Ada pepatah mengatakan bahwa keberadaan manusia di dunia ini layaknya hanya menumpang utnuk minum. Hanya sesaat, hanya sementara. Begitu pula, dengan duka yang sekarang dialami oleh keluarga Winantha.
Ya, hari ini adalah hari yang paling pilu untuk Bu Rosalia dan juga Gibran. Sebab, hari ini Ayahandanya kembali ke haribaannya. Bermula ke rumah sakit dengan keluhan dadanya yang sesak, ketika malam justru sang Ayahanda dinyatakan sudah tiada.
"innalillahiwainnailaihirojiun," ucap Gibran dengan dada yang begitu sesak.
Mendengar kabar bahwa Ayahnya masuk ke Rumah Sakit, Gibran memutuskan untuk izin dari tempatnya bekerja. Pria itu segera menuju ke Rumah Sakit. Bahkan menjelang sore, dia masih sempat mengobrol dengan Ayahnya.
"Bagaimana Ayah, apakah masih sakit?" tanya Gibran.
"Masih sedikit saja. Biasa, Bran ... Ayahmu ini sudah tua. Apalagi yang diharapkan dan ditunggu," ucap Ayah Winatha.
"Ayah, Ayah jangan berbicara begitu ... Ayah harus memiliki semangat untuk sembuh. Gibran dan Giselle juga baru saja menikah. Ayah semoga dilimpahi usia yang panjang, semoga bisa menemani Gibran sampai Gibran dan Giselle memiliki buah hati nanti," ucap Gibran.
"Semoga Ayah masih diberi waktu oleh Yang Kuasa sampai saat itu. Jika tidak, kamu dan Giselle harus bahagia. Jagai dan temani istrimu selalu. Sampai akhir hayat," ucap sang Ayah.
Perkataan itu seakan menjadi pesan terakhir dari Ayah Winantha untuk Gibran. Sebab, usai adzan Magrib, rupanya Ayahandanya sudah menghadap kepada sang Pencipta. Rupanya, Allah lebih menyayanginya, sehingga itu dianggap Gibran sebagai pesan terakhir dari Ayahandanya.
Kamu dan Giselle harus bahagia. Jagai dan temani istrimu selalu. Sampai akhir hayat.
Terngiang-ngiang dengan suara sang ayah yang masih menggema di telinganya. Sekarang, di rumah hanya raga sang Ayah yang sudah membujur kaku. Bu Rosa pun menangis di depan jenazah suaminya. Tidak mengira bahwa suaminya akan meninggalkannya secepat ini.
"Ayah, kenapa Ayah meninggalkan Ibu secepat ini?" Bu Rosa menangis dengan sesegukan, dan sangat terpukul dengan kepergian suaminya untuk selamanya.
Tidak ada yang tidak berduka. Termasuk Giselle yang sangat sedih dengan kepulangan ayah mertuanya. Namun, bagaimana pun semuanya harus ikhlas. Jenazah disemayamkan hingga keesokan harinya, kemudian kurang lebih pukul 10.00 WIB barulah jenazah Ayah Winatha dikebumikan.
Gibran turut turun ke liang lahat dan menyuarakan adzan di telinga yang ayah. Dengan hati yang hancur, Gibran menyuarakan adzan, dan setelahnya pria itu naik ke atas. Hingga tanah mulai dimasukkan ke dalam liang lahat perlahan-lahan. Kini, di depan sebuah pusara, Gibran, Giselle, dan Bu Winatha duduk di sana dengan berurai air mata. Gibran yang memeluk sang Ibu di sisi kanan, dan istrinya di sisi kiri. Sebagai satu-satunya pria di rumah sekarang, walau hancur, Gibran harus menguatkan Ibu dan istrinya.
"Sudah Ibu ... ikhlaskan Ayah. Ayah sudah bersama Allah, sakitnya sudah diangkat sama Allah," ucap Gibran dengan mengusapi lengan ibunya.
"Sudah, Sayang ... tidak apa-apa. Pada akhirnya semua manusia akan kembali kepada Sang Pencipta," ucap Gibran.
Giselle dan Bu Rosa sama-sama menangis di bahu Gibran. Hati yang hancur dengan melepaskan kepergian orang yang mereka cintai untuk selama-lamanya. Namun, sejatinya begitulah kehidupan manusia, yang pada akhirnya akan kembali kepada Sang Pencipta.
***
Selang Tiga Hari kemudian ...
Kediaman Winatha masih diselimuti duka. Tawa dan senyuman seakan menjadi dua hal yang hilang di tengah-tengah mereka bertiga. Bu Rosa masih bersedih dan menangis. Harus beradaptasi dengan kebiasaan baru, tanpa sang suami.
Sekarang, di ruang tamu ketiganya duduk bersama. Hingga akhirnya, Bu Rosa berbicara kepada Gibran dan juga Giselle di sana.
"Gibran dan Giselle, Ibu ingin berbicara kepada kalian berdua. Sekarang Ayah sudah tidak ada. Jadi, tidak ada sosok yang memiliki penghasilan tetap untuk membuat dapur tetap mengepul dan operasional rumah ini. Jadi, untuk operasional rumah ini, Ibu pasrahkan kepada kalian berdua," ucapnya.
Di sana Gibran dan Giselle sama-sama menganggukkan kepalanya. Gibran dan Giselle juga tahu bahwa tidak ada lagi tulang punggung di dalam rumah ini. Praktis, anak-anaklah yang sudah dewasa dan sudah bekerja, harus mengambil alih operasional rumah.
"Giselle, apa kamu mau membantu Ibu?" tanya Bu Rosa secara langsung.
"Iya, Ibu ... nanti setiap bulan, Giselle akan berikan dari penghasilan Giselle," jawabnya.
Terlihat bahwa sebagai menantu, Giselle tidak pelit dalam urusan uang. Bahkan dia mau memberikan untuk ibu mertuanya dari penghasilannya sendiri.
"Maafkan Ibu, Sell ... tapi, memang kenyataannya penghasilan kamu lebih besar dari penghasilan Gibran. Terlebih sekarang, tidak ada yang bekerja selain kalian berdua. Kamu tidak keberatan kan?" tanya Bu Rosa lagi.
"Iya, Bu ... setiap bulan Giselle bisa membantu sedikit," balasnya.
"Makasih, Selle ... kamu memang menantu Ibu yang baik. Di saat kita berduka dan kehilangan, setidaknya operasional di rumah ini bisa terus berjalan. Dapur di rumah kita pun masih bisa mengepul," ucap Bu Rosa lagi.
Sementara Gibran hanya bisa diam. Sebab, pada kenyataannya memang gajinya ada di bawah penghasilan Giselle setiap bulannya. Ada rasa malu di hati karena tidak bisa membantu sang Ibu, tapi juga seakan rumah ini membutuhkan penyokong lain untuk menghidupi mereka yang tinggal di dalamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
manda_
kl ibu mertua baik pasti mantunya jg baik
2023-03-11
0
Enisensi Klara
Ya pastilah Giselle bantu kamu buk ga mungkin lah Giselle berpangku tangan
2023-03-03
0
Enisensi Klara
Makanya buk baik2 lah sama mantu ,giliran gini minta bantu ke Giselle juga kan ....
2023-03-03
0