Bismilahirohmanirohim.
Radit masih berdiri diambang pintu kamar putrinya, langkah kakinya sangat berat untuk masuk ke dalam sana. Apa yang Nafisa utarkan pada Jihan begitu menusuk hati Radit.
Masuk ke kamar sang anak, rasa sedih dan senang mencampur jadi satu di hati Radit, kala dia mendengar semua penjelasan tentang anaknya. Radit tak menyangka ternyata bukan hanya dirinya yang merindukan masa-masa bersama sang anak, Nafisa juga merasakan hal sama ternyata.
Radit akui disini dia memang yang egois, tidak memiliki waktu untuk anaknya, anehnya dia memiliki waktu untuk orang lain. Radit membenarkan semua yang Nafisa katakan.
Akhirnya Radit mengurangkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar Nafisa, dia kembali berbali menuju kamarnya sendiri.
Kamar Radit jarak 1 kamar dengan sang anak, kamar yang berada ditengah-tengah kamar mereka adalah kamar Ayu aslinya.
Tapi Ayu tidak suka berada di kamar atas, jadilah dia meminta dibuatkan 1 kamar lagi dibawah. Di kamar atas juga barang-barang Ayu masih ada disana. Radit menghela nafas berat, dia tutup pelan pintu kamarnya, hatinya tak karuan.
"Astagfirullah." Radit duduk di atas kasurnya.
Dia pandang foto putrinya yang selalu terpajang di kamar pribadinya sendiri.
"Astagfirullah, maafkan ayah Nafisa."
Rasanya Radit ingin sekali menangis, sayangnya dia tidak bisa. Air matanya seakan tertahan dipelupuk matanya.
Radit memejamkan matanya, ingin sekali mengulang kejadian tadi siang. "Allhamadulilah Ya Robb, Nafisa ayah sayang kamu Nak, ayah janji akan membahagiakan kamu."
Radit memutuskan untuk mengambil air wudhu dia belum menunaikan shalat isya ternyata.
Radit bangkit dari kasurnya, tiba-tiba dia mengingat janjinya pada Elsa. "Rasanya kenapa hatiku ini menyesal sudah mengatakan pada Elsa akan berlanjut ketahap yang serius. Aku malah berharap Jihan yang menjadi istriku." Molong Radit tanpa sadar.
"Astagfirullah apa yang baru saja kamu katakan Radit."
Buru-buru Radit segera mengambil air wudhu dari pada kepikiran yang tidak-tidak. Radit jadi aneh pada dirinya sendiri.
"Huh!"
Waktu terus berjalan bagaimana semestinya, kadangan manusia merasa waktu terus berjalan dengan sangat cepat, kadang juga merasa waktu sangat lama.
Radit kira dia baru saja memejamkan mata, ternyata adzan subuh sudah berkumandang disetiap masjid. Lantunan suara adzan terdengar dari masjid mana-mana saling bersahutan satu sama lain.
Radit melaksanakan shalat jamaah subuh di masjid dekat rumahnya, bukan hanya Radit, kakek Amran pun melakukan hal yang sama seperti putranya.
Begitulah keseharian keluarga Amran jika dipagi hari. Menjadi orang kaya tidak membuat mereka lupa diri.
Kakek Amran sadar betul, sesadar-sadarnya jika semua yang beliau miliki amanah yang harus dia jaga, dari Sang Maha Esa..
Kakek Amran sadar betul semua akan dipertanggungjawabkan, maka dari itu beliau menanamkan pada anak-anaknya tentang kebaikan. Kakek Amran juga melarang keluarnya melakukan isyrof, sesuatu yang berlebihan.
Tepat saat pukul 7 pagi semua orang sudah berada di meja makan, mereka semua memulai sarapan dengan takzim, ada sedikit obrolan di meja makan untuk menghangatkan suasana pagi. Lebih tepatnya candaan Nafisa dan Ayu, yang tidak ada habisnya.
Siang harinya saat Nafisa pulang sekolah, Jihan selalu setia menunggu Nafisa.
"Mbak Jihan, Nafisa boleh minta tolong?"
Jihan mencium bau tidak sedap, dia yakin Nafisa akan melakukan hal yang aneh-aneh.
"Apa? jangan yang aneh-aneh saja asalkan. Kalau merugikan mbak Jihan, mbak Jihan tidak mau ya."
"Mbak Jihan tenang saja, apa yang akan Nafisa lakukan ini sama sekali tidak merugikan mbak Jihan."
"Memangnya apa yang ingin kamu lakukan?" Jihan sudah mulai kepo.
Banyak sekali pokoknya rahasianya si Nafisa, Jihan saja sampai tidak tau seberapa banyak rahasia yang disimpan bocah cilik itu.
"Aku ingin pergi ke makam bunda boleh?"
"Boleh, tapi kita harus pamit dengan nenek dulu ya? Mbak Jihan tidak bisa memutuskan begitu saja."
"Baik mbak Jihan." Jawabnya patuh.
Nafisa baru saja keluar dari kelasnya, Jihan tidak tau apakah di dalam kelas sana Nafisa selalu belajar dengan baik atau tidak.
Tapi melihat Nafisa yang seperti ini, Jihan yakin Nafisa belajar dengan sungguh-sungguh. Keduanya berjalan menuju mobil, Pak Mail sudah stay menunggu kehadiran mereka berdua.
Pak Mail memastikan Jihan dan Nafisa sudah berada di dalam mobil, barulah pak Mail melajukan mobilnya. Jihan sekarang sudah terbiasa melewati jalur jalan pintas, karena pak Mail selalu menggunakan jalan tersebut. Berada dengan Radit yang selalu menggunakan jalan umum. Bagi Jihan lewat mana saja oke, karena dia sudah hapal jalanya.
3 kali lewat jalan yang sama Jihan pasti sudah bisa mengingatnya dengan jelas jalan yang pernah dia lewati.
"Pak Mial." Panggil Nafisa.
"Iya neng Nafisa ada yang bisa pak Mail bantu?" Nafisa mengangguk. Entah pak Mail memperhatikannya atau tidak yang penting menangguk saja dulu.
"Pak Mail nanti antara Jihan sama mbak Nafisa ke makam bunda ya."
"Eh, iya neng Nafisa." Kaget pak Mail.
Pasalnya pak Mail tau kalau makam bunda kandung Nafisa ada di kota sebelah.
Jika mereka mau kesana membutuhkan 3 jam waktunya untu pergi saja, sedangkan makanya saja entah yang mana. Karena keluarnya seperti menghilangkan jejak makam bunda Nafisa.
Sampai di rumah Nafisa langsung sama menemui sang nenek.
"Nenek." Panggil Nafisa sedikit berteriak.
"Ada apa, Nafisa? Pake teriak-teriak segala lagi."
"Nenek Nafisa mau ke makam bunda sama mbak Jihan boleh?" Nafisa langsung saja mengutarakan maksudnya pada nenek Rifa.
Nene Rifa diam tak bisa berkata-kata, syok sekali baru hari ini Nafisa ingin berziarah ke makam bundanya. Dulu nenek Rifa merasa tenang karena Nafisa tidak menanyakan dimana makam bundanya berada.
Sekarang Nafisa bertanya secara tiba-tiba, tentu membuat nenek Rifa syok. Dia tak tau harus bagaimana.
'Astagfirullah, bagaimana ini Ya Allah. Makam Nita entah sudah dipindahkan kemana oleh Keluargnya.' Batin nenek Rifa.
Nenek Rifa menatap cucunya sendu. Dulu mereka memang sudah membuat perjanjian pada keluarga besan. keluarga nenek Rifa diperbolehkan membawa Nafisa pegi. Dengan syarat mereka tidak boleh mengunjungi makam Nita.
Mereka juga tidak ada hak untuk Nita, karena sudah mengambil Nafisa. Sejak hari itu mereka juga berjanji tidak akan mengusik hidup masing-masing. Nenek Rifa tau hal seperti ini pasti akan terjadi, dimana Nafisa akan menanyakan makam bundanya.
Jika sudah seperti ini rasanya nenek Rifa ingin cepat-cepat putranya menikah. Tapi tidak dengan Elsa, sampai kapanpun jika dengan Elsa nenek Rifa tak akan setuju.
Nenek Rifa menatap cucunya merasa bersalah. "Boleh tapi sama nenek sama ayah juga ya, kita tunggu ayah pulang dari kantor."
"Sungguh."
"Iya Nafisa,"
"Yeee! Tapi mbak Jihan juga ikut ya, ya, ya."
"Itu sudah pasti." Ujar nenek Rifa mencubit hidung cucunya gemasy.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Yani
Ko ssmpsi segitunya sama besan
2024-01-24
0