Tidak terasa pernikahan Giselle dan Gibran sudah menginjak tahun pertama. Walau banyak rintangan dan juga banyak konflik batin dengan ibu mertua sendiri, tapi kali ini Giselle dan Gibran mensyukuri satu tahun pertama pernikahan mereka. Sekalipun tidak dirayakan dengan mewah, mereka cukup berada di kamar dan sama-sama mengungkapkan isi hatinya.
"Sayang, aku berterima kasih untuk satu tahun ini. Kami sudah mendampingiku. Pasti tidak mudah bersamaku, dan tinggal di dalam rumahku. Aku tahu semua kesulitanmu. Dalam satu tahun ini, aku juga banyak salah. Pekerjaanku yang belum stabil, termasuk gaji yang hanya separuh lebih dari penghasilanmu, membuat kadang leher kita tercekik. Terima kasih sudah mau mendampingi aku, di dalam setiap kekurangan dan kelemahanku."
Gibran dengan jujur mengatakan bahwa banyak kekurangan dirinya. Termasuk penghasilannya yang tidak seberapa dari pendapatan Giselle. Sekali lagi, pada kenyataannya memang ada istri yang memiliki penghasilan jauh lebih besar dari penghasilan suaminya. Bahkan riset juga mengatakan bahwa sepertiga wanita di beberapa negara berpenghasilan lebih besar dibanding suaminya.
Bukannya diam dan menerima begitu saja. Akan tetapi, ada suatu titik di mana Gibran merasa stress. Seperti yang pernah dikemukakan bahwa pria cenderung lebih stress dengan istri yang memiliki gaji besar. Semua ini karena adanya pride atau harga diri suami yang menurun ketika gaji istrinya lebih besar. Selain itu ada faktor maskulinitas bahwa pria berharap dirinya selalu lebih baik ketimbang wanita.
"Maaf ya, Sayang. Aku menyadari kekuranganku."
Giselle yang mendengarkan ucapan suaminya pada akhirnya menganggukkan kepala. Dia memahami kondisi suaminya. Sebenarnya, Giselle sendiri merasa tidak masalah. Hanya saja, kadang dia hanya ingin dimengerti.
"Tidak apa-apa, Mas. Terkait penghasilan kita yang besar pendapatanku, aku tuh gak masalah. Toh, dari penghasilan kita berdua tetap ada yang ditabung. Selain itu, aku memberi untuk Ibu juga tulus dan ikhlas. Tidak mengharap kembali. Kadang, aku hanya ingin dimengerti saja," balas Giselle.
Gibran perlahan mendekat, menggenggam tangan Giselle dan memberikan usapan lembut di tangannya. "Aku akan berusaha mengerti kamu, Sayang."
Ketika Gibran mengatakan demikian, Giselle hanya berharap suaminya itu benar-benar bisa memahaminya. Termasuk semua tekanan yang dia alami ketika berada di rumahnya. Aspek penerimaan itu sangat penting. Giselle ingin, dia juga diterima di rumah mertuanya sendiri.
"Menikah itu bukan hanya menikahi personalnya kan Mas? tapi, menikahi keluarganya juga? Bukannya aku kenapa-napa, tapi setidaknya berilah Ibu pengertian. Aku bekerja juga untuk kita semua. Lagipula, aku tinggal di rumah ini karena aku mengikuti suamiku. Kalau suamiku tidak bisa membelaku, tidak bisa memberikan perlindungan untukku, lalu, aku harus kemana?"
Ini adalah sessi untuk berbicara dari hati ke hati dengan suaminya. Sekadar untuk menyampaikan isi hati dan perasaannya. Gibran pun menganggukkan kepala. Dia berkomitmen untuk bisa melindungi dan memberikan rasa aman kepada Giselle.
"Happy Anniversary, Sayang. Semoga di tahun berikutnya, hubungan kita berdua akan lebih kuat yah," ucap Gibran.
"Iya Mas ...."
Membiarkan malam itu berlalu, kini mereka memilih untuk beristirahat. Bersiap untuk menyambut hari esok. Lagipula, esok hari sudah permasalahannya sendiri yang sudah menunggu.
***
Keesokan harinya ...
Pagi hari ketika Giselle bangun. Wanita itu hanya merapikan rambutnya, mencuci muka, dan menggosok gigi kemudian segera turun untuk membantu Ibu mertuanya menyiapkan sarapan. Walau kadang tensi di dapur begitu tinggi dan panas. Namun, Giselle memilih untuk tetap membantu.
"Pagi, Bu ... mana yang perlu Giselle bantu, Bu?" tanya Giselle kepada ibu mertuanya.
"Kangkung nya itu dipetik, Sell. Setelahnya buat bumbu untuk menumis," instruksi dari Ibu mertuanya.
Tidak banyak berbicara, Giselle segera memetik kangkung dan kemudian mulai membuat bumbu tumis seperti yang diminta Ibu mertuanya. Setelah itu, Giselle membantu untuk menggoreng tahu dan tempe. Memang ada kalanya, Giselle memilih diam dan tidak banyak berbicara. Daripada nanti, Ibunya bisa mengomel dan mengeluarkan perkataan yang pedas.
"Sudah semua, Ibu ... Giselle naik ke atas untuk siap-siap dulu, Bu," pamitnya.
Usai membantu menyiapkan sarapan. Barulah Giselle mandi dan bersiap dengan pakaian kantornya. Hanya celana panjang dan juga kemeja panjang. Walau putri orang kaya, penampilan Giselle juga sangat sederhana. Sama sekali tidak terlihat mewah dan juga tidak mengenakan barang branded.
Memantaskan diri di depan cermin kemudian Giselle turun ke bawah, menuju ke meja makan. Di sana sudah ada Bu Rosa dan Gibran yang duduk di meja makan.
"Sell, ngomong-ngomong pernikahan kalian sudah satu tahun kan?" tanya Bu Rosa ketika Giselle baru saja duduk.
"Benar, Bu," jawabnya singkat.
"Tetangga kita itu baru menikah sebulan sudah hamil loh. Kok kalian yang sudah menikah setahun sampai sekarang masih belum diberi momongan sih?"
Seketika Giselle menghentikan sendok dan garpu. Bahkan sekadar menelan makanan yang sekarang dia kunyah saja rasanya susah. Gibran pun memilih bersikap tenang dan berusaha keras untuk tidak terbawa suasana di pagi hari.
"Periksa sana loh, Sell. Masak kalah sama tetangga yang baru menikah satu bulan?"
Orang tua zaman dulu selalu berpendapat bahwa memiliki anak atau keturunan seperti kompetisi. Yang menikah baru seharusnya juga segera memiliki anak. Jika tidak, akan merasa tersaingi. Padahal, memiliki anak juga bukan perkara bersaing.
"Lain waktu, Giselle akan periksa ke Dokter Kandungan, Bu. Sekarang pekerjaan Giselle sangat banyak, sehingga belum ada waktu untuk ke Dokter Kandungan," jawab Giselle.
Bu Rosa tampak menghela nafas panjang dan melirik Giselle yang duduk di depannya. "Kamu ini Sell, serius bekerja, sampai lupa untuk memikirkan memiliki keturunan. Ibu sudah tua, ibu pengen cucu dari kalian berdua."
Giselle berusaha keras untuk bersabar. Terkadang ucapan mertuanya yang pedas seperti ini membuat Giselle mengelus dada. Memang sekarang pekerjaannya sedang banyak, bukan lupa memikirkan untuk memiliki anak. Terkadang juga anak itu anugerah Tuhan. Banyak juga pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah dan memang belum diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memiliki anak.
"Jangan hanya sibuk bekerja sampai abai dengan dengan semuanya," ucap Bu Rosa lagi dengan suara yang terdengar begitu judes.
Gibran yang semula tenang, kemudian melirik ke Giselle dan Ibunya bergantian. Hingga akhirnya, pria itu berbicara. "Mungkin memang belum waktunya untuk memiliki keturunan, Bu. Gibran dan Giselle juga sedang banyak pekerjaan. Pekerjaan banyak, walau gaji hanya pas-pasan. Jadi, mending kamu mengejar karir dan mempersiapkan finansial untuk anaknya nanti, Bu," ucap Gibran.
"Ah, kalian berdua ini sama saja. Rumah tangga itu yang utama anak. Apa gunanya punya uang melimpah kalau enggak memiliki anak. Yang pasti Ibu meminta cucu!"
Usai mengatakan semuanya, Bu Rosa pergi. Dia jengkel dengan Gibran dan Giselle yang seolah justru kelihatan menunda untuk memiliki momongan. Harusnya memang anak dan menantunya itu juga fokus untuk berusaha mendapatkan keturunan terlebih dahulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
manda_
lanjut thor semangat buat up lagi ya ditunggu
2023-03-11
1
Enisensi Klara
Sabar Bu anak itu rejeki Tuhan kalo blm waktumya ya belum
2023-03-11
0
Enisensi Klara
Amin....🥰
2023-03-11
0