk lari sekarang juga. Daripada berlama-lama di bawah dan bisa saja ibu mertua kembali mengomel.
Begitu sudah berada di dalam kamar. Sekilas Giselle melirik suaminya yang mengusapi wajahnya dengan kasar. Pria itu tampak sibuk dengan laptop yang menyala dan juga beberapa file dokumen dalam bentuk kertas.
Tidak ingin mengganggu suaminya, Giselle memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi. Berdiri di bawah guyuran air shower dan juga membiarkan air matanya berpadu dengan air yang mengguyur badannya dari kepala hingga ujung kaki. Kali ini Giselle berada di dalam kamar mandi sampai lebih dari setengah jam. Begitu sudah selesai mandi, Giselle memilih untuk berbaring di tempat tidur.
Begitu sedihnya Giselle. Di saat seperti ini dan hatinya sakit, Gibran terlihat serius dengan pekerjaannya. Tidak meluangkan waktu untuk sekadar bertanya kepada Giselle, atau juga untuk sekadar menenangkan Giselle beberapa menit saja.
Wanita itu berbaring miring dan air matanya terus berlinang. Jika sudah berada dalam situasi seperti ini Giselle laksana perahu kayu yang terombang-ambing di samudra. Tidak bisa bersandar dan menemukan dermaga.
Beberapa lama, keduanya sama-sama diam. Hingga akhirnya Gibran berbicara, tanpa menoleh ke belakang dan memandang wajah Giselle.
"Kenapa sih Yang, kamu gak bisa menciptakan situasi nyaman di rumah. Selalu saja, bertengkar dengan Ibu," ucap Gibran.
"Yang kulakukan di rumah ini selalu saja salah," balas Giselle.
"Tidak usah membalas ucapan Ibu memang tidak bisa?" tanya Gibran lagi.
Giselle menghela nafas kasar, dan kemudian menatap punggung suaminya yang masih duduk di meja kerjanya. "Kenapa, kamu tidak pernah melihat di posisiku sih Mas? Aku pulang malam juga karena bekerja. Aku bekerja, sebagian penghasilannya juga untuk rumah ini loh. Sedikit saja, lihat aku dan usahaku supaya ibu mendapatkan penghasilan dan dapur ini bisa mengepul. Uang tidak bisa datang sendirinya, Mas. Harus bekerja keras jika ingin mendapatkan uang."
Giselle sekadar meluapkan isi hatinya. Dia pulang malam untuk bekerja. Bukan melakukan tindakan yang tidak tepat. Selain itu juga, sebagian penghasilannya juga untuk ibu mertuanya. Toh, dia pulang malam juga untuk bekerja. Bukan untuk bersenang-senang atau menikmati waktu dengan sahabatnya.
Giselle merasa lebih sedih karena suaminya itu seolah tidak pernah melihat posisinya. Tidak mencoba melihat kenapa ibunya selalu saja menyalahkan Giselle? Membuat teh salah, pulang malam salah, bangun agak siang salah. Seolah di rumah ini tidak bisa menerima Giselle.
"Menikah itu juga menikahi keluarganya kan Mas? Aku sudah melakukannya. Aku hanya menantu di sini, tapi perekonomian di rumah ini sepenuhnya dariku. Namun, kenapa aku tidak diterima dan diperlakukan layaknya menantu?"
Mengatakan semua itu, air mata Giselle kembali berlinang. Dia merasa bahwa operasional rumah sepenuhnya dari gajian yang dia berikan. Lima juta Rupiah tiap bulannya. Namun, tidak ada imbal baliknya. Giselle hanya disayang di tanggal muda saja, setelahnya selalu mendapatkan omelan dan cibiran dari ibu mertuanya sendiri.
"Sudah, Yang ... tadi di bawah sudah ribut sama Ibu, di sini masih mau ribut sama aku?" tanya Gibran.
"Bukan ribut, Mas. Sesekali Mas Gibran coba memahami posisiku sekarang," balas Giselle.
Sangat perih. Dia berharap memiliki suami yang bisa tahu kegelisahan hatinya. Tahu betapa sesaknya menjadi Giselle, dan juga beban bukan hanya mental tapi juga finansial yang dia rasakan setiap bulannya.
"Kamu mencintaiku, tapi setiap kali aku tehimpit seperti ini, disalahkan oleh ibu mertuaku sendiri. Kamu hanya bisa berkata jangan memaksaku memilih antara aku dan ibu, aku tidak menyuruh kamu memilih. Aku ingin aku melindungi aku. Aku masuk ke rumah ini juga karena aku mengikutimu. Bukan kemauanku," balas Giselle.
Lebih baik untuk menguraikan semua isi hatinya. Rasa sakit, sedih, dan betapa terhimpitnya dia. Daripada berpura-pura baik, tapi sebenarnya Giselle sendiri kehabisan nafas tiap kali berada di pondok mertuanya ini.
Gibran akhirnya memejamkan matanya. Hati nuraninya berkata, apa yang disampaikan oleh istrinya ada benarnya. Namun, Gibran juga tak kuasa melawan. Gibran seorang anak yang taat. Anak yang sejak kecil tidak pernah melawan ibunya. Untuk itu, sampai dewasa, sampai dia sudah menikah, Gibran memang tidak pernah melawan ibunya. Yang bisa Gibran lakukan adalah meminta Giselle untuk diam dan bersabar.
Sementara Giselle merasa pondok mertuanya ini sama sekali tidak indah. Yang ada hanya huru-hara, dan kasih sayang yang bersifat materialisme. Tidak menerima dengan tulus, dan juga tidak menghargai Giselle sebagai seorang menantu di rumah mertuanya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
manda_
lanjut lagi
2023-03-11
1
guest1053527528
iya Thor kasihan kan mba giselex capek2 plg kantor bukan di sambut malah di omelin berdua lagi dan biarkan Gisele Thor berontak dan keluar saja dari rmh itu
2023-03-09
0
Enisensi Klara
Ibumu itu yg nyebelin knapa Giselle yg disalahin
2023-03-08
0