Happy Reading...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Senyum masih senantiasa tersungging di bibirku dan rasanya di setiap langakah ku kembali ke rumah semakin ringan dan menyenangkan bahkan semua itu semakin terasa lebih meneyenangkan lagi saat ku lihat kekasih ku, bidadari ku, malaikat tak bersayap ku yang tengah berdiri menunggu ku di depan rumah, senyumnya langsung berbinar saat langkah ku semakin mendekat, dan dengan tanpa ragu langsung ku rengkuh tubuh tua itu dalam pelukan ku, sembari ciuman ciuman kecil kudaratkan di pipi kriputnya..
"Assalamu'alaikum..." ucapku setelah puas menumpahkan segala kebahagiaan di dadaku..
"Wa'alaikumussalam, tumben pulangnya agak telat Zill, dan kelihatanya kamu bahagia sekali.." ucap Emak sambil membuka pintu dan ku tuntun dia masuk lalu kami mendudukan diri kami di dipan, sejurus kemudian aku menaruh tasku ke dalam kamar lalu kembali duduk di sebelah Emak.
"Emak sudah masak ya.." ucapku sambil menepuk nepuk pipiku yang masih menghangat saat mengingat ucapan Mas Hafidz tadi..
"Sudah, kenapa tow Zill kamu itu kok senyum senyum sendiri enggak jelas seperti itu.." ucap Emak penuh selidik, ku sunggingkan senyum ku ke arah Emak lalu menggeleng pelan..
"Zill, Emak yang tahu dari kamu bayi,.." kata Emak dengan memandang ku lekat juga penuh penekanan, ya aku tahu, bisa membohongi seluruh dunia tapi aku tidak akan pernah bisa membohongi Emak.
"Itu,.. cuma,cum..." jawab ku gagab.
"Cuma apa.." kata Emak lagi dengan suara tegasnya, dan itu sering terjadi saat wanita ku ini tengah mengkwatirkan ku.
"Mas Hafidz Mak.." jawab ku dengan menunduk sembari tersipu malu, dengan cepat Emak mendekat ke arahku dan mengangakat wajahku agar memandang ke arahnya, netra tua itu cukup tahu hanya dengan memandang mataku saja tanpa harus aku mengatakanya.
"Ndhok Zill, mbok ojo serakah tow.." katanya dengan tatapan sedih..
"Serakah gimana sih Mak, Zilla enggak min.." jawab ku lalu segera di potong oleh Emak..
"Kamu itu masih muda dan jalanmu ini masih panjang,.." katanya pelan dengan menghela nafas dalam dalam,.
"Tapi Mak Mas Hafidz yang bilang ke Zilla kalau Mas Hafidz senang saat bersama Zilla.." jawab ku dengan menatap Netra tua itu penuh tanya ..
"Kalian masih muda Ndhok, masih lima belas tahun, dan bukan tidak mungkin suatu saat nanti kalian akan mengerti hidup di luar sana, Emak hanya takut kamu akan terluka,..".
"Tapi Mas Hafidz, Zilla tau Mas Hafidz dari kecil.."
"Karna kamu tau dari kecil maka pikirkanlah, apa kita cukup pantas buat mereka, kita cuma wong sobek Ndhok, wong kere, ilingin kwi, kita ini ibarat debu di lantai mereka Zill " kata Emak dengan penuh penekanan, dan sontak ucapan Emak itu seperti es yang mencair langsung di pipiku yang tengah menghangat karna ucapan Mas Hafidz tadi.
"Mau seperti apapun Hafidz padamu, tapi ingatlah bahwa karna keluargnya kamu bisa mendapatkan Ilmu, mungkin Hafidz akan menerimamu tapi apa mungkin keluarganya akan menerimamu seperti Hafidz saat ini, mereka keluarga terhormat dan tanpa campur tangan mereka kita tidak akan seperti sekarang, terlebih kamu." aku semakin menundukan kepalaku mendengar ucapan Emak yang sama sekali tidak salah namun terasa nyeri di hati saat aku mendengar tentang kebenaran ku.
"Maafkan Emak Zill,." ucapnya pelan lalu berdiri namun segera aku tarik tanganya dan menghambur dalam peluakanya seraya berkata lirih..
"Maafkan Zilla Mak, maafkan Zilla karna telah membuat Emak bersedih.."
"Emak tidak mau kamu terluka Ndhok, akan lebih baik jika sakit sekarang, daripada nanti akan semakin sakit lagi, kamu ngerti maksud Emak kan.." jawabnya dan membalas pelukan ku dengan sangat erat, dengan pelan aku mengangguk lalu Emak melepas pelukanya dan melanglah menuju pintu.
"Kamu cuci baju saja dulu, nanti baru nyusul ke pabrik.." katanya saat sudah dekat dengan pintu.
"Iya Mak.." jawab ku dengan mengulas senyum yang snagat terpaksa..
"Ingat pesan Emak tadi, kita ini tak ubahnya hanya sebuah debu di lantai mereka, Assalamu'alaikum.." katanya lalu langsung melangkah keluar dari rumah, dan aku hanya bisa memandang pungkung sedikit bungkuk yang telah termakan usia itu dengan sedih karna sudah tanpa sengaja mengoresnya dengan tingakahku yang tidak sepantasnya.
Sepeninggal Emak aku bergegas menuju sumur menimba dan menimba entah sudah berapa banyak Air yang aku angkat ke permukaan dan baju baju kotor itu sama sekali masih belum tersentuh oleh tangan ku, pikiran ku terus merekam ucapan Emak sekaligus ucapan Mas Hafidz dan mau tidak mau aku harus menyetujui semua ucapan Emak karna memang itu yang benar.
tanpa kebaikan seluruh anggota keluarga Al-Ma'aly, pasti saat ini aku menjadi anak yang tidak berilmu, atau mungkin bahkan lebih buruk dari itu, semua pasti akan berahir.
Apa Tuhan tidak adil padaku...??, tentu saja itu tidak benar karna bagaimanapun ini hanya sebuah skenario yang harus aku jalani saat ini, hidup serba kekurangan, hidup dalam garis kemiskinan dan selalu jadi bahan hinaan namun ada satu hal yang membuatku masih terus bisa bertahan, Insya' Allah sampai kapanpun akan tetap aku jaga, Al-Qur'an di diriku dan ini pula yang membuatku kuat serta menjadikan aku seorang yang berahlaq.
Sesak ini akan segara berlalu seiring bergantinya waktu, bergulirnya hari yang akan mengubur sebuah rasa yang salah tumbuh, yang telah menjadikan biji yang tidak pada tempat harusnya bertunas, menyimpanya seorang diri itu akan lebih baik, dan untuk kedua kalinya ini aku menelan rasaku utuh tanpa seorang yang tahu kecuali Emak tentunya.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Hari terus berganti dan tidak terasa waktu liburan sudah semakin mendekati berahir, dan dari semenjak saat itu aku memang tidak pernah bertemu dengan Mas Hafid, sekalipun aku melihatnya aku memilih tidak terlihat olehnya dan menjauh secara perlahan meski tidak dapat di pungkiri hatiku sedikit ngilu tapi itu jauh lebih baik aku lakukan daripada jika harus menyaksikan Emak yang tersakiti oleh tingkahku, menjalani hidup seperti ini saja sudah sangat susah bagiku dan Emak, aku tidak mau menambah beban yang harus di pikulnya jika aku melakukan kesalahan dalam hidup ku.
Seperti biasa aku akan kembali kerumah saat pagi pagi buta seperti ini, dan binar jingga pucat di ufuk timur memberi kabar kepada semua mahluk di muka bumi bahwa hadirnya sang surya akan membawa hari baru.
Langkah kecil ku mengayun perlahan di balik tembok tinggi menjulang pembatas area Pesantren dengan lingkungan sekitar, juga batas dari ku seharusnya untuk rasa yang tidak pada tempatnya ini, batas yang hanya bisa aku lewati dengan alasan Santri.
Dengan kepala tertunduk aku terus berusaha melatih senyumku agar tidak kaku nanti saat tiba di rumah, dan dengan menendang nendang batu kecil aku terus berjalan melewati jalan setapak ini dengan hati gelisah, mengingat nantilah waktu yang ku janjikan untuk betemu dengan Mas Hafidz di tempat untuk pertama kali kami bertemu, haruskah aku datang, jika aku datang nanti aku takut akan membuat Emak kecewa padaku, jika tidak datang aku takut Mas Hafidz yang akan kecewa padaku, tapi kalau boleh jujur aku menginginkan bertemu denganya namun aku terlalu takut jika membuat satu satunya penyokong hidup ku itu terluka dengan sikap ku.
"Brukk..." tubuh ku menabrak seseorang yang tengah berdiri membelakangiku karna terlalu asik berjalan dengan menunduk dan larut dengan pikiran yang rumit ini..
"Maaf.." ucap ku pelan dan mundur beberapa langkah dari tempatku, dan orang yang aku tabrak berbalik secara perlahan dengan senyum khas dia, dan baru kali ini aku merasa sangat gembira bisa melihat senyumnya kembali..
"Anoman..." pekik ku tertahan oleh tangan.
"Kenapa, kamu kangen sama aku, sampai sampai begitu gembiranya melihat aku kembali disini.." katanya dengan mode pede tingkat dewanya.
"Kapan datang.." tanya ku tanpa menjawab kata katanya barusan, karna aku pikir itu tidak penting saja, tapi kalau mau jujur memang sih aku merindukan kejahilanya, merindukan kekoyolanya juga sekaligus merindukan olokanya terhadapku, dan aku rasanya cukup nyaman bila berada di dekatnya.
"Kenapa manyun, segitu kangenya sama aku sampai sampai jalan saja menunduk terus." ucapnya juga tidak mau menjawab tanyaku.
"Hehh.. kumat,.." jawab ku lalu melanjutkan langlah ku kembali kerumah.
"Kenapa sih, sensi bener kayak mau bulanan aja.." katanya yang sudah menyamai langkah ku.
"Kayak tau aja.." jawab ku sedikit ketus.
"Ya taulah dari buku, kenapa sih muka jelek gitu mesti tambah jelek dengan manyun gitu" katanya enteng.
"Ya sudah sana pergi saja, enggak nyuruh juga kan deket deket aku.." jawab ku dengan mengibas ngibaskan tangan ku ke arahnya.
"Siapa yang mau deket deket cuma mau ngasih ini,.." katanya dan langsung mencegat langkah ku sembari mengulurkan kresek yang entah berisi apa kepadaku.
"Apa ini.." jawab ku dengan meraih kresek yang mengantung di depan ku lalu memeriksa apa isinya..
"Isinya bom itu,." jawabnya santai lalu melangkah berlawanan dengan ku, aku tatap punggungnya yang semakin menjauh dengan sedikit jengkel juga senang, jengkel karna si penganggu sudah datang juga senang karna hanya dengan dia aku bisa berexpresi sesuka ku sekaligus melakukan hal remeh temeh sambil terus tertawa walau pada ahirnya aku yang akan di buat sebel olehnya.
Aku kembali melanjutkan langkah ku dan sungingan senyum secara alami muncul di bibirku tanpa harus aku berusaha untuk tersenyum seperti tadi.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Sorenya aku kembali gelisah saat hendak berangkat ke Pesantren terlebih saat aku meliwati jalan persimpangan yang memisah antara jalan ke Pesantren dan pantai, aku sampai harus menghentikan langkahku sebentar dan terus bergantian memandang dua arah jalan yang beralawan itu, dan setelah cukup lama aku mengikuti sebentar kata hatiku menuju ke pantai, namun langkahku terhenti saat ucapan Emak kembali terngiang di telingaku tepat saat mataku jatuh kepada sosok yang tengah berdiri jauh memandang ke arah laut lepas.
"Maaf Mas Hafidz.." gumamku pelan kemudian segera berbalik dan meninggalkan pantai dengan perasaan penuh bersalah karna tidak bisa menepati janjiku padanya, karna ada sesuatu yang harus aku jaga, karna ada tembok tebal yang tidak bisa aku hancurkan, karna ada akan ada hati yang teluka nanti jika aku terus maju menuruti langkah yang salah, lebih baik diam dan memendam semuanya menyerahkan pada malam yang kelam untuk menyembunyikan semuanya pada dunia.
Bukankah hidup ini serba dalam pilihan, termasuk memilih untuk terluka saat ini, sejujurnya aku tidak terlalu yakin apa yang akan di sampaikan Mas Hafidz padaku hari ini adalah sebuah jawaban atas pertayaan ku atas kata katanya sebelumnya yang membuat duniaku seakan penuh dengan pelangi dan keindahan, dan kenapa hatiku seolah mengenali bahwa rasa untuk persahabat kami telah berjalan ke arah yang lebih dari sebuah persahabat, harusnya cukup dengan ku saja jadi itu semua tidak akan menjadi serumit sekarang. Nafas dalam berlahan ku tarik pelan dan membiarkan paru paru di dalam sana puas dengan helaan oksigen yang aku raup untuk menyebar di setiap sudut paru paru dan kemudian membuangnya dengan kasar saat tiba tiba sebuah benda menimpa pungungku di sertai dengan suara jelek orang jahil di seluruh muka bumi ini.
"Woy ngelamun saja, kesambet syetan baru tau rasa..." katanya
"Iya syetanya kamu.." jawab ku sambil mengambil kerikil di bawah ku dan melempar ke arahnya dengan sigab dia menghindar sembari tertawa renyah khas dia.
"Masya'Allah, orang semanis aku di bilang syetan, jangan sampai kamu jatuh cinta sama syetan kayak aku ya.." jawabnya lalu melangkah menuju pohon Asem..
"Hari ini aku yang pakai tempat itu.." jawab ku lalu lari mendahuluinya..
"Mana bisa itu kan tempat umum.." jawabnya juga ikut berlari menyusulku, dan kami sampai disana bebarengan dan berebut tempat duduk seperti anak TK yang berebut bangku.
"Kenapa sih enggak kesana saja.." kataku saat dia masih saja menuntut tempatku baginya. Dan nyatanya memang harus aku yang mengalah dan berjiwa besar saat berebut sesuatu denganya.
"Dasar Anoman jelek, Anoman hehhhhhh.. " kataku sambil mengibaskan tanganku karna sebal dan memilih ingin memanjat pohon.
"Ehh mana sopan santunmu Ling, masak kamu mau naik pohon dengan seorang laki laki di bawah, apa tidak takut jika aku intip.."
katanya santai..
"Ihh kenapa sih kamu tuh nyebelin banget,.." kataku lalu terduduk dengan wajah ku tekut sempurna dengan posisi tanganku memeluk pohon Asem.
"Cekrek.." suara bidikan kameranya membuatku langsung melotot ke arahnya lalu berdiri menghampirinya mencoba meraih kamera dari tanganya sambil ngomel ngomel di tengah tawa membahananya.
"Kamu itu selalu dan selalu membuat ku jengkel, bisa enggak kamu itu menghilang saja seperti kemarin hah.." kataku dengan masih berusaha untuk meraih kameranya yang dia acungkan ke udara sambil terus tertawa, jelas saja dia menertawakan ku yang tetap tidak sampai sampai meraih tanganya karna postur tubuh kami yang berbeda, usahaku serta tawanya langsung terhenti saat sebuah suara dengan lantang menyerukan namaku...
"Zazilla.."
Bersambung....
####
Hemmm.. repotnya hati seorang remaja yah, denganya berdebar, bersama dengan yang dia rasanya lebih dari berdebar, dengan dia yang satunya lagi berasa nyaman..
Seperti Emak yang akan merasa lebih nyaman lagi saat Like, Coment serta Votenya makin bertambah..🤭🤭🤭
#ngareb...
By: Ariz kopi
@maydina862
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Daffodil Koltim
oalah,,,mkin greget,,,,🤗🤗🤗🙏🙏🙏
2021-01-30
1
Reena Azza
sp y yg manggil...
gus hafidz ap nenekx zilla y...🤔🤔🤔
2020-07-09
1
Erna Sanusi
oh debar cinta mulai terasa menyesakkan dada,,,
debar rasa yang belom tercampur i maksud apa apa,,,
debar rasa yang mulai menyakiti jiwa,,,
tak perlu membohongi diri sendiri,,,
tak perlu pula menyiksa diri,,,
rasa yang ada biarlah ada,,,
jika kan bertemu dengan tempat nya,,,
semua pasti ada jawabnya,,,
menyadari diri bertempat dimana,,,
menyadari diri berlaku harus bagaimana,,,
pasrahkan saja,,,
semua takkan mungkin sia sia,,,
2020-07-09
2