'Kenapa'

Gadis itu membungkuk, memberikan hormat kepada orang yang ada dalam mobil hitam tersebut.

Ara membiarkan mobil itu hilang dari pandangannya barulah berjalan menaiki tangga menuju pintu rumahnya.

Sahara meletakkan tas abu-abu dimeja, membuka jilbabnya lalu merebahkan tubuhnya dikasur.

"Selamat Ara ... Kau berhasil melewati hari pertama kerjamu." ucapnya sendiri

Ara mencari-cari ponselnya, mengambil tas sandang yang ia letakkan di belahan lain kasur itu. Ara mendapatkan tali tasnya dan menarik tali tersebut dengan sekali hentakan.

Dapat!

Ara membuka tas tersebut dan mengambil ponselnya.

"Tuh ... Kan!" ucapnya melihat beberapa panggilan tidak terjawab dengan nama yang sama.

Saat dalam perjalanan pulang tadi, Ara memang mendengar ponselnya bergetar namun ia biarkan saja karena sungkan dengan Bumi, Ye Jun dan juga sopirnya. Mereka sudah sangat baik memberikannya tumpangan pulang.

Dengan malas Ara menggulir ikon gagang telpon dan meletakkan ponselnya di sebelahnya setelah me-lownspeaker kannya.

"Kau baik-baik saja, Ra."

"Bagaimana pekerjaanmu?" pertanyanyaan beruntun itu membuat Ara menghela nafas.

"Semuanya baik, Pa! Kenapa sering menelponku?" ucap Ara malas

"Apa salah memperhatikan anak sendiri?" suara itu terdengar sedih

"Ya ... Aku lupa. Maaf, Appa!" jawab Ara datar

"Kau baru pulang bekerja?"

"Hm"

"Istirahatlah. Jaga kesehatanmu, Nak."

"Insya Allah, selamat malam,Pa"

Mata Ara berkaca-kaca, menatap langit-langit kamar. Ingatannya kembali kemasa-masa ia kecil yang tumbuh tanpa mengenal sosok ayah.

\=\=\=\=

Memaafkan tidak semudah mengatakannya. Pertanyaan demi pertanyaan sudah menumpuk, bersusun ibarat sebuah buku tebal yang berjudul 'kenapa'.

Seperti itulah Ara, kata hatinya selalu berlawanan dengan ucapannya. Bibirnya mudah mengulas senyum tapi hatinya masih luka.

Jelas, Ara masih ingat saat pertama kali ia bertanya pada Bunda, Apa Appa tidak merindukan kita?

Bunda selalu tersenyum dan menjawab, tidak mungkin Appa mu tidak merindukan anaknya.

Ara tidak melanjutkan pertanyaan lagi setelah melihat airmata bunda yang menggenang di pelupuk mata nya.

Masih jelas di ingatan Ara saat hari kelulusannya yang seharusnya dihadiri oleh orangtua tidak ia rasakan. Itu benar-benar hal yang paling menyakitkan. Gadis yang baru lulus SMA harus bertahan hidup sendiri di dunia tanpa keluarga.

Dia selalu menyalahkan Tuhan kenapa dia mendapat nasib seburuk itu, rasa bencinya semakin dipupuk setelah mendapati sang Bunda menghembuskan nafas terakhirnya sambil memeluk foto laki-laki yang paling ia benci.

"Aku tidak akan apa-apa meski sebatang kara." semangatnya dalam hati

\=\=\=\=\=

"Astaghfirullaahal 'adzhim ...."

Ara bangun menyeka airmatanya, mengumpulkan tenaga untuk mandi dan beribadah.

Beberapa waktu berlalu, siulan teko air membuat Ara segera mengakhiri doanya, membuka kain mukena dan segera mematikan kompor.

Ara mengambil makanan instan yang ada di rak bawah, Ia dan Jeny sempat berbelanja kebutuhan nya kemarin sebelum Jeny pulang ke rumahnya bersama suami.

Ara meletakkan mie berwarna putih yang ukurannya jauh lebih besar dari mie instan biasa ke dalam panci bergagang kayu, menuangkan air panas dan kembali menghidupkan api kompornya.

Tangannya lihai mengaduk-aduk mie tersebut, sesekali ia menyentuh mie tersebut dengan sedikit menekannya.

Setelah sesuai dengan petunjuk pnggunaan, Ara menuangkan jajangmyon itu kedalam mangkuk yang sudah berisi bumbu.

Asapnya masih mengepul ketika Ara membawa mangkuk tersebut dan meletakkannya ke atas meja tepat disamping laptopnya yang menyala.

Ara makan dengan lahap, tiba-tiba ingatannya kembali pada Ye Jun.

"Kenapa fansnya segila itu sih. Apa istimewanya dia? Ketusnya?" ucap Ara sendiri memainkan mouse.

Jarinya tergerak membuka video yang diunggah salah satu media, memperlihatkan Ye jun berjalan cepat di bandara. Ia hanya menyapa sesekali tanpa menurunkan kecepatnnya berjalan.

"Hahaha ... Dia kebelet ya?!" ucap Ara tertawa

"Kenapa yang begini diajakin nikah sih? Gimana rumah tangganya punya suami irit bicara gitu! Sekalinya ngomong nusuk. Ih ...."

"Kalau Jae Sun?!" Ara mengetik nama laki-laki itu di laman pencarian,

"Hahaha ...." Ara tertawa melihat tingkah Jae sun yang terlihat manis menggemaskan seperti bayi.

"Kenapa bukan di yang di ajak nikah?" gumamnya

"Oh ... Bagaimana dia memperlalukan istrinya dengan tingkah imut begitu?" Ara menjawab sendiri pertanyaannya

"Aaauuu ah, yang penting kerja ... Kerja ... Kerja!"

Sahara mengangkat mangkuk putih di tangannya, meminum sisa kuah kental berwarna coklat itu hingga tandas.

"Baiklah ... selanjutnya apa!" Ara menscroll halaman berita di layar laptopnya

.

.

.

Slow ya Army ... Ini hanya karangan semata. Jangan marah, aku juga tetap .... Marry me kok 🥰🥰

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!