Konflik batin yang dialami oleh Giselle, rupanya masih berlanjut. Bahkan lantaran perkara sepele saja selalu menjadi ujaran yang mengandung kebencian untuk Giselle. Sementara, Giselle juga tidak akan membalas ibu mertuanya. Dia tetap tahu adab dan kesopanan. Bagaimana pun menantu akan menaruh hormat kepada mertua. Walau sikap baik menantu kadang juga disalahartikan.
"Ibu, ini bulanan untuk Ibu," ucap Giselle yang awal bulan itu kembali memberikan uang bulanan untuk ibu mertuanya.
Sebenarnya apa yang dialami Giselle dan Gibran sekarang adalah keduanya menjadi Generasi Sandwich. Generasi sandwich sendiri adalah generasi orang dewasa yang harus mengganggung hidup tiga generasi yaitu orang tua atau mertuanya, diri sendiri, dan anaknya nanti. Kondisi ini yang kemudian dianalogikan seperti sandwich di mana sepotong daging akan terhimpit dengan dua buah roti. Roti itu adalah orang tua atau mertua dan anak. Sedangkan isi utama sandwich yang adalah daging itu adalah diri sendiri.
Saat ini Giselle belum terlalu terbeban karena memang dia belum memiliki anak, hanya sekadar membantu mertuanya saja. Jika, melakukan semua ada timbal baliknya tidak masalah untuk Giselle. Yang dia inginkan adalah mendapat kasih sayang, diterima secara penuh oleh mertuanya sendiri. Bukan hanya disayang ketika usai memberikan uang bulanan dan kemudian dibenci dan mendapatkan ujaran kebencian ketika uang yang dia berikan sudah menepis.
"Wah, makasih, Sell ... kebetulan banget, beras di rumah sudah habis. Kalau hari ini tidak kamu kasih, tidak tahu harus makan apa," ucap Bu Rosa.
Ketika sudah berbicara seperti ini, jujur saja Giselle juga merasa kasihan. Namun, juga ada saat-saat di mana dia ingin diterima dan disayangi oleh mertuanya. Terlebih, Giselle tidak pernah memberitahukan kondisinya kepada Mama dan Papanya di Jakarta. Sebab, Giselle yakin di balik semua kondisinya sekarang, pasti Tuhan yang akan memberikannya kekuatan.
"Tidak usah, Bu ... Ibu gunakan dan tabung sisanya saja. Giselle makan apa saja mau kok, Bu," balasnya.
"Makasih ya, Sell. Kamu memang mudah makannya, tidak pilih-pilih," balas Bu Rosa.
Entah, di tanggal muda apalagi pasca gajian seperti ini wajah Bu Rosa bersinar cerah, seperti uang Rupiah dengan gambar Proklamator di sana, cerah dan penuh senyuman. Namun, ketika mendekati tanggal tua, wajah Bu Rosa akan berubah menjadi uang Rupiah dengan gambar pahlawan M.H. Thamrin. Kelabu. Tidak bersemangat.
***
Keesokan harinya ...
Agaknya sudah bisa Giselle tebak, jika usai gajian, menu sarapan di meja makan akan melimpah. Ada ayam, dan juga ada buah sebagai pelengkap nutrisi agar seimbang. Namun, ketika tanggal tua, pernah di meja makan hanya ada tempe dan tahu goreng saja. Kadang ingin mengelus dada, tapi juga Giselle hanya bisa menghela nafas panjang dan menekankan kepada hatinya sendiri untuk bisa lebih sabar.
"Ibu, nanti Giselle ada lemburan pekerjaan. Jadi, Giselle pamit nanti pulang agak terlambat ya Bu," pamitnya.
"Iya, tidak apa-apa. Kalau bisa sih, diusahakan sebelum makan malam sudah pulang," ucap Bu Rosa.
Walau memperbolehkan, tetap saja bahwa batasan yang diberikan adalah sebelum jam makan malam. Tentu saja, untuk Giselle itu waktu yang mepet. Sebab, ketika membuat analisa saham bisa membutuhkan waktu yang panjang.
Ketika Giselle hampir menyahut, Gibran sudah menggelengkan kepala secara samar. Tentu ini untuk menjaga atmosfer pagi hari di rumah agar tidak panas dan kembali memicu adu mulut. Giselle hanya bisa menunduk, wanita itu memilih untuk makan, walau sebenarnya mulai tidak berselera.
***
Malam harinya ...
Giselle tidak bisa pulang sebelum jam 19.00 malam. Dia justru pulang jam 21.00 malam. Itu juga karena banyaknya pekerjaan dan harus segera diselesaikan. Sepanjang perjalanan pulang, Giselle sudah menerka pasti dia akan mendapatkan amukan dari ibu mertuanya. Namun, yang namanya pekerjaan dan dia hanya pekerja, sehingga tidak bisa mengelak lagi.
"Assalamualaikum Ibu," sapa Giselle begitu membuka pintu rumahnya.
"Jam segini baru pulang Sell? Bukannya tadi Ibu bilang jangan pulang terlalu malam," balas Bu Rosa dengan begitu kesal.
"Maaf, Bu ... tadi harus selesai hari ini juga kerjaannya," balas Giselle.
Bu Rosa menghela nafas kasar dan kemudian menggelengkan kepalanya. "Kamu ini wanita loh, Sell. Suamimu saja jam lima sore sudah di rumah, dan istrinya justru jam segini baru pulang?"
Mungkin juga capek dan lelah bertubi dengan pekerjaan dan begitu sampai di rumah, Giselle juga mendapatkan ucapan yang pedas dari ibu mertuanya. Kali ini Giselle memberikan jawaban dengan menitikkan air matanya.
"Bu, Giselle bekerja keras kan untuk Ibu juga, untuk rumah ini. Supaya dapur bisa mengepul. Lima juta sebulan itu besar, Bu. Tuntutannya bekerja mengikut orang memang seperti ini. Harus siap lembur," jawabnya.
"Kamu sendiri yang sukarela memberikan uang lima juta, Ibu tidak memintanya," balas Bu Rosa dengan berteriak.
Air mata Giselle kian mengalir deras. "Namanya kerja ikut orang, Bu. Terkadang memang harus lembur. Ibu tidak tahu, walau pulang jam lima sore, Giselle bisa lembur di rumah sampai jam satu dini hari. Giselle bekerja keras kan untuk keluarga kita juga," balasnya.
Bukan membela diri, tapi setidaknya Giselle ingin mertuanya itu bisa memahami kondisinya. Dia bekerja ikut orang, mengikuti aturan perusahaan. Tidak bisa seenaknya sendiri karena dia bukan pemilik perusahaan itu.
Mendengar keributan di bawah, Gibran kemudian keluar dari kamarnya. Pria itu tampak kusut karena memang Gibran sedang mengerjakan pekerjaan dari kantornya.
"Ibu dan Giselle, sudah! Kalian apa tidak capek, setiap hari selalu beradu mulut. Sudah!"
Gibran yang tidak terbiasa membentak pun sekarang membentak, sampai Giselle terkaget-kaget mendengar suara keras suaminya itu. Tidak menyangka, pria selembut dan kalem pembawaannya seperti Gibran bisa berteriak juga.
"Mas, aku ...."
"Dia itu menantu tak tahu diri, yang pulang malam dan playing victim. Siapa yang meminta nominal lima juta dari kamu? Ibu tidak memintanya, sekarang menuduh Ibu yang tidak-tidak," balas Bu Rosa.
Gibran menghela nafas kasar sembari mengusapi wajahnya. "Kapan rumah ini akan damai dan tenang? Setiap hari yang ada adalah pertikaian Ibu dan Giselle terus. Gibran juga butuh ketenangan, Bu."
Usai mengatakan semua, Gibran naik ke dalam kamarnya. Sementara Giselle masih menangis sesegukan di tempatnya. Tidak tahu harus berbuat apa. Dimarahin mertua iya, dibela suami pun tidak. Rasanya rumah ini seolah benar-benar tidak menerima keberadaannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
manda_
lanjut
2023-03-11
0
Bunda Titin
duitnya mau tp sama orangnya ga pernah ada manis2nya..........itu mulutnya Bu Rosa ga capek apa ya ngedumel trs, klo sama suaminya aku kok udh gregetan banget ya .........pingin tak slepet sendal sejuta umat biar eling..........🤦🥴🤪🤔🙄😤😬😠😠😠
2023-03-07
0
Enisensi Klara
minta disajen kau Bu 🙄
2023-03-07
0