Bismillahirohmanirohim.
"Ma, Nafisa kemana?" tanya seorang laki-laki berpakaian kantor.
"Ada di belakang lagi main sama Caca." Sahut Rifa ketus.
Radit laki-laki yang baru menginjak umur 29 tahun itu baru saja pulang bekerja, dia ayah dari Nafisa Az-Zahra gadis kecil super jenius.
Ibu Nafisa meninggal saat melahirkan Nafisa, tapi tak sekalipun keluarga mereka membenci Nafisa, duka dan bahagia pernah satu keluarga di dalam rumah megah itu rasakan disaat yang bersamaan, kala kelahiran Nafisa dan kematian sang ibu.
Melihat gadis kecil Nafisa tumbuh dengan sangat cerdas membuat mereka bahagia, sangat bersyukur memiliki Nafisa.
Masih di ruang tamu, Radit bicara lembut dengan mamanya, tapi mamanya selalu membalas dengan nada ketus.
"Main sama Caca sendiri Ma? siapa yang mengawasi Caca?" panik Radit.
Rifa menatap tajam sang anak. "Tidak usah lebay, bisanya juga Nafisa selalu beriman dengan Caca sendiri, apa peduli kamu?" ucap Rifa sambil melengos pergi.
"Ma, ayolah jangan seperti ini. Nafisa dengan siapa di taman? Selain bersama Caca?"
"Pengasuh barunya."
"Lagi? Mama serius mencarikan Nafisa pengasung baru lagi? Mama kan tahu Nafisa selalu menyiksa pengasuh barunya dengan Caca sebagai alat. Lagipula aku sebentar lagi akan menikah dengan El-"
"Diam! Kamu sebut nama wanita itu sekali saja di depan mama, mama tidak akan menganggapmu anak mama!" ancam Rifa.
Radit menghela nafas, entah kapan mamanya merestui hubungannya dengan Elsa, pacarnya sekarang.
"Lebih baik kamu susul Nafisa di taman." Suruh Rifa lalu dia pergi.
Sementara itu di taman Nafisa masih kesal pada Caca dan Mbak Jihan. Anak perempuan itu memajukan bibirnya kesal.
"Caca apa-apaan kamu! Lihat saja aku tidak akan mengurusmu lagi jika seperti ini." Ancam Nafisa pada harimau putih kesayangannya.
Sayangnya harimau itu sama sekali tidak bergeming dari tempatnya, dia masih saja ndusel-ndusel pada kaki Jihan.
"Yaak! Kenapa kamu masih diam saja!" kesal Nafisa.
Jihan yang tadi merasa ketakutan melihat harimau putih itu kini tidak lagi, mereka seperti sudah berteman. Nafisa merasa aneh saja untuk pertama kalinya hewan kesayangannya itu dekat dengan orang baru.
Jihan menghampiri Nafisa. "Sudah tidak usah cemberut begitu nanti cantiknya hilang." Ucap Jihan lembut, tak lupa tangannya mengelus sayang pucuk kepala Nafisa.
"Biarin!" sebal Nafisa, dia masih marah pada Caca juga mbak Jihan.
"Jangan ngabek dong Nafisa." Bujuk Jihan muali jahil.
Jihan pelan-pelan mengelitiki Nafisa, sedangkan Caca kini mengelus bulunya pada Nafisa tanda meminta maaf.
"Yak! Mbak Jihan jangan." Pintanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Jihan ikut tersenyum karena Nafisa sudah kembali kemode awal lagi. "Jadi sekarang kita berteman?"
Nafisa sudah selesai tertawanya. "Tergantung."
"Apanya yang tergantung?"
"Mbak Jihan lah."
"Mati dong kalau mbak Jihan tergantung, terus siap yang bakal ngasuh Nafisa?"
Anak perempuan itu terdiam, sambil menatap dalam mbak Jihan. "Mbak Jihan lah, siapa yang suruh mbak Jihan mati dulu coba."
"Nafisa tadi kan nyuruh mbak Jihan gantung diri." Nafisa sampai menepuk jidatnya sendiri.
"Nggak gitu juga kali mbak."
"Heheheh terus apa?"
Allahhu Akbar Allahhu Akbar.
"Lupakan mbak lebih baik sekarang kita shalat dzuhur dulu sudah adzan." Jihan sampai kaget mendengar ucapan Nafisa.
Anak seumur Nafisa sudah ingat waktu shalat? Sedangkan dirinya baru saja akan membenah diri, niatnya dia akan memuali satu persatu dari menggunakan baju yang menutupi seluruh auratnya lebih dulu.
Baru setelah itu akan merangkak ketahap selanjutnya shalat, tapi jika seperti ini dia pasti akan malu kalau dihadapan Nafisa tidak shalat, sedangkan anak kecil itu yang mengingatkan dirinya.
Jihan masih terbengong, dia membiarkan Nafisa mengiring kembali Caca ke tempatnya semula.
Jihan memang gadis desa, tapi hal itu tak menjamin jika dia taat akan agamanya, karena di desa saja sekarang sudah banyak pergaulan bebas, Jihan memang bisa menjaga diri, tapi masalah shalat dia itu kadang shalat tempat 5 waktu, kadang hanya magrib dan subuh saja yang dia ambil.
Pokoknya tidak menentu shalat semaunya dia sendiri padahal ibu dan bapakanya selalu mengingatkan Jihan agar shalat.
"Mbak Jihan kenapa bengong? Ayo kita shalat." Ajak Nafisa sambil menarik tangan Jihan.
Di depan pintu masuk taman ternyata Radit sedari tadi memperhatikan putri kecilnya dengan Jihan. Baru pertama Radit melihat Nafisa mau dekat dengan perempuan lain, selain mamanya dan sang adik.
9 Pengasuh sebelumnya saja sudah kewalahan mengurus Nafisa, baru 1, 2 hari mereka langsung tidak betah atas kelakuan Nafisah, apalagi harus mengahadapi caca yang sangat galak pada orang lain.
Rifa juga sedari tadi memperhatikan putranya itu. Rifa menepuk bahu sang anak. "Sudah puas ngeliatinnya."
"Apa sih, Ma."
"Kamu irikan orang lain bisa dekat sama Nafisa, sedangkan kamu dan Elsa tidak bisa dekat dengan bocah itu."
Radit tidak menjawab perkataan mama nya. Dia melengso pergi begitu saja, saat melihat Nafisa dan pengasuh barunya mendekat kearha mereka.
"Nenek, Nafisa suka mbak Jihan, kali ini pengasuh yang nenek carikan tepat, tidak seperti sebelum-sebelumnya." Ucap Nafisa saat melihat neneknya.
'Pengasuh yang sebelum-sebelumnya? Maskdunya apa sih?' batin Jihan bingung.
Jihan tidak tahu kalau dia adalah pengasuh ke 10 untuk Nafisa..
Sebelumnya nenek Rifa sudah menyedikan kamar untuk Jihan, karena sedari tadi Nafisa langsung mengajak Jihan bermain.
"Ayo mbak kita ke kamarku." ajak Nafisa.
"Mari bu."
"Hahahaha, Bu?" Nafisa tertawa terbahak-bahak mendengar neneknya dipanggil bu.
"Anak ini." gerut Rifa. "Panggil saya mama ya Jihan, tadi aku lupa memberi tahumu."
"Eh, iya ma." Ucapan belum terbiasa.
"Yasudah nek Nafisa masuk dulu."
"Sip."
"Mbak Jihan gendong belakang dong." Pinta Nafisa, dia memastikan lebih dulu neneknya sudah pergi apa belum.
"Oke, ayo naik."
"Yeee!"
Nafisa langsung loncat kepundak Jihan. "Nafisa kamu benar-benar mau membuhun mbak Jihan ya?" tuding Jihan.
Bagaimana tidak, saking senangnya Nafisa sampai melingkarkan tangannya erat di leher Jihan.
"Nggak mbak Jihan, Nafisa minta maaf tadi itu saking senangnya jadi refleks." Terangnya.
"Ayo mbak."
Jihan akhirnya menggendong Nafisa, pemandangan itu tak luput dari Radit dan nenek Rifa.
"Nafisa apa yang kamu lakukan?" tegur Radit.
Namun anak gadis itu melengos begitu saja. "Ayo mbak Jihan ke kamar Nafisa, kamar Nafisa ada di atas." Ucapnya enteng..
Nafisa bukannya membalas perkataan papanya malah mengabaikan Radit, nenek Rifa yang menyaksikan momen tersebut menahan tawanya.
Sementara Jihan menatap tajam Nafisa. Yang benar saja disuruh gendongan Nafisa naik tangga, gadis mungil ini berat, apalagi kalau naik tangga.
Nafisa hanya menyengir mendapatkan tatapan tajam dari Jihan.
"Mbak Jihan tenang saja kita tidak naik tangga kok, tenang di rumah ini ada liftnya."
"Syukurlah." Ucap Jihan tanpa sadar, dia lupa kalau disebelahnya masih ada nenek dan papa Nafisa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Fadhil
semangat yaa jihan
2024-05-08
0
Yani
Seru kayanya
2024-01-19
0
Siti Munawaroh
mantap
2023-12-16
0