Bismillahirohmanirohim.
Ayu masuk ke kamar Nafisa sejenak untuk memastikan apakah Nafisa sudah tidur apa belum?
Ayu merasa Nafisa sudah tidur, barulah dia keluar dari kamar Nafisa. Nafisa tidur memunggungi pintu kamar jadi Ayu menganggap Nafisa sudah benar-benar sudah terlelap tidur.
"Mbak Jihan tidak apa kembali saja ke kamar, Nafisa sudah tidur." Ucap Ayu menutup pelan pintu kamar Nafisa.
"Mbak ke kamar dulu kak Ayu."
Ayu mengangguk. "Kasihan mbak Jihan."
Setelah itu baru Ayu juga pergi. Besok dia harus bangun pagi, karena ada piket sekolah.
'Maafkan mbak Jihan, Nafisa. Maaf mbak Jihan tidak bermaksud untuk membuat Nafisa sedih.' Sesal Jihan dalam hatinya.
Sedari tadi kata maaf itu hanya bisa Jihan ucapkan dalam benaknya sendiri.
Apalagi kalau Jihan mengingat perkataan Nafisa. 'Simpanlah kata maaf mbak Jihan itu!' Jihan ingat sekali kata-kata itu.
Saking merasa bersalahnya Jihan pada Nafisa, dia sampai tidak fokus pada jalanya sendiri.
Hmmm
Deheman dari seorang. Sontak Jihan langsung tersadar, dia segera melihat siapa orangnya.
'Pak Radit.' Batin Nafisa. "Pak Radit." Kali ini nama itu keluar dari mulut Jihan kaget.
"Maafkan saya pak, tidak melihat keberadaan bapak." Sesal Jihan.
Kini rasa di dalam hati Jihan sangat berkecamuk, dia takut dengan tatapan tajam dari Radit. Disisi lain Jihan masih merasa sedih karena Nafisa marah padanya.
Radit menatap datar Jihan. "Ada apa denganmu?" tanya Radit datar.
Jihan tak berani menatap Radit, sedari tadi Radit menatapnya datar.
"Maaf pak Radit saya permisi."
Lagi-lagi Jihan meminta maaf pada Nafisa.
Tanpa menunggu jawaban Radit, Jihan langsung pergi dari hadapan Radit.
Tapi baru saja Jihan melangkahkan kakinya selangkah, Jihan mendengar suara Radit memanggil dirinya.
"Jihan." Panggil Radit dengan suara yang terdengar sangat diingin di kuping Jihan.
Dengan langkah berat Jihan terpaksa kembali ke hadapan Radit.
"Iya pak Radit, apa yang bisa saya bantu?" tanya Jihan gugup.
"Kenapa kamu selalu menatap lantai?"
Kata-kata yang keluar dari mulut Radit terdengar begitu dingin di kuping Jihan, seolah apa yang Radit katakan itu adalah sebuah perintah yang sama sekali tidak bisa Jihan tentang.
Sontak Jihan langsung mendongokan kepalanya. "Eh, iya pak ada apa?"
Sedikit keberanian akhirnya Jihan menatap Radit.
'Ya Allah ternyata pak Radit sangat tampan.' Batin Jihan tanpa sadar.
1 detik 2 detik
Jihan akhirnya tersadar jika dia sedang terpesona pada majikanya sendiri.
'Astagfirullah Jihan sadar, dia majikanmu, kamu tidak boleh suka pada pak Radit!' runtutnya dalam hati.
"Maaf pak Radit jika tidak ada yang bisa saya bantu, saya permisi dulu." Ucap Jihan.
Baru dia mau melangkah, tapi Radit kembali memanggil namanya.
"Jihan, tolong berikan ini pada Nafisa." Ucap Radit, sambil menyodorkan barang yang tidak Jihan tahu sama sekali.
Saat mendengar Radit memanggil dirinya rasanya jantung Jihan berdekat tak menentu, entah apa yang Jihan rasakan, Jihan sediri tidak paham.
Dag, dig, dug.
'Astagfirullah Jihan! Kamu kenapa sih!' bentaknya pada diri sendiri.
"Maaf pak Radit, apa tidak lebih baik pak Radit saja yang memberikan langsung pada Nafisa?"
Jihan akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.
Radit menghembuskan nafas panjang, sampai Jihan saja merasakan Radit seperti memiliki beban berat.
"Kamu tahu Jihan, jika saya yang memberikan pada Nafisa dia tidak akan menerimanya."
"Baik pak Radit akan saya berikan pada Nafisa, jika tidak ada lagi saya pamit." Ujar Jihan segera pergi dari hadapan Radit.
Di kamar Nafisa.
Tidak ada yang tahu jika anak itu sedang menangis seggukan bukan sedang tidur.
"Hikss....hiks...hiks....! Aku benci ayah! Aku juga benci mbak Jihan.... Hisk....hikss....!"
"Kenapa mbak Jihan mengatakan jika wanita itu yang cocok jadi bunda Nafisa? Hiks.....hiks....hiks.....! Bagaimana jika Nafisa maunya mbak Jihan yang jadi bunda Nafisa!"
"Hikss....kalian semua sama tidak bisa mengerti Nafisa."
Nafisa masih terus merancau tidak jelas, hingga Nafisa tidak tahu pukul berapa dia tertidur.
Bantal yang Nafisa gunakan yang tadinya basah oleh air mata Nafisa sendiri sudah kering kembali.
Adzan subuh sudah terdengar, Nafisa sudah bangung dan Jihan juga sudah berada disana.
Nafisa mentapa dingin Jihan.
Deg!
'Ya Allah, apakah Nafisa masih marah?' Jihan hanya bisa bertanya pada diri sendiri.
Walaupun takut kena marah Nafisa lagi, Jihan tetap mendekati Nafisa.
"Biar mbak Jihan bantu ya Nafisa." ucap Jihan lembut.
"Nggak perlu!" ucapnya dingin.
Nyes!
Lagi-lagi hati Jihan merasa perih, sangat terasa sekali bagi Jihan jika Nafisa sekarang sedang memasang dinding pembatas pada dirinya.
Jihan tak tahu kenapa rasanya sakit sekali saat Nafisa bersikap dingin pada dirinya.
'Ya Allah, apa seperti ini juga yang dirasakan ayah Radit?'
Lagi dan lagi Jihan hanya bisa bertanya di dalam benaknya, pertanyaan yang sekaan Jihan hanya ingin tahu dari sang Pencipta langsung.
Selesai membersihkan diri Nafisa langsung melaksanakan shalat subuh, tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
'Ya Allah.' Batin Jihan lagi.
Ya, Jihan hanya bisa mengadu pada Allah.
Tak bisanya Nafisa seperti ini pada dirinya bersikap dingin, padahal Nafisa akan selalu mengajak Jihan untuk shalat berjamaah.
Jihan melakukan shalat subuh juga di kamar Nafisa, walaupun Nafisa tidak mengajaknya.
Selesai shalat subuh Jihan memberikan barang titipan ayah Radit pada Nafisa.
"Nafisa ini, ada main dari ayah."
Nafisa langsung mengambil benda itu dari tangan Jihan.
"Kenapa ayah tidak memberikannya sendiri?" tanya Nafisa dingin.
Melihat Nafisa sudah mau bicara pada dirinya, walaupun masih terdengar dingin Jihan tersenyum.
Tidak diabaikan saja oleh Nafisa rasanya Jihan sudah senang sekali.
"Semalam ayah bilang mau memberikan langsung pada Nafisa, tapi ayah takut Nafisa menolaknya."
Barulah Nafisa mengangguk mengerti, tidak ada lagi suara yang keluar dari Nafisa setelahnya.
Sementara Jihan sibuk banyak bercerita, walaupun Nafisa sama sekali tidak menaggapnya.
Sarapanpun tiba Nafisa dan Jihan bersama ke meja makan.
Suasana masih seperti bisanya, Jihan dan Nafisa terlihat baik-baik saja di hadapan keluarga Amran.
Padahal tidak ada yang tahu jika Nafisa sedang perang dingin dengan mbak Jihan. Lebih tepatnya Nafisa sendiri yang memasang dinding pembatad pada Jihan.
"Pagi cucu kakek, sini." Suruh kakek Amran.
Tanpa diperintah 2 kali Nafisa langsung mendekati kakek Amran.
"Nafisa biar kakek antar sekolah, sekaligus bersama kak Ayu." Ucap kakek Amran.
Tadinya Nafisa mau mengiakan ucapan sang kakek mendengar nama Ayu disebut Nafisa jadi menatap Ayu begitu juga sebaliknya.
"Ayu tidak mau berangkat 1mobil dengan Nafisa!"
"Nafisa tidak mau berangkat 1 mobil bersama kak Ayu!" ucap Nafisa dan Ayu bersama.
"Yee! Lagipula siapa yang mau berangkat dengan kamu." Ejek Ayu.
"Dan Nafisa memang tidak mau berangkat bersama kak Ayu, week!"
Nenek Rifa menggeleng. Cucu dan anaknya memang selalu seperti itu.
"Sudah kita sarapan dulu, biar manti Nafisa dan mbak Jihan diantar Ayah Radit, lalu kakek Ayu berangkat dengan kakek Amran." Lerai nenek Rifa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Yani
Jihan coba mintaap sama Nafisa
2024-01-24
0