Beberapa hari berlalu, sebenarnya kondisi rumah tangga Giselle dan Gibran tidak bisa dikatakan baik. Ada kalanya kasih diantara keduanya terasa hambar. Terlebih pasca arisan PKK, dan Gibran ditengah emosi dan ketidakberdayaannya mengatakan bahwa sebaiknya Giselle tidak menekannya untuk memilih di antara dia atau ibunya.
Sebenarnya bukan lantaran Giselle menekan suaminya untuk memilih salah satu di antara keduanya, tapi lebih ke Gibran yang sedikit saja bisa membelanya di hadapan Ibunya. Toh, bagaimana pun Giselle selama ini juga tidak menutup mata, uang bulanan untuk Ibu mertua juga selalu diberikan. Untuk tenaga, walau hasil pekerjaan rumah tangga Giselle tidak maksimal, tapi Giselle selalu mau dan berusaha untuk membantu kerjaan di rumah.
Sekarang, suasana petang di Bandung yang dingin. Oleh karena itu, Bu Rosa meminta tolong kepada Giselle untuk menyeduhkan Teh untuknya.
"Sell, Giselle ..., Ibu minta tolong dong, buatkan Teh panas. Hujan-hujan begini enaknya minum Teh panas," pinta Bu Rosa.
Merasa disuruh oleh ibu mertua sendiri, Giselle pun segera menuju ke dapur. Dia menyeduhkan teh, sesuai permintaan Ibu mertuanya itu. Tidak banyak bicara, karena Giselle berdiri di depan kompor gas dan menunggu air mendidih. Sementara Ibu mertuanya dan Gibran sedang duduk bersama di ruang tamu.
Diambilnya lah dua cangkir keramik, lalu menuangkan Teh yang beraroma melati itu. Kemudian Giselle mengaduk gula yang sudah bercampur dengan teh perlahan. Setelahnya, dia membawa nampan yang berisikan dua cangkir teh untuk Bu Rosa dan suaminya.
"Silakan, Bu ... tehnya," ucap Giselle.
Dia kemudian mengambil cangkir teh, dan mendekatkan ke meja di hadapan ibu mertuanya dan juga untuk suaminya. Giselle pun juga mempersilakan Gibran untuk meminum teh itu.
"Teh kok warnanya bening gitu sih?" tanya Bu Rosa.
Terlihat raut wajah Bu Rosa yang terlihat tak selera dengan teh yang baru saja dibuatkan oleh Giselle. Sebab, menurut Bu Rosa, teh yang dibuat Giselle warnanya bening, tidak coklat pekat. Selain itu, aroma melatinya juga tidak terlihat. Sekadar mengamati warnanya saja sudah membuatnya tak selera.
"Biar Giselle tukar ya, Bu ... Giselle buatkan yang baru," ucap Giselle yang berinisiatif.
Gibran yang duduk di depan Ibunya sudah menghela nafas. Apakah akan terjadi hal yang panas lagi. Persetegangan mertua dan menantu. Masak hanya lantaran teh saja, harus dipermasalahkan?
"Ibu, dicicip dulu dong, Bu. Enak kok, Gibran kan sudah minum. Warnanya memang tidak sepekat biasanya, tapi rasanya enak," ucap Gibran.
Namun Bu Rosa hanya menatap dengan jengah cangkir keramik berisi teh itu. Kemudian menggelengkan kepala, sudah terlanjur tidak berselera. Teh yang dibuat Giselle terlihat sama sekali tidak menarik.
"Giselle, Giselle ... jadi wanita kok bikin teh saja kayak gini," ucap Bu Rosa dengan mengangkat cangkir keramik itu kemudian menaruhnya kembali ke meja dengan sedikit keras, sehingga teh yang ada di dalamnya terkoyak dan tercecer di meja.
"Ibu," sergah Gibran dengan memperhatikan wajah Ibunya.
Namun, Bu Rosa sendiri seakan tidak menghiraukan Gibran yang sudah menahannya dengan sebuah panggilan.
"Jadi wanita, jadi istri, jadi menantu itu jangan hanya cakap cari uang. Jadi wanita harus bisa kerjaan rumah. Dulu, cuma cuci piring dan enggak mengumpulkan semua sampahnya. Sekarang, bikin teh aja bening kayak gini kayak air kobokan."
Giselle tertunduk, dia sama sekali tidak menyahut ucapan Ibu mertuanya. Sebab, jika membantah atau ingin membela diri juga hanya akan membuat ibu mertuanya bisa semakin emosi. Sementara, Gibran tampak menghela nafas panjang.
"Bu, sudah lah Bu," ucap Gibran lagi.
"Risiko punya anak menantu anak orang kaya. Bikin teh saja tidak bisa. Terbiasa dilayani. Apa-apa sudah ada ART yang sediakan dan melayani. Padahal kalau jadi wanita harus tahu urusan dapur juga. Gak hanya bekerja, pergi berangkat rapi, pulang di rumah tinggal tidur."
Ucapan ketus dan juga seolah menyangkut pautkan dengan latar belakang Giselle yang dari keluarga orang kaya. Bu Rosa geram karena Giselle seolah hanya bisa mencari uang, tapi tidak cakap mengurus rumah dan dapur.
"Bawa cangkirnya ke belakang! Bersihkan juga mejanya. Heran Ibu, punya menantu aja disuruh bikin teh gak bisa!"
Usai berbicara panjang lebar, Bu Rosa memasuki kamarnya. Sementara, air mata Giselle berlinang begitu saja. Dia kira, akan mendapatkan mertua yang akan menganggapnya anak. Orang tua yang menegur anak akan ditunjukkan letak kesalahannya, kemudian memberikan contoh supaya anak mereka tidak lagi salah. Bukan hanya memberikan ucapan pedas dan tidak memberikan teladan sama sekali.
"Sudah, biar aku yang bersihkan, Yang," ucap Gibran yang berdiri dan hendak membersihkan meja itu.
Akan tetapi, Giselle segera mencegah suaminya. Dia mengambil cangkir dan membersihkan meja, kemudian mencuci cangkir dengan berlinang air mata. Sangat sakit hatinya. Konflik batin yang dihadapinya setiap hari, seakan membuatnya serba salah di rumah mertuanya sendiri.
Ku kira menantu wanita akan dijadikan anak perempuan sendiri di rumah mertuanya. Namun, di sini hanya lidah pedas ibu mertua yang ku dapatkan. Aku selalu saja menjadi menantu yang salah, tidak ada benarnya. Kapan Ibu bisa menerimaku dengan tulus? Melihat diriku bukan sebagai anak orang kaya, tapi sebagai Giselle yang walau tidak sempurna, tapi aku berusaha melakukannya terbaik dari yang bisa kulakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
manda_
lanjut thor binggung tinggal sama mertua tuh apa2 salah
2023-03-11
3
Enisensi Klara
tunggu Bu Rosa meninggoy baru dijadikan mantu yg baik 🙄🙄🙄
2023-03-07
0
Enisensi Klara
kasih racun aja si Bu Rosa ini
2023-03-07
0