Happy Reading...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
"Lala..." panggil sebuah suara dari arah belakang ku, dan dengan segera ku balikan badanku untuk melihat siapa orang yang berada di belakang ku,karna aku tau panggilan itu hanya punya Gus Ali seorang.
"Ehhh Mas Hafidz, dari mana kok dari sana.." tanya ku kaget karna ternyata Mas Hafidz yang memanggilku dan yang lebih aku herankan apa yang sedang di lakukan Mas Hafidz disini juga kenapa memanggilku dengan panggilan Lala
"Menunggu sampean.." katanya pelan dengan menundukan pandanganya, aku tersenyum tipis melihat tingkahnya yang menurutku sangat lucu karna dari kecil kami bersama sama maka tau kebiasaan masing masing dan sekarang dia merendahkan pandanganya terhadapku sungguh sangat manis sekali, atau memang akan seperti itu ahlaq seorang Gus, bukankah Mbak Afiqah juga akan merendahkan pandanganya ketika berhadapan dengan lawan jenis, pikirku kemudian lalu menepuk jidatku sendiri karna telah berfikir liar lagi tentang Mas Hafidz,atau hanya aku seorang saja yang masih menganggap semuanya seperti dahulu, pikiran ku memang terlalu kekanak kanakan jika sudah menyangkut masa kecil kami yang menyenangkan..
"Trimakasih ya Mas Hafidz hadiahnya, Zilla suka sekali.." ucapku dengan mengulas senyum tipis.
"Apa sudah sampean baca..??" tanya nya dengan sedikit mengangkat wajahnya, ya Allah mukanya yang putih bersih itu tengah sedikit memerah dan ini persis saat masih kecil dulu, mukanya akan memerah dengan sendirinya ketika sedang malu atau sedang kedinginan
"Baca, baca apa..??" tanya ku sedikit heran,
dan dengan segera dia menghela nafas dengan lega..
"Baiklah jangan di baca dulu, berikan kembali sama saya.." katanya sesudah mendesah dengan lega.
"Jam sama ikat rambutnya..?" tanya ku polos..
"Kertas di dalam kotak jam Mbak Lala.." jawab Mas Hafidz dengan mengeleng gelengkan kepalanya..
"Ohh..." jawabku lalu mengambil secarik kertas dalam tas ku yang tadi belum sempat aku baca dan baru hendak aku baca saat sudah selesai deresan nanti malam..
"Ini ya.." lanjutku setelah menemukan secarik kertas itu dan memberikan kepada Mas Hafidz.
"Iya, Trimakasih.." jawabnya dengan sedikit ulasan senyum lega, aku mengangkat kedua bahuku heran dengan sikap Mas Hafidz, dan sedikit penasaran juga,apa sebenarnya yang di tulis di situ kenapa sampai membuat Mas Hafidz menunggu ku disini, rela di gigiti nyamuk dan ada rasa sempat menyesal juga karna tidak membacanya tadi, tapi ya sudahlah itu kan hak Mas Hafidz.
kami saling diam canggung, saling tersenyum tidak jelas dan entah apa yang membuatku betah berlama lama memandang wajahnya yang putih bersih itu dan menurutku itu sangat berkharisma, ahhh pikiran liar ini kembali datang lagi dan dengan keras ku gelengkan kepalaku untuk menyadarkan aku atas pemikiran yang tak sepantasnya dan tidak di tempatnya..
"Mari masuk Mas Hafidz,.." kataku ahirnya dan berbalik membuka pintu, dan sebelum aku masuk ku toleh kembali ke arahnya yang masih berdiri di tempatnya, dan sekilas ku lihat dia mendesah lega di sertai dengan gerakan tanganya yang menunjukan ekpresi sedang bahagia,tapi itu hanya sesaat saja karna setelah itu wajahnya kembali datar seperti biasa.
Aku terus berjalan sembari berfikir tapi tidak juga ku temui alasan perubahan wajah Mas Hafidz tadi, dan setelah sebuah sajadah menimpuk bahuku baru aku tersadar bahwa aku sudah melewati Mbak Afiqah tanpa menyapanya..
"Hemmm... sudah bisa ngelamun ya sekarang.." kata Mbak Afiqah begitu aku menoleh ke arahnya, aku langsung tersenyum menunjukan gigi ku ke arahnya..
"Hi..."
"Kenapa pakai senyum, sudah buruan wudhu sana.." kata Mbak Afiqah kepadaku, dan hanya kepadakulah mbak Afiqah akan berbicara dengan nada dan intonasi berbeda.
"Iya Ning...." jawab ku lalu ngeloyor pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu lalu setelah itu langsung berlari ke Musholla untuk shalat jama'ah.
Kegiatan pesantren yang tengah libur membuat suasana tidak begitu ramai karna banyak juga santri kampung yang memilih ikut libur dari pada ikut deresan rutin sepertiku, dan setelah isya' aku juga Mbak Afiqah kembali ke kamar kami untuk deres bersama dan biasanya kami akan saling menyimak hafalan masing masing, dan tidak pernah ada rahasia di antara kami berdua soal hafalan maupun tentang yang lain.
Kami terus bergumal dengan hafalan kami sampai datang Kakak Dahlia di tengah tengah kami..
"Hemm serunya, sampai aku tidak di hiraukan .." kata Kakak Dahlia begitu masuk dan duduk di tengah tengah kami..
"Kak Lia..." kataku dan langsung merangkul bahu Kak Dahlia..
"Kemana saja dua hari ini, lupa kalau Aku juga Hafidz ada disini hah..." kata kak Dahlia dengan pura pura memasang wajah cemberut..
"Sebenarnya mau lupa, tapi enggak bisa, berhubung Emak sakit jadi Zilla menemani Emak di rumah.."jawab ku dengan jujur..
"Mak Mar sakit apa mbak Zill..??" tanya mbak Afiqah dengan kwatir, dan langsung memandang ku dengan intens, begitupun Kak Dahlia.
"Cuma demam biasa, dan sudah sembuh kok sekarang.." jawab ku.
"Syukur Alhamdulillah kalau begitu,.." jawab keduanya, kemudian kami sama sama diam untuk beberapa saat sedang asik dengan pikiran masing masing..
"Kak Dahlia pernah merasa berdebar enggak saat melihat senyum seseorang..?" tanya Mbak Afiqah tiba tiba dan dengan heran aku mengikuti arah pandang Kak Dahlia ke Mbak Afiqah, sebenarnya aku tidak begitu tau dengan maksud ucapan Mbak Afiqah, maka karna itu aku memilih untuk berdiri menaruh Al-Qur'an ku dan melepas mukenaku lalu membaringkan tubuh ku di kasur lantai tak jauh dari mereka berdua sembari terus memperhatikan mereka berdua, terlihat jelas saat ini Kak Dahlia sedang berfikir dan baru sesudah itu dia menjawab..
"Pernah, kenapa..?"jawabnya singkat lalu menuju ke tempatku dan ikut berbaring di sampingku..
"Tidak ada sih, mau tau saja kayak gimana.." jawab Mbak Afiqah dan kemudian juga mencopot mukenanya lalu kemudian ikut berbaring juga di samping ku, jadi sekarang posisi ku berada di tengah tengah mereka..
"Zill, kamu pernah enggak ngerasaain kayak gitu..??" tanya kakak Dahlia padaku,
"Merasa apa..??" tanyaku balik ke kak Dahlia..
"Merasa berdebar saat melihat senyum seseorang.." jelas Mbak Afiqah..
"Pernah, waktu nabrak Kang Ihsan..." jawab ku singkat saja tanpa merespon mereka berdua yang kini tengah memandang ku dengan heran..
"Kang Ihsan..??" tanya Mbak Afiqah.
"Kang Ihsan itu yang mana..??" tanya kak Dahlia..
"Kang Ihsan itu ketua keamanan kak Lia, iya pas waktu itu Zilla kan habis larian jadi berdebar debar banget padahal Kang Ihsan lagi senyum sama Zilla, coba kalau Kang Ihsan marah pasti tambah parah berdebarnya.." jawab ku dan entah kenapa jawaban ku membuat mereka berdua kompak tertawa sampai memegang perut meraka dan akan langsung tertawa lagi begitu melihatku kembali, aku yang kebingungan dengan sikap mereka berdua sontak langsung duduk dan memandang mereka berdua dengan heran.
"Kenapa apa ada yang lucu, padahal waktu itu juga Zilla ketakutan.." lanjutku yang masih kebingungan dengan mereka berdua, setelah puas menertawai ku kak Dahlia ikut duduk begitupun dengan mbak Afiqah dan kami saling berhadapan satu sama lain..
"Bukan berdebar seperti itu Zill, maksudnya disini, berdebar yang dengan sensasi berbeda dan ada rasa rasa malu juga seneng gitu loh.." kata kak Dahlia dengan mengacak ngacak kerudungku.
"Kok lebih rumit dari matematika ya Kak Lia.." jawab ku, tapi masih juga dengan berfikir keras karna tidak ketemu juga maskud dari ucapan kak Lia,
"Kak Dahlia, kalau menjelaskan ke Mbak Zilla harus sampai faham, Guru Guru sama Ustadz di Al- Ma'aly saja mesti extra sabar kalau mbak Zilla sudah mulai bicara.." kata Mbak Afiqah
"Mbak Fika..." kataku
"Mbak Zilla mah pantes jadi pengacara nanti..." lanjut mbak Fika dengan tersenyum penuh makna kepadaku, aku pun ikut tersenyum simpul ke arah Mbak Fika, jauh di dasar hatiku, aku memang menginginkan menjadi seorang pengacara namun ketika mengingat kembali keadaan ku juga Emak , rasanya akupun harus mengubur keinginanku itu jauh di dasar bumi yang paling dalam.
Setelah ucapan Mbak Afiqah tadi aku menjadi tidak lagi bersemangat mengikuti obrolan yang jauh dari jangkauan pemikiran ku, soal rasa yang tidak ku pahami sama sekali, dan saat aku setengah terkantuk kantuk karna hanya menjadi pendengar diantara kedua saudara itu sempat ku dengar sedikit mbak Afiqah juga kak Dahlia membicarakan Kang Santri, dan entah Kang Santri mana yang membuat mereka sampai mengobrol yang unfaedah begitu hingga larut dan aku benar benar sudah terbang bersama mimpi jauh disana..
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Matahari sudah mengintip di ufuk timur saat aku melangkangan kaki ku keluar dari benteng tinggi Al-Ma'aly dan langkah tergesa ku harus terhenti karna aku melupakan sesuatu yang harusnya aku bawa pulang yakni obat juga sedikit makanan dari Bunda Ikah, ya tadi pas habis Subuh tiba tiba bunda Ikah memanggilku ke Ndalem dan memberikan ku obat juga sedikit makanan buat Emak, aku sudah berusaha untuk menolaknya tapi karna Gus Farid juga ikut bicara membuatku tidak bisa membantah lagi, dan ini jelas Mbak Afiqah yang memberi tahu pada Bunda Ikah kalau Emak baru saja sakit. Aku sungguh sangat banyak berghutang budi pada keluarga Gus Farid, terutama Bunda Ikah yang tak henti hentinya selalu memberiku semangat juga nasehat, juga mbak Afiqah yang tidak segan membelaku saat aku di salahkan yang bukan pada kesalahnku di Al-Ma'aly pusat dan akan langsung memberikan argumentnya untuk menyelamatkan aku, atau menjadi barisan paling depan membela ku ketika aku di hina dan di bully oleh teman teman disana, sungguh jika aku harus membalas jasa mereka dengan seluruh tenagaku itu tidak akan pernah cukup dan aku tidak tau harus membalas jasa mereka dengan apa kelak.
Setelah aku mengambil titipan bunda Ikah kepada Emak aku segera bergegas hendak kembali ke rumah karna aku takut Emak akan lebih dulu menyiapkan segalanya sendiri sebelum aku sampai di rumah, dengan mengagkat sedikit rok ku agar berjalan lebih leluasa aku melebarkan langkah ku untuk sampai di pintu yang berada di belakang sana, ketergesaan ku nyatanya harus kembali terhenti saat aku menabrak pintu yang tiba tiba terbuka dari luar dan mengenai tepat wajahku, dengan mengelus jidat serta hidung ku aku menghela nafas kasar tanpa memperhatikan siapa yang membuka pintu dengan tergesa dari luar sepagi ini.
"Maaf enggak sengaja.." katanya dan aku hafal suara itu meski biasanya tidak akan selembut itu jika sedang bicara dengan ku.
"Iya, enggak apa apa.." jawab ku lalu mengeser tubuh ku sedikit dari pintu agar dia bisa masuk dengan leluasa, heran sama orang ini yang sangat menyukai fotografi dan sepertinya setiap keluar tidak pernah absen dengan kameranya seolah sudah menjadi belahan jiwanya saja.
Setelah dia melangkah masuk maka akupun langsung menuju pintu dan ingin segera pergi dari situ tapi kenyataanya tidak sesuai dengan yang ada di dalam pikiranku.
"Ling, Keling jangan lupa kamu punya hutang sama aku.." ucapnya begitu aku baru keluar satu langkah dari pintu, dan dengan segera aku membalikan badanku dan menutar mataku dengan jenggah..
"Iya aku ingat, lagian aku bukan orang tua yang pikun.." jawab ku dengan muka jutek, sumpah setiap ketemu dengan Kang Huda bawaanya selalu bikin emosi, karna selain dia orangnya semaunya sendiri juga suka sekali membuatku sebal dan terutama saat dia memanggil ku dengan sebutan Keling, kayak itu merobek mukaku saja, tanpa dia bilang aku Keling aku cukup sadar diri bahwa aku ini anaknya Hitam, dan tidak perlu mengingatkan lagi pada kekurangan ku yang satu ini, meski begitu banyak kekurangan yang aku miliki tentunya.
"Ya memang kamu enggak tua, tapi bakal cepet tua kalau kamu seneng jutek dan marah marah melulu tiap ketemu aku..ha..ha..ha..." jawabnya di sertai dengan tawa renyah, ku tatap sebentar sebelum aku pergi begitu saja dari hadapanya masih dengan mengangkat sedikit rok ku..
"Ling, Keling.." triaknya begitu aku sudah berjalan sedikit jauh,..
"Apa lagi..." jawab ku sambil berbalik sedikit, namun kataku langsung terhenti saat kilatan flas kameranya berkedip ke arahku dan untuk sesaat aku terpaku di tempat dan tak sadar dia tengah tersenyum ke arahku sambil menutup pintu dengan cepat, setelah aku tersadar dari keterpakuan ku dan hendak meminta pertanggung jawaban darinya ternyata pintu di kunci dari dalam, ahirnya aku hanya bisa menghentak hentakan kakiku dengan sebal sambil ngomel tidak jelas lalu kembali berjalan untuk pulang.
Di sepanjang jalan pulang aku terus ngedumel tentang Anoman, yang bisa bisanya mencuri gambarku seperti itu, dan ternyata aku masih salah menganggapnya sudah berubah lebih baik, yang namnya sifat jahil tetap saja jahil dan predikat orang yang paling menyebalkan dalam hidupku rasanya hanya pantas di sandang oleh Anoman seorang. Padahal kemarin aku sudah berusaha untuk memberi panggilan yang baik padanya yakni Kang Huda tapi dengan dia memanggiku Keling tadi aku harus merubah penyesalan ku dan akan tetap memanggilnya Anoman. Sebenarnya aku tidak berharap dia bersikap baik kepadaku, toh semua teman sebayaku juga tidak bersikap baik padaku malah cendrung menyakitiku di setiap ucapanya, tapi akan lebih baik ucapan sakit daripada ucapan yang mebuatku sebal dan marah marah tidak jelas, karna sikap jahilnya sering membuatku harus memikirkanya berulang ulang dan menyita banyak waktuku yang terus terganggu jika mengingat sikap jahilnya itu.
Seolah omelanku tidak akan ada habisnya jika sudah menyangkut Anoman, dan kadang aku juga heran kenapa hanya padaku dia jahilnya enggak ketulungan, apa karna hanya aku yang tidak malu malu jika bertemu denganya, eitsss.. ngomongin malu malu, aku juga heran kenapa mbak mbak bisa begitu tersipu malu saat bertemu dengan Anoman dan mukanya bisa memerah kayak tomat, terlebih saat dia melempar senyumnya ke arah Mbak Mbak pasti mereka akan heboh atau akan bertingkah sangat lucu, kadang ada yang sampai berubah menjadi sangat lembut, juga sangat sopan padahal aslinya mah mereka enggak kayak gitu juga, dari semua itu hanya aku yang bersikap biasa saja dan seolah tidak perduli padanya, karna aku tidak punya alasan untuk bersikap seperti itu, kalau mau ngomong ya ngomong saja dan bersikap seolah diriku orang yang manis di depan orang lain itu sangat bertolak belakang dengan jiwa kejujuranku, yang cendrung bersikap apa adanya dan tidak mau menutupi apapun, sejauh yang aku pikirkan tetap saja aku tidak menemukan alasan kenapa Anoman suka sekali jahil padaku dan akupun juga tetap tidak menemukan alasan lain agar aku bersikap manis padanya kecuali dia juga bersikap sama terhadapku...
Ulasan senyum tersungging di bibirku saat terlihat gubuk tua di depanku, dan perdebatan panjang dengan diri sendiri yang tidak mendapat jawaban itu benar benar berahir saat ku lihat sosok tua yang tengah membuka pintu buat ku dengan rentangan tangan di sertai senyum yang hangat, sehangat mentari yang kini mulai merangkak naik menyinari bumi.
Bersambung...
####
Coba Zilla tanya Emak apa alasan kang Huda jahil sama Zilla, pasti akan terjawab dengan gamblang juga sekaligus penjelasan penjelasanya secara terinci..🤭🤭🤭🤭
Hai Reader.. gimana crita Zilla, apa sudah cukup menarik dari sini..
seberapa menarik atau tidak menarik please...hargai kami sebagai penulis amatiran ini, hanya sekedar tinggalkan like, coment, jika memungkinkan Vote juga boleh, ..
Trimakasih...
Love Love Love...
💖💖💖💖💖💖
By: Ariz kopi
@maydina862
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Daffodil Koltim
jeng2 pada siapa nantix hati zilla akn berlabuh,,,,🤗🤗🤗💪💪💪
2021-01-30
1
Mmh Liya
sangat menarik mba ceritanya, semangat yah
2020-12-20
1
Endang Werdiningsih
afiqah suka sama huda
2020-08-19
2