Bismillahirohmanirohim.
Nafisa menangis sejadi-jadinya di dalam taksi, Jihan tak bergeming tak bisa berbuat apa-apa. Jihan memutuskan untuk membiarkan Nafisa menangis agar lebih lega perasaannya.
Tangannya tak berhenti mengelus pucuk kepala Nafisa, supir taksi hanya mampu terdiam, dia tak berani komentar apapun.
Jihan akan menunggu tangis Nafisa sampai reda dan menanyakan apa yang membuat Nafisa menangis.
Jihan merasa aneh, kenapa Nafisa sangat tidak menyukai Elsa? Padahal jika Jihan lihat-lihat sepertinya Elsa orang baik, buktinya saja dia tadi mau menyapa Nafisa ramah.
Sebelum Nafisa menarik tangannya untuk segera pergi.
'Mbak tidak tahu apa yang membuat kamu menangis seperti ini Nafisa, tapi mbak Jihan janji, Insya Allah mbak akan selalu menjaga Nafisa.'
"Hiksss...hiksss....hiks... mbak Jihan, hisk...."
"Iya Nafisa, ada apa? Kamu butuh sesuatu." Sahut Jihan cepat, tapi bukan jawaban yang Jihan dapat malah geleng kepala dari Nafisa.
"Hiks....hiks....hiks...., mbak Jihan boleh Nafisa peluk? Hiks....." Dia masih saja menangis.
Jihan tak menjawab, tapi dia langsung membawa Nafisa ke dalam dekapannya.
Berada di dalam pelukan Jihan, tangis Nafisa semakin menjadi, "Hiksss....hiks....hiks...."
"Hikss....hiks....hiks...., Bunda." Ucap Nafisa pelan sekali, Jihan saja hanya samar-samar mendengar apa yang Nafisa katakan.
'Apakah Nafisa, menyebut bunda? sepertinya Nafisa merindukan bundanya,' batin Jihan merasa kasiha.
Jihan sudah tahu jika Nafisa sudah tidak memilik ibu lagi, Jihan juga tahu apa yang menyebapkan ibu Nafisa meninggal.
Tahu akan hal itu Jihan kini sadar, setelah mendengar ucapan lirih Nafisa barusan, Jihan rindu sosok ibu, dia membutuhkan sosok seorang ibu selalu berada di sampingnya.
Jihan kira melihat Nafisa selalu ceria, dia tak butuh sosok ibu. Jihan sadar dia ternyata sudah salah menilai Nafisa.
Nafisa benar-benar pintar, mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri, tanpa ada satu orangpun yang tahu jika dia sedang bersedih. Di depan semua orang selalu tersenyum dan bersikap jahil, nyatanya semua itu untuk menutupi rasa sedihnya.
'Mbak Jihan memang bukan bunda dari Nafisa, tapi mbak Jihan janji mbak Jihan akan jadi pengasuh seperti mengasuh anak mbak Jihan sendiri, kamu gadis kecil yang hebat Nafisa.'
Jihan merasakan hatinya ikut sesak melihat Nafisa yang lemah seperti ini.
'Ya Allah.' batin Jihan.
Jihan hanya bisa terus membatin saja, tak tahu apa yang akan dia ucapkan pada sang anak asuh, agar tidak bersedih lagi.
Beberapa menit berlalu, Jihan sudah tidak mendengar lagi suara tangis Nafisa, Jihan hanya mendengar dengkuran halus dari bocah itu. Jihan tersenyum mengetahui Nafisa sudah tidur.
Mungkin benar kata orang, setelah menangis terlalu lama hawanya jadi mengantuk ingin tidur.
"Kirain tadi anaknya mbak." Ucap pak supir yang juga sudah tidak mendengar Nafisa menangis lagi.
"Bukan pak." Sahut Jihan ramah.
Tak lama taksipun berhenti di dekat jalan masuk perumahan claster, tepat di depan rumah Amran.
Alhamdulillahnya Jihan ingat jalan pulang dan supir taksi juga tahu daerah yang tadi Jihan sebutkan.
Jihan segera membayar taksinya, untung Jihan masih memiliki uang, karena selama berada di rumah majikannya dia tak pernah mengeluarkan uang sepesarpun.
"Terima kasih pak."
"Sama-sama mbak, apa perlu saya bantu?" tanya supir melihat Jihan yang sedikit kesulitan..
"Terima kasih pak tidak apa saya bisa sendiri." Tolak Jihan halus.
Supir taksi itu memastikan lebih dulu apakah Jihan sudah kelaur, barulah mobil kembali melaju.
Nafisa berada digendongan Jihan, Jihan sama sekali tidak merasa keberatan menggendong Nafisa yang masih tertidur pulas.
Saat Jihan akan masuk Radit menghampirinya.
Tadi saat Jihan dan Nafisa pergi, Radit ingin segera menyusul mereka, tapi Elsa mencegahnya.
Elsa malah mengajaknya jalan-jalan sebentar. Radit sudah berusaha menolaknya halus, tapi dia malah mendapatkan tuduhan yang tidak-tidak dari Elsa.
Radit tak mampu berbuat apa-apa, dia hanya bisa pasrah mengikuti kemauan Elsa, daripada Elsa marah padanya, begitu pikir Radit.
"Jihan, sini biar saya yang bawa." ucap Radit datar.
Radit rasanya terpaksa sekali bicara pada Jihan, dia juga tidak enak pada sang anak, Radit takut Nafisa mengira dirinya tak peduli pada Nafisa.
"Tidak apa pak Radit, saya bisa membawa Nafisa." ujar Jihan.
"Biar saya." Paksa Radit, Jihan pasrah memberikan Nafisa pada Radit.
Tapi belum semapat Nafisa berpidah kegendongan Radit, kedua orang itu mendengar suara Nafisa meninggau.
Sehingga membuat Radit maupun Jihan menatap satu sama lain.
"Bunda." Ucapnya, Nafisa yang masih tidur kembali bersandar di bahu Jihan.
Radit terdiam membeku di tempatnya, dia sadar selama ini terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, sampai tidak tahu apa yang anaknya inginkan.
Apa yang Nafisa rasakan? Apakah Nafisa sudah bahagia tanpa bunda?
Jika seperti ini Radit hanya bisa menyalahkan diri sendiri, 6 bulan ini dia terlalu bodoh.
Lebih mementingkan pacarnya ketimbang sang anak, sampai pengasuh Nafisa saja, mamanya yang harus mencari.
'Ya Allah, maafkan ayah Nafisa.' Sesal Radit.
Dia menatap putrinya iba. "Pak Radit biar saya bawa Nafisa dulu." Ucap Jihan, Radit hanya mengangguk.
Saat Jihan berjalan mendahului Radit, Radit masih berdiri di tempatnya, dari belakang Jihan Radit dapat melihat putrinya sangat nyaman sekali berada di dalam gendongan Jihan.
Radit bahkan merasakan kenyamanan itu saat melihat wajah teduh putrinya, kala tidur digendongan Jihan.
Lagi-lagi Radit ditampar akan kenyataan, bahawa dia sudah jarang melihat putrinya tertidur, dia bahkan sudah jarang sekali masuk ke dalam kamar putrinya.
"Aku bukan hanya tidak bisa jadi Ayah sekaligus Bunda untuk Nafisa, tapi aku saja tidak bisa menjadi ayah untuk Nafisa, bagaimana mau menjadi ibu juga?"
Tanpa Radit sadari pelupuk matanya sudah berair.
"Ya Allah, kenapa kamu yang menggendong Nafisa? Dimana Radit, Ke-"
Nenek Rifa yang mengerti kode dari Jihan akhirnya tak bersuara lagi.
"Aku mengantar Nafisa ke kamar dulu, Ma." Pamit Jihan menggunakan gerak bibir.
Nenek Rifa paham apa yang dibicarakan Jihan akhirnya mengerti.
Setelah Jihan naik ke lantai dua barulah sosok Radit terlihat, nenek Rifa menatap tajam anaknya.
"Kenapa kamu membiarkan Jihan membawa Nafisa? Kamu tahukan Nafisa itu sudah besar? Dia pasti berat! kasih Jihan." Nenek Rifa melontarkan pertanyaan bertubi-tubi pada sang anak.
Nenek Rifa sudah tidak habis pikir pada anak laki-lakinya ini.
"Maaf." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Radit.
Nenek Rifa yang tadi marah-marah, kini dibuat bingung. Radit benar-benar mengakui kesalahannya, tanpa harus ada perdebatan yang berbelit-belit.
'Ada apa dengan anak ini? Apakah dia sudah sadar? Jika selama ini apa yang dia lakukan pada Nafisa salah, apa dia sadar kenapa Nafisa membangun jarak pada ayahnya sendiri.'
Sekarang nenek Rifa baru hanya bisa menera-nerakan saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Yani
Radit terlalu mementingkan dirinya sendiri
2024-01-23
0
Sandisalbiah
ayah egois.. kamu pantas di benci oleh putriku.. jelas nyata kalau wanitamu itu juga egois tp kamu malah menurutinya dan mengabaikan putrimu.. otak kamu beneran udah gak waras Radit.. bodoh.. di piara...!! 🙄🙄🙄
2023-12-01
0
Bro Koli
Baik kak
2023-03-03
2