Happy Reading...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
"Zilla.." panggil Bunda Ikah dengan suara yang meninggi, dan baru kali ini aku mendengar Bunda Ikah sampai meninggikan suaranya, dengan segera aku menghentikan gerakanku dan tepat pada saat itu juga sebuah tamparan mendarat di pipiku, tamparan yang lumayan keras tapi aku tidak bisa membalasnya karna pandangan mata Bunda Ikah yang menyiratkan kekecewaan terhadapku, dan dengan perlahan aku berjalan mendekat ke Bunda Ikah dengan membenarkan baju ku serta kerudungku yang sudah tak beraturan, tanpa sepatah katapun Bunda Ikah pergi meninggalkan tempat itu dan langsung masuk ke dalam rumah, aku terus mengikutinya meski aku sangat takut jika Bunda Ikah akan marah, terlebih akan kecewa terhadapku.
"Maaf Bunda.." kataku lirih sembari bersimpuh di samping Bunda Ikah yang tengah duduk di sofa,
"Duduklah disini.." kata Bunda Ikah dengan menepuk tempat di sebelahnya, aku bergegas bangun dan duduk di sampingnya.
"Kenapa sampai seperti itu, sudah sering Bunda bilang jadilah seorang perempuan yang lembut, yang santun.." katanya dengan menarik tubuh kecilku dalam dekapanya, aku hanya bisa diam dan merasakan detak jantung Bunda Ikah yang sedang menahan amarah, disinilah letak keistimewaan bunda Ikah yang tidak pernah di miliki orang lain, selalu dan selalu menasehati dengan cinta kasih.
"Jika bukan kata kata Bunda yang kamu ingat, setidaknya ingatlah bahwa ada Qur'an di dalam jiwa mu, agar itu bisa menjadi tolak ukur bahwa Qur'an yang kamu jaga itu tidak hanya di lisan saja melainkan sampai di dalam hati.." lagi lagi aku hanya bisa diam, amarah di hatiku menguap dengan ucapan Bunda Ikah, bahkan perih di pipiku karna tamparan kang Santri baru itu juga tidak lagi aku rasakan, karna perih di pipiku tidak akan sebanding dengan perih di hatiku saat Bunda Ikah telah benar benar kecewa dan menjauh dariku.
"Lihat pipimu, apa ini sakit.." kata Bunda Ikah sembari melepaskan pelukanya dan menyentuh pipiku..
"Tidak Bunda, hanya sakit seperti ini tidak kan apa apa buat Zilla.." jawabku dengan memaksakan senyum..
"Apa benar itu tidak sakit.." kata Ning Afiqah yang dari tadi hanya diam..
"Benar Ning, maaf, benar Mbak Fika,.."
"Ya sudah kalian siap siap, biar Bunda panggil kang Halim,.."
"Bunda, Zilla minta maaf, Zilla janji akan menjadi wanita yang lembut nanti.." kataku dengan memegang tangan Bunda Ikah dengan kedua tangan ku.
"Berubahlah karna kamu, bukan karna bunda yang menyuruhmu, tancapkan di hati dengan sedalam dalamnya, bahwa ada Qur'an di jiwamu, jadi ahlaqmu juga harus yang Qur'ani.." kata Bunda Ikah kemudian melangkah menjauh dari kami, ku pandangi kepergian Bunda Ikah sampai hilang di balik pintu..
"Mbak Zill, apa benar enggak sakit pipinya..??" tanya Ning Afiqah..
"Ahh, hanya tamparan kayak gini enggak terasa buat saya Mbak Fika,.." jawab ku dengan senyum sumringah, ya.. bagi ku sakit tamparan kayak gini tidak sebanding dengan kerasnya kehidupan yang harus aku dan Emak jalani setiap hari, karna kemlaratan yang senantiasa membuat diri kami jadi sasaran hinaan serta cacian dan itu lebih perih dari sebuah tamparan di pipi, tapi aku tepatlah aku yang tidak pernah mengeluhkan sesak serta sakit hati atas cacian mereka, terlebih mengeluh terhadapNYA atas segala ni'mat kehidupan yang di berikan kepada kami.
"Kak, mbak Zilla, sudah di tunggu kang Halim.." kata Bunda Ikah begitu muncul kembali di pintu.
"Enggeh Nda.." jawab kami bebarengan dan segera langsung berdiri dari tempat kami..
"Kami berangkat Bunda, Assalamu'alaikum.." kataku dengan mencium tangan Bunda Ikah dengan takdzim..
"Belajar yang rajin, jangan lupa janji Mbak Zilla tadi sama Bunda.."
"Insya'Allah Bunda, Zilla tidak akan lupa.." kataku lalu melangkah menjauh dari Ning Fika juga Bunda Ikah, dari tempatku berdiri dapat kulihat Ning Afiqah yang sedang berada dalam pelukan Bunda Ikah dan dengan lembut tangan Bunda mengusap kepala Ning Afiqah dengan kasih serta dapat ku lihat juga bahwa selalu teriring do'a untuk Ning Afiqah di setiap lekuk bibir Bunda Ikah, perih itu kembali mengiris ketika aku menyaksikan pemandangan ini setiap akan kembali ke Al- Ma'aly dan rasa iri juga ikut menelusup di sanubari, andai saja aku tidak di tempa dengan kehidupan yang sangat keras tentu kerinduan sekaligus kebencian terhadap dia yang ku sebut Ibu akan membuatku meraung mengeluarkan segalanya lewat air mata, tapi sesungguhnya ada kalanya aku benar benar merindukanya dan ingin sekali merasakan bagaimana syahdunya berada dalam dekapan hangatnya seperti Ning Afiqah dalam dekapan Bunda Ikah, namun itu seperti aku sedang berenang dalam pusaran air yang menarik ku dalam arus yang tidak tau akan membawaku kemana jika aku terseret bersamanya, dan di saat aku benar benar tidak mampu lagi menahan genagan air di sudut mataku, maka aku akan berlari di tengah tambak dan menaiki pohon Asem, menagis sembari melafalkan hafalanku dengan tersedu sedu untuk mengalihkan segala rindu juga benci yang bercampur baur jadi satu. Dengan nafas berat aku memalingkan pandangan ku dari Bunda Ikah juga Ning Afiqah, karna itu akan membuat ku semakin menggali lubang kebencian terhadapnya yang tak pernah ku temui, dan dengan berat pula ku langlahkan kaki ku menuju teras lalu mendudukan diriku di pagar, dan sempat aku melihat kang Santri baru itu sedang di hukum oleh Kang Santri keamanan.
"Ayo Mbak Zilla,.." kata Ning Afiqah dengan menepuk bahuku, dan membuatku sedikit tersentak kaget di buatnya..
"Enggeh Mbak Fika,.."jawabku dengan mengikuti langkah Ning Afiqah di belakangnya persis seperti bayanganya, sebelum kami masuk ke dalam mobil sempat ku lihat dari ekor mataku bahwa dia sedang memandang ke arah ku dengan tatapan penuh dendam sekaligus tatapan benci, tapi aku tidak sama sekali meresponsnya dan malah semakin menundukan kepalaku seperti yang di lakukan Ning Afiqah..
Mobil berlahan lahan meninggalkan pelataran Pesantren,dan membelah jalan yang kini sudah rame oleh rumah rumah penduduk semenjak kehadiran Pesantren milik Gus Farid, dulu suwaktu aku masih kecil jalanan ini sangatalah sepi, dan minim penerangan tapi kini sudah semakin bersolek, dan berbenah sesuai zaman dan mengikutinya pula. Dari begitu banyak rumah yang kini sudah berdinding bata dan megah megah sesuai taraf peningkatan kehidupan masyarat miskin di sekitar sini, ada satu rumah yang dari aku kecil hingga kini tetap saja seperti itu, ya itu adalah tempat tinggalku dengan orang satu satunya yang mencintaiku, rumah reot itu kini semakin reot, dan setiap aku menatap wajah tua yang semakin keriput termakan usia itu, semangatku untuk membuatnya bahagia berkobar seperti bara api yang terkena tetesan minyak tanah, bahagianya adalah preoritasku kelak, menjadi seorang yang berguna dan di pandang layaknya dengan teman teman sebayaku adalah merupakan mimpinya, dan dialah satu satunya cinta juga nafas dalam diriku, tak dapat ku bayangkan jika suatu saat nanti aku harus kehilanganya tanpa ada tangan lain yang akan mengenggam tanganku untuk kuat seperti dia..
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Waktu berlalu kian cepat tak terasa sudah setahun lamanya aku berada di Al-Ma'aly pusat,dan setelah penerimaan raport siang tadi kami semua akan di pulangkan ke rumah kami masing masing karna masuk jadwal libur,dan juga merupakan liburan panjang untuk para santri juga siswa sekolah itu artinya setelah masuk nanti aku juga Ning Afiqah sudah masuk kelas 8, dan dapat ku pastikan jika kang Santri otak udang itu tidak pulang untuk libur maka pastinya aku dan dia akan terus bertengkar nanti, jangankan kami dapat bersama dalam waktu yang lama, selagi ketemu pas aku pulang di hari Jum'ah saja bisa berantem berkali kali setiap papasan, apa lagi nanti jika libur Pesantren di mulai, aku sendiri tidak tau kenapa aku dan dia bisa seperti ini, apa mungkin karna pertemuan pertama kami setahun lalu yang di landasi oleh kesalah pahaman membuat kami tidak ingin saling mengenal satu sama lain dan sudah membekas juga di hati kami masing masing bahwa kesialan akan ada jika kami saling bertemu, pada dasarnya sikapku dengan kang Santri lain baik bahkan cendrung sangat baik terlebih yang sudah cukup lama di sana aku akan menaruh hormat yang lebih kepada mereka seperti hormatku kepada keluarga ndalem, karna mereka yang mengenalku lebih lama akan faham betul dengan sikap ku yang hanya rame di mulut saja, maka dari itu sebisa mungkin aku memilih agar tidak berpapasan denganya, namun justru saat aku sangat menghindarinya yang terjadi malah aku secara tidak sengaja bertemu denganya di luar pesantren kadang juga kami secara tidak sengaja bertemu di sekitar pohon Asem, itu dikarnakan dia juga menyukai sunset sama seperti ku, dan spot foto untuk sunset yang terbaik ada di sekitar pohon Asem tempat ku bersembunyi selama ini, dan kini aku harus rela berbagi tempat dengannya yang langsung di klaim sebagai tempat favorit baginya, dasar orang yang aneh seaneh nama yang di sandangnya. Aku tau namanya secara tidak sengaja ketika dia masih menggunakan seragam sekolah SMK yang lumayan favorit karna terletak di Kecamatan dan terkenal dengan sekolahan mahal, di tag namanya tertulis A.Huda Pucang Anom, aku rasa dia memang benar benar dari keluarga yang berada karna dari pakaian juga barang barang yang dia punya lumayan bagus meskipun aku tidak tau brand sama sekali, terlebih pada peralatan Foto yang dia miliki.
Mobil berlahan masuk ke pelataran Pesantren saat habis Asar, dan dapat kulihat di teras sedang berkumpul beberapa keluarga dari Gus Farid juga Bunda Ikah, karna nampak jelas di mataku teman teman kecilku sedang berdiri di samping Bunda Ikah, yakni ada Kakak Dahlia yang semakin cantik seperti Bunda Ikah, juga ada Mas Hafidz yang sudah tumbuh menjadi remaja seperti kami juga tidak kalah tampan dengan Ayahnya tentunya, tunggu, tunggu dulu, Tampan, dapat kosa kata dari mana aku kata Tampan, apa aku sudah masuk puber..??.
Dengan malu aku langsung merendahkan pandangan ku dari Mas Hafidz saat menyadari atas pemikiran liar yang muncul dengan sendirinya itu. Kami turun dari mobil tepat saat mobil yang di supiri oleh Kang Halim berhenti di garasi, dan dengan senyum riang Ning Afiqah langsung berlari menghampiri kakak Dahlia menubruk tubuh tinggi semampai,aku ikut tersenyum ke arah mereka dan secara tidak sengaja mataku yang nakal ini bertemu pandang dengan mata Mas Hafidz yang tengah memandang ke arah ku sembari mengangkat tas milik Ning Afiqah yang baru saja di turunkan oleh kang Halim.
"Assalamu'alaikum.. " sapa ku dan langsung menyalami mereka semua, termasuk dengan Kakak Dahlia dan hanya mengangguk sembari mengangkat tanganku sebatas dada untuk Mas Hafidz, aku tidak tau dengan kecanggungan yang tiba tiba muncul ketika mata kami kembali bertemu, mungkin karna kami sudah setahun ini tidak pernah bertemu, karna setahun ini Mas Hafidz mengenyam pendidikan di Pesantren di luar kota, dan setahun perubahan Mas Hafidz membuat aku canggung mungkin karna juga perubahan fisiknya yang semakin memperlihatkan kerupawananya atau mungkin kami sekarang yang sudah tumbuh sedikit dewasa dan mengenal hukum hukum agama jadi kami mengerti batasan kami sebagai seorang yang bukan mahram, padahal waktu kecil dulu kami tergolong yang paling dekat di banding dengan yang lainya, dan tak jarang Mas Hafidz akan ikut pulang ke rumah ku, agar aku tidak meninggalkanya saat dia sedang datang kemari.
"Ayo masuk.." kata kata Bunda Ikah menyadarkan dari lamunan ku, dengan senyum tipis aku ikut masuk dengan membawa masuk serta tas baju milik Ning Afiqah, aku hanya menjadi penonton di tengah banjir kerinduan di antara saudara yang selama setahun itu tidak bertemu, dan seolah melupakan keberadaan ku di antara mereka, sebenarnya aku juga rindu, sebenarnya aku juga ingin ikut mengobrol bersama mereka namun aku lebih baik memilih diam karna aku hanya sebuah bayangan bagi mereka, setelah cukup lama aku disana menjadi pendengar serta ikut meraimakan obrolan mereka dengan tawaku, aku mulai beranjak dari tempat itu saat semua sudah mengeluarkan benda ajaib dari kantong masing masing,karna pada saat mereka asik dengan dunia mereka maka tidak akan ada tempat bagiku disana, karna aku tidak memiliki benda yang sama seperti yang mereka miliki dan disinilah aku merasa seperti orang asing bagi teman teman kecil ku dulu, jangankan untuk memiliki benda seperti itu untuk membayangkan itu saja jelas aku tidak berani.
Setelah berpamitan dengan Bunda Ikah, aku melangkahkan kaki ku menuju pintu belakang tentu dengan mengendong tas ku, karna liburan kali ini aku akan fokus membantu Emak bekerja, melihat kesehatan Emak yang tidak begitu baik saat setengah bulan lalu aku pulang sedikit banyak membuatku berfikir jika harus tetap disini tanpa membantu tangan renta itu mencari rezeki buat kami, hal yang sangat aku takuti jika harus membayangkan adalah saat Emak harus pergi meninggalkan aku disaat aku belum bisa membuatnya bahagia. Tidak akan ada yang tahu memang batas usia dari manusia karna tidak juga yang datang dulu akan pergi lebih dulu, karna semua itu adalah ketetapan dariNYA, namun harapanku saat itu datang kepada kami mudah mudahan dalam kondisi yang Husnul Khotimah, dan membawa Islam serta Iman kami sebagai tebusan atas pertanggung jawaban kami disana.
"Mbak Zill, Mbak Zilla.." panggil sebuah suara berat dari belakangku dan itu membuat langkahku langsung terhenti dibuatnya, kuputar badanku dan dapat kulihat sosok rupawan Mas Hafidz tengah berdiri di depanku dengan sebuah bungkusan kecil di tanganya..
"Ini untuk sampaean mbak Zill, mudah mudahan suka.." katanya dengan menyodorkan bungkusan kecil itu kearahku tanpa berani menatapku, sungguh sikap yang sangat manis sekali..
"Apa ini Mas Hafidz.." kataku sembari menerima bungkusan itu..
"Hanya hadiah kecil, untuk teman ku.." jawabnya namun dengan mengangkat sedikit kepalanya dan pandangan kami bertemu kembali, kerinduan akan senyumanya terobati karna saat itu senyuman mengembang dari bibir kami berdua..
"Dhemmmm...." sebuah deheman keras membuat kami sontak langsung membuang pandangan ke asal suara tersebut, dan dengan santainya dia langsung melanglah kearah kami sembari berucap..
"Dasar Keling, minggir, kayak enggak ada tempat buat pacaran, apa mau ku laporkan sama keamanan biar sekalian di hukum, tapi sayangnya aku bukan orang yang suka ngadu kayak kamu" katanya sembari membuka pintu di sampingku lalu melangkah pergi begitu saja. Apa dia bilang, seenaknya sendiri bilang kalau kami pacaran, dasar enggak sopan banget batin ku ngedumel sendiri.
"Maaf Mas Hafidz, dia baru satu tahun disini jadi tidak tau sampean.." ucapku karna merasa tidak enak dengan ucapan Kang Anoman itu.
"Tidak apa apa mbak Zill.."
"Trimakasih hadiahnya Mas, saya permisi dulu, Assalamu'alaikum.." ucapku
"Wa'alaikumussalam.." jawabnya dan dengan jawaban salamnya kami saling berbalik dari tempat kami dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu, belum jauh langkah ku meninggalkan benteng tinggi menjulang itu ketika dengan tiba tiba sebuah suara mengagetkan aku dari belakang, dan membuat semua barang yang aku pegang terjun bebas ke tanah, di sertai dengan bunyi gedubrak dari tubuhku yang ikut jatuh tersungkur ke tanah karna tersandung oleh batu di depanku, tawa terbahak bahak langsung terdengar jelas di telingaku tak perlu aku menoleh ke arahnya, aku sudah tau dengan jelas siapa pemilik suara jelek yang senang sekali mengusili ku setahun belakangan ini,
"Anomannnnnn....." triak ku tanpa menoleh atau berdiri dari tempatku jatuh aku sudah lebih dulu berteriak memanggil nama orang yang super ngeselin dalam hidup ku setahun belakangan ini,...
####
mau tau keseruan berantemnya Zilla dan kang Huda alias Anoman,.. lanjut di part berikutnya..
salam sayang selalu dari Emak..
Love Love Love...
💖💖💖💖💖💖
By: Ariz kopi
@maydina862
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Agus sulastri
Anoman sungguh keusilanmu membuat zilla meradang...
tak bisa dibayangkan zilla ketemu Anoman,yg tiap hari berantem...
2020-06-26
5
syakiila adeeva
yah ngegantung.. penasaran deh!!!
nyesek lhat ziilla.. ksian km.. sbar ya..
2020-06-13
2
Erna Sanusi
istimewa nih Zilla,,,
gus hafidz memberi perhatian kecil,,,
anoman yang selalu ngusilin dia,,,
aaahhh akan ada kisah menarik nih ke depannya,,,,
semenarik apa kisah mu Zill,,, ???
2020-06-12
2