Masalah sejatinya yang tidak benar-benar diselesaikan hanya akan menambah beban di hati. Selama ini, Giselle dan Gibran berusaha untuk berdamai dengan keadaan, menganggap semua baik. Namun, sebenarnya masalah mereka benar-benar tak terselesaikan.
Setiap kali ada masalah, pastilah Giselle yang menangis, Gibran berusaha untuk menenangkan sebisanya. Namun, keberpihakan itu rasanya samar. Gibran menilai berani kepada orang tua adalah bentuk dosa. Sementara, Giselle meminta suaminya bisa membelanya. Membela berbeda dengan berani kepada orang tua. Namun, ketika Giselle meminta haknya untuk dilindungi dan meminta rasa aman. Yang ada justru, Gibran menilai Giselle mendesaknya untuk memilih antara dia atau ibunya.
"Bagaimana pun, aku tak bisa memilih antara kamu dan ibu. Ibu adalah wanita yang sudah melahirkan dan membesarkanku, sementara kamu adalah istriku, wanita yang aku cintai. Jadi, aku tidak bisa memilih dua wanita yang sangat berharga untukku," balas Gibran.
Jatuh sudah semua air mata Giselle. Dadanya terasa sesak. Tangisan bercampur isakan yang sangat menyayat hati. Giselle tidak mengira hidup bersama Gibran dan mertuanya akan sepelik ini, akan sepedih ini.
"Kita pulang yah," ajak Gibran kemudian.
Giselle menggelengkan kepalanya. "Mas Gibran pulang duluan saja. Aku akan menyusul nanti," balasnya.
Setidaknya Giselle masih membutuhkan waktu untuk bisa menenangkan dirinya. Sakit hati sebagai menantu dan sebagai istri. Sebagai menantu yang tidak disukai mertuanya sendiri. Serang sebagai istri, yang selalu merasa tidak mendapat perlindungan dari suaminya. Hati wanita pun akan sakit jika berada di posisi Giselle.
"Tidak, Yang ... kalau pulang ke rumah, kita akan pulang bersama-sama. Aku tungguin kamu di sini sampai kamu mau pulang," balas Gibran.
Giselle membiarkan saja suaminya itu. Toh, juga itu keinginan Gibran sendiri, bukan maunya. Yang pasti Giselle hanya ingin lebih tenang. Sebab, ketika kembali ke rumah nanti, dia akan dicerca dengan perkataan pedas dan tudingan dari ibu mertuanya sendiri. Tidak ada hari tanpa kedamaian. Rumah yang tidak memberikan kenyamanan untuk penghuninya.
Hampir setengah jam berlalu, barulah Giselle menyuruh suaminya itu keluar dari mobilnya. "Silakan turun, Mas ... aku akan pulang," ucap Giselle kemudian.
Gibran mengangguk, "Baiklah, aku akan mengikutimu dari belakang," balas Gibran.
Ketika Gibran sudah turun dan kemudian Giselle mengemudikan mobilnya perlahan. Tentunya hendak pulang, walau sudah terbayang bagaimana situasi di dalam rumah nanti. Namun, biarkanlah saja yang terjadi biarlah terjadi. Sementara Gibran sungguh-sungguh membuntuti mobil Giselle, tepat di belakangnya.
Begitu sudah memasuki rumah, Ibu mertuanya sudah menunggu di ruang tamu. Tampak begitu kesal dengan anak dan menantunya. Emosi pun memuncak jadinya.
"Marah? Bertengkar? Harusnya kamu tahu diri, Sell. Di dalam pernikahan kalian berdua, yang salah itu kamu. Kamu yang tidak bisa memberikan anak untuk Gibran. Mandul!"
Pekikan suara yang tajam dan begitu mengintimidasi. Tetap saja, di mata ibu mertuanya, letak kesalahan berada di diri Giselle. Seketika Giselle menundukkan wajahnya. Kata-kata tajam yang menusuk ke hati bukan satu atau dua kali saja Giselle dengar. Namun, satu setengah tahun menghuni pondok mertuanya, perkataan kasar dan pedas ibarat kata telah menjadi menu sehari-hari.
"Kamu Gibran, bela saja terus istrimu yang tidak tahu diri ini! Wanita tahunya bekerja, gak bisa punya anak. Mandul pula. Bela terus! Ingat, Bran ... surga itu di telapak kaki Ibu, bukan di telapak kaki istrimu itu! Kasih tahu istrimu yang tidak tahu diri itu!"
"Ibu, sudahlah, Bu ...."
Sama seperti biasa, Gibran hanya bisa meminta Ibunya untuk bisa menyudahi semuanya. Tidak membesar-besarkan masalah. Namun, di satu sisi Bu Rosa tak bisa berhenti. Mulutnya terus-menerus mengoceh dan menuding Giselle sebagai wanita mandul.
"Tujuan orang menikah itu untuk memiliki keturunan. Untuk apa hidup bersama kalau anak saja tidak punya, lebih kamu poligami saja, menikah dan punya anak."
Sekarang, justru Bu Rosa menganjurkan kepada Gibran untuk melakukan poligami. Sebab, dalam pandangannya Giselle hanya wanita yang tak bisa memberikan anak untuknya. Giselle menangis. Sebagai seorang ibu, seorang wanita bagaimana dengan begitu mudahnya, Bu Rosa menyarankan putranya untuk melakukan poligami. Kenapa dalam setiap perkataannya, seolah Bu Rosa tidak mempedulikan hati dan perasaan Giselle.
"Tidak, Bu ... yang Gibran cintai hanya Giselle. Pernikahan itu sekali untuk selamanya, tidak akan membagi biduk ini untuk wanita lain," jawab Gibran.
"Untuk apa kamu mempertahankan wanita seperti dia? Tidak ada untungnya. Yang ada justru harus mengelus dada sepanjang hari. Tidak cakap dalam pekerjaan rumah, tidak bisa memberikan anak. Huh, sebel Ibu," balas Bu Rosa.
Terbiasa diam, sekarang Giselle hendak berbicara. Dia harus menyampaikan isi hatinya, walau akan berakhir dengan mendapatkan cercaan lagi dari Ibu mertuanya.
"Kalau Mas Gibran memilih berpoligami, ceraikan aku dulu, Mas. Aku tidak mau dimadu ...."
Giselle menyampaikan semua itu dengan berurai air mata. Daripada dipoligami oleh suaminya, membagi suaminya dengan wanita lain, lebih baik jika Gibran menceraikan Giselle saja. Lebih baik mengucapkan talak dan membebaskan Giselle dari prahara rumah tangga yang tidak akan pernah ada habisnya.
"Kamu berbicara apa, Sayang. Aku tidak sudi melakukan poligami," balas Gibran.
"Drama. Sok menjadi wanita bener, kalau punya anak saja tidak bisa. Untuk apa menikah kalau tidak punya anak," balas Bu Rosa.
"Ibu, menikah tidak melulu tentang anak, Bu. Jika Allah belum memberi rezeki, manusia bisa apa?" Giselle membalas dengan tersedu-sedan di sana.
"Bayi tabung. Orang tua kamu saja, bersin bisa jadi uang. Apa tidak bisa memberi modal untuk bayi tabung?" tanya Bu Rosa.
"Kalau Giselle apa-apa meminta ke Mama dan Papa, tidak perlu Giselle menikah. Ketika menikah, suami yang mengambil tanggung jawab atas istrinya. Bertanggung jawab atas anak orang yang dia nikahi. Harusnya Mas Gibran yang menabung dan berusaha melakukan bayi tabung," balas Giselle.
Bukan bermaksud merendahkan suaminya. Namun, jika sudah menikah dan semua kebutuhan masih dipenuhi oleh Papanya, lebih baik dulu tidak menikah saja. Di mata Giselle, ketika pria berani mengambil keputusan untuk menikah, dia juga harus berani untuk belajar bertanggung jawab.
"Kamu merendahkan suami kamu?" tanya Bu Rosa dengan kedua bola mata yang membelalak dan kian kesal dengan Giselle.
"Tidak, Bu. Ibu itu yang menyuruh Giselle untuk meminta-minta kepada Papa dan Mama. Jika sekarang Giselle meminta bukankah lebih etis meminta kepada suami sendiri?"
"Lihat, Gibran. Kelakuan istri kamu. Merasa bisa cari uang, sampai merendahkan suaminya sendiri. Menantu gak tahu diri. Udah mandul, banyak bicara."
Emosi dan amarah Bu Rosa benar-benar memuncak. Saking emosinya Bu Rosa mengambil hiasan kayu di meja dan melemparkannya kepada Giselle.
Takk!
Hiasan kayu itu mengenai pelipis Giselle hingga berdarah di sana. Pandangan Giselle menjadi gelap, kepalanya mendadak pening. Hingga Giselle berusaha bertahan dan memegangi pelipisnya.
"Makasih banyak Ibu ... andai ada sedikit kasih sayang di hati Ibu untuk Giselle, tak akan pernah seorang ibu memukul anak menantunya sendiri. Ketika menantu bisa menjadi layaknya anak kandung di rumah mertuanya, di sini Giselle justru mendapatkan pukulan dari mertuanya."
Ada senyuman getir di wajahnya dan Giselle memilih menuju ke lantai dua di kamarnya. Sakit yang dia rasakan kian bertubi. Ketika ingin sabar, tapi seolah konflik batin itu seperti bara api yang tertiup angin, kian membesar setiap harinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Dinarkasih1205
itu bisa di lapotkan sebagai kdrt loh bu rosa akan bamyak pasal kalau gisel melaporkan kepada polisi penganiayaan juga , apa bu rosa nggak mikir kalau orang tua gisel nggak terima ,, good job thor feel dapat banget dan bikin aku darah tinggi 🤣🤣🤣🤣
2023-03-16
1
Bunda Titin
Bran hatimu di mana ?? tega sekali kamu diem aj melihat istrimu di kasari begitu sama ibumu.......demi alasan apapun udh ga bisa di benarkan itu dan demi alasan apapun kamu ga sepantasnya mentolelir tindakan ibumu........klo itu kamu lakukan berarti kamu setali tiga uang dng ibumu...........mba Kirana gregetan banget aku sama Gibran pingin tak gaplok itu kepalanya biar nyadar...........🤦🥴🤪🤨😤😬😠😠😠😠😠😠😠😠😠😠😠😠
2023-03-15
0
Bunda Titin
waahhhhh..........udh bener2 keterlaluan ini mah, udh ga bisa di biarkan klo Gibran msh tetap diem aj udh Selle balik ke rmh orang tuamu ............udh ga perlu kamu ksh hati LG semakin lama harga dirimu di injak2 sama ibu mertuamu.........pulang Selle.......pulang.........🤔🤨😤😬😠😠😠😠😠😠
2023-03-15
0