Happy Reading...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
"Mbak Zill.. di panggil Bunda Ikah di ndalem.."
kata salah satu teman yang sesama belajar di sini..
"Enggeh mbak Mina, maturnuwun" jawab ku dan langsung menuju Ndalem, biasanya setiap habis Isya' kami akan di antar kembali oleh kang Santri ke Al-Ma'aly pusat, karna kegiatan belajar mengajar untuk santri akan di mulai besok setelah subuh, dengan sedikit bergegas aku menuju Ndalem lewat pintu samping yang akan langsung tembus di dapur, tapi bukan dapur khusus yang di miliki Bunda Ikah.
"Mbak Lala, gendong.." kata Gus Ali, begitu melihat kelibatku, Gus Ali dengan ku sudah seperti saudara sendiri, karna sedari bayi aku sering mengedongnya dan sering mengahabiskan waktu bersama sama, Gus Ali tumbuh menjadi anak yang sangat lucu juga tampan sekaligus sangat cerdas, kenapa aku bisa bicara seperti itu, karna di usianya yang masih 3 tahun dia sudah banyak hafal surat surat pendek dan soal ketampananya tidak usah di ragukan lagi, karna kedua orang tuanya juga sangat rupawan di samping berahlaqul karimah. Sungguh melihat keluarga mereka rasanya aku juga suatu saat punya mimpi memiliki keluarga yang harmonis seperti mereka meskipun aku tidak pernah tau persis rasanya di cintai oleh seorang Ibu seperti apa, tapi jika di izinkan nanti tentu aku ingin menjadi seorang ibu yang baik untuk anak anak ku, dan mencurahkan semua cinta untuk mereka agar tidak merasakan hal yang serupa seperti ku.
"Mbak Lala Gendong.." ucap Gus Ali lagi sambil menarik rok yang ku pakai, ketika aku tidak langsung meraih tubuh kecil itu dalam dekapan ku.
"Enggak ahh, Mas Ali ngompol.." candaku dengan sedikit mundur dari tempatku..
"Mbak Lala nakal, Ali udah enggak ngompolan"
"Masak sih, kemarin dulu waktu Lala masih tidur bareng di ompolin.."
"Kemarin dulu, sudah lama, Ali sudah gede sekarang, sudah mau sekolah.."
"Iya,iya baik, sudah gede, tapi masih minta gendong.."
"Itu karna Ali kangen Mbak Lala." jawabnya dengan langsung menarik tangan ku untuk minta gendong belakang, aku hanya bisa tersenyum sambil jongkok untuk menggendongnya, lalu aku masuk ke dalam dengan santainya seperti biasanya saat memasuki Ndalem,
"Mbak Zilla, di tunggu Abi di ruang tamu" kata Ning Afiqah saat berpapasan di pintu..
"enggeh Ning, tapi tadi katanya di timbali Bunda, Ning.." jawab ku
"Iya, Bunda juga ada di sana, Mas Ali turun, kasihan Mbak Lala capek gendong sampean"
jawab Ning Afiqah..
"Mboten nopo nopo Ning," jawab ku
"Mbak Lala kan kuat, enggak kayak Kakak yang suka capek.." jawab Gus Ali dengan semakin mengeratkan pegangan tanganya di leherku..
"Ayo Mbak Lala.."
"Kemana, Mbak Lala mau ketemu sama Abi juga Bunda.." jawabku, sambil berjalan melanjutkan ke tempat tujuan ku yakni ruang tamu
"Mbak Lala tidur sama Ali hari ini ya.."
"Enggak bisa kan Mbak Lala sama Kakak sebentar lagi berangkat.."
"Kenapa setiap pulang cuma sebentar sebentar, enggak lama lama, jadi enggak bisa main sama Mbak Lala, enggak ada yang ngambilin jambu sama Asem lagi dari pohonya langsung, juga enggak ada yang nemenin mancing di sungai.." kata Gus Ali dengan mengabsen seluruh kegiatan kami sebelum aku belajar di Al-Ma'aly pusat, jiwa pecicilanku seakan ingin kembali meraskan berpetualang di pinggiran sungai menagkap ikan kecil kecil atau naik ke pohon Asem di tengah jalan tambak sampai di dahan yang paling ujung dan akan sangat memaju adrenalin ketika angin kencang tiba tiba meniupnya, dan tubuh kecil ku akan ikut melambai lambai bersama dengan ranting.
"Mas turun, biarkan Mbak Lala kemari.." kata Bunda Ikah begitu aku sampai di pintu ruang tamu, dan mata nakalku langsung tertuju seseorang yang tengah duduk di sebrang Gus Farid, dengan wajah di tekuk, dan juga beberapa kang Santri bagian keamanan.
"Bukanya kang Santri yang mau kabur tadi.." gumam ku sembari menurunkan Gus Ali dari gendongan ku dan dengan segera dia berlari ke arah Bunda Ikah..
"Mbak Zilla, kemarilah duduk di samping saya.." ucap Bunda Ikah.
"Enggah Bunda.." aku menuruti perkataan Bunda Ikah dan duduk di samping beliau dengan Gus Ali berada di pangkuan Abinya sekarang..
"Mbak Zilla, tadi bagaimana kejadianya.." tanya Gus Farid padaku dengan nada lembut tapi cukup tegas, aku diam sesaat memandang ke semua arah terutama ke arah Bunda Ikah..
"Ndak apa apa katakan saja.." kata Bunda Ikah
"Begini, tadi saya baru datang lewat pintu belakang dan kebetulan saya ketemu dengan Kang Santri itu di samping pintu, dengan membawa rensel dan kemudian sempat berdebat sedikit lalu saya lihat Kang Ikhsan langsung saya berteriak memanggil Kang Ikhsan.." ucapku dengan lancar dan aku tau pandangan mata Kang Santri yang mau kabur itu menghujam tajam ke arahku..
"Itu tidak benar jika saya ingin kabur, saya hanya hendak melihat lihat di belakang Pesantren.." jawab kang Santri baru itu
"Kalau enggak mau kabur kenapa bawa bawa tas segala.." jawab ku
"Zill.. rendahkan nada suara mu, dan turunkan pandangan mu, itu kurang bagus bagi perempuan.." ucap Bunda Ikah..
"Enggeh Bunda.." jawab ku dan langsung menundukan pandanganku serta mengunci rapat mulutku meskipun sangat ingin sekali aku duel dengan Kang Santri baru itu, yang sudah jelas jelas mau kabur tapi banyak alasan yang di kemukakan..
"Jadi Kang Huda, sebenarnya apa yang hendak sampean lakukan tadi.." tanya Gus Farid ketika semua sudah diam..
"Saya hanya ingin melihat lihat di luar Pesantren, sepertinya bagus sekali buat objek Foto, karna saya menyukai Fotografi.." jawabnya dengan lantang sembari tanganya membuka tas yang tadi dia bawa dan tampaklah beberapa tas kecil di dalamnya, aku sendiri tidak tahu apa isi dari tas kecil tersebut tapi ku lihat ke arah Gus Farid yang tersenyum tipis menandakan kelegaan.
"Kang Huda, tapi sampean tetap salah, karna hendak keluar tanpa pamit, juga membawa barang barang yang bukan kebutuhan di Pesantren.." ucap Gus Farid.
"Tapi saya menyukai Fotografi, katanya di Pesantren tidak menghalangi hobi dan justru akan mempermudahnya,.."
"Iya itu benar, jika sampean taat pada peraturan, sudah seminggu sampean disini saya belum pernah bertatap muka dengan sampean untuk menyetorkan hafalan, atau sekedar untuk Binadhor sehabis Isya', jadi untuk sementara peralatan Foto sampean saya sita sampai sampean hafal beberapa surah surah yang Kang Ikhsan tunjukan." ucap Gus Farid masih dengan nada lembut tapi tegas juga.
"Kenapa begini, ini tidak adil sekali, lalu apa hukuman buat dia.." katanya dengan menunjuk ke arahku..
"Kenapa aku.." jawabku dengan langsung meninggikan suaraku..
"Iya kamu, kamu juga dari luarkan.." jawabnya..
"Saya memang setiap ha.."
"Zill, sudah pergi sana siap siap, sekalian bilang sama Mbak Afiqah suruh siap siap kang Halim akan mengantar kalian sebentar lagi.." Potong Gus Farid dan langsung mamandang lurus ke arahku,
"Enggeh Bi.." jawabku dengan langsung melunakan suaraku, itulah aku yang akan meluank begitu sudah Bunda Ikah atau Gus Farid yang bicara, pada dasarnya suaraku lantang dan keras akan sulit aku kendalikan ketika sudah berhadapan dengan sesuatu yang mengusik ku, bahkan Bunda Ikah sudah sering sekali menasehati ku akan hal ini, "Jadilah wanita yang lembut, karna itu juga merupakan sebaik baiknya Ahlaq seorang wanita, jika kamu hanya berilmu tanpa berakhlaq, atau berahlaq tanpa berilmu itu seperti orang buta tanpa tongkat.." dan setiap ucapan Bunda Ikah akan selalu terpantri dalam dalam di hatiku, tapi dalam prakteknya itu sulit sekali, jangankan meniru sikap Bunda Ikah, untuk meniru sikap Ning Afiqah saja susah sekali, dan diam diam ketika sedang di depan cermin basar yang berada di sekolahan aku sering sekali belajar berdiri sambil berjalan seperti Ning Afiqah, atau menirukan gaya bicaranya yang lembut, tapi yang ada aku malah ngakak sendiri karna postur tubuhku yang persis kayak kuli, dengan lengan sedikit kekar dan kapal kapal di hampir semua permukaan tangan ku sungguh membuat aku tidak punya nyali untuk mengikuti gaya seorang Ning seperti Ning Afiqah.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Aku berjalan keluar dari ruang tamu setelah pamit dengan Bunda Ikah juga Gus Ali tentunya, dan tidak mau lagi mendengarkan apa yang di katakan oleh Kang Santri baru itu yang terus saja menyampaikan keberatanya akan penyitaan kameranya.
Dan dengan langkah santai aku menuju ke kamar yang aku tinggali dengan Ning Afiqah sedari kecil dulu, di Asrama samping Mushalla, sesampainya di sana aku melihat Ning Afiqah sudah beberes barang barangnya, dan aku hanya bisa tersenyum dengan mengaruk garuk kepalaku saja, memang Ning Afiqah adalah contoh yang sangat nyata bisa ku lihat dari keberhasilan Bunda Ikah mendidiknya, sangat mandiri dan tidak pernah meminta bantuan selagi dia bisa mengerjakan semuanya sendiri, meskipun dia adalah seorang Ning, yang biasanya cendrung apa apa menyuruh santrinya untuk mengerjakan pekerjaanya, bahkan di Al Ma'aly pusat dia tidak pernah merepotkan Santri lain untuk mengurusi pekerjaanya, atau menunjukan kekuasanya sabagai anggota keluarga Al Ma'aly, alih alih seperti itu justru dia lebih suka di kenal dengan Santri biasa tanpa embel embel Ning di depanya.
dan mungkin inilah yang di maksud dengan Bunda Ikah bahwa Ahlaq itu harus berada di atas Ilmu, karna ahlaqlah yang menjadikan manusia lebih beradap.
"Mbak Zill, sudah selesai.." ucap Ning Afiqah dan membuyarkan lamunan ku tentang dia.
"Enggeh Ning,.." jawab ku kikuk..
"Mbak Zilla selalu, sudah saya bilang jangan panggil pakai Ning juga,.."
"maaf Ning, ehh maaf Mbak Fika.." ucapku sambil menyambar tas usang ku yang juga pemberian Ning Afiqah tentunya.
ya tentu saja itu tas bekas Ning Afiqah, jika baru aku tidak mungkin mau menerimnya karna itu akan membuatku seperti pengemis yang hanya meminta minta, susungguhnya tanpa meminta Bunda Ikah sudah pasti akan dengan senang hati membelikanya untuk ku, tapi nyatanya Bunda Ikah juga sangat memahami sikap juga sifatku yang tidak mau di kasihani, atau tidak mau menerima apapun tanpa aku mengerjakan pekerjaan sebagai imbalanku, karna bagiku meskipun kemelaratan hidup yang kami jalani tidak akan membuat kami menjadi orang yang miskin hati, dan berjiwa peminta minta.
"Mbak Zilla sudah pamitan sekalian sama Mak Mar tadi.." tanya Ning Afiqah
"Sudah Mbak Fika, tadi Emak dapat Upah lebih, jadi bisa buatkan sambal kesukaan Mbak Fika,.." jawabku dengan menunjukan bungkusan kecil di plastik yang terletak di atas meja.
"Mak Mar selalu seperti itu, seharusnya uangnya bisa di tabung saja.."
"Itu kan cuma sambel teri mbak Fika, tidak akan sebanding dengan apa yang telah keluarga sampean berikan kepada kami untuk balas budi,.."
"Mbak Zilla, tidak ada balas budi di antara kita karna kita adalah sahabat, dan bagi saya dengan mbak Zilla selalu bersama saya itu sudah sangat kebahagiaan yang tak ternilai dari saya, karna telah banyak belajar dari sampean.." jawab Ning Afiqah dengan senyum yang sangat tulus..
"Trimakasih mbak Fika karna sudah menjadikan saya sebagai sahabat sampean.."
"Iya sama sama, ya sudah saya tak pamitan ke Abi juga Bunda, mbak Zilla tadi sudah pamit kan..??"
"Sudah Mbak Fika, nanti kalau saya masuk lagi Mas Ali rewel lagi.."
"Iya, Mas Ali adiknya Mbak Zilla bukan adik saya.." jawab Ning Afiqah sambil tersenyum sedikit lebar lalu mengangkat tasnya dan beranjak pergi.
"Mbak Zilla tunggu di depan saja nanti saya langsung ke depan.." lanjutnya setelah berada di pintu, lalu melangkah meninggalkan aku setelah mendapat jawaban dariku.
Setelah tak berapa lama aku juga ikut keluar dari kamar dan menuju ke depan untuk menunggu Ning Afiqah juga Kang Santri yang akan mengantar kami ke Al Ma'aly pusat. Sesampainya di depan tampak suasana lengang karna Kang Kang sedang berada di Mushalla untuk mengikuti kegiatan seperti biasa setelah seharian tadi libur, aku menendang nendang kerikil sambil berdendang seenak hatiku sendiri, karna jujur saja jika orang lain mendengar suaraku pasti akan pingsan di buatnya, karna sangking merdunya suaraku, alias kebalikanya dari itu, serak serak becek tanah liat lah pokoknya, bisa bayangkan sendiri kan..🤭🤭🤭🤭
"Auow..." triakku ketika dengan tiba tiba ada yang melempar ku dengan kerikil sebesar biji salak mengenai tepat kepalaku, sembari menggosok gosok kepalaku aku mencari sekeliling namun tidak ada orang, lalu aku tertawa sedikit keras karna membayangkan krikil yang aku tendang tadi mengenai diriku sendiri, lalu aku melanjutkan aktifitasku kembali dengan kembali bersenandung, tapi sudah tidak menendang batu lagi.
"Auow.." lagi lagi lemparan kerikil kecil mengenai kepalaku tapi juga punggung ku, kali ini aku sadar pasti ini kelakuan orang jahil kepadaku, maka dengan segera aku bergerak kesana kemari mencari kira kira dimana orang itu bersembunyi, dan pandangan ku tertuju pada teras kamar kang Santri dan benar saja disana dapat kulihat punggung seseorang yang tengah berjongkok..
"Woy..." teriak ku sembari mendorong punggung orang tersebut, dan karna sangking kagetnya dia sampai terjatuh
"Gubrak..." aku ngakak tak henti henti melihat dia yang sedang nyungsep, salah sendiri ngerjain aku, saat dia sudah bangun dan berbalik kearahku aku kaget di buatnya, lagi lagi kang santri baru itu tadi..
"Kamu tuh apa apaan sih, main dorong dorong aja.." katanya dengan nada marah..
"Bukanya situ yang cari gara gara duluan.." jawab ku tak mau kalah..
"Kenapa aku mesti cari gara gara sama kamu, kurang kerjaan banget, ketemu kamu aja sudah sial di tambah mesti cari gara gara sama kamu, dasar Keling.."
"Apa apa kamu bilang, sial, saya yang sial ketemu kamu, sudah enggak mau ngaku kalau salah malah ngatain orang lagi.. huh.." ucapku dengan sudah meninggikan suaraku, entah kenapa bertemu dengan orang ini dari tadi bawaanya mau emosi saja dan melupakan nasihat Bunda Ikah bahwa wanita itu harus lembut.
"Siapa yang ngatain, memang bener kamu Keling.." jawabnya dengan senyum jahat,
"Sudah sana pergi jauh jauh dari saya, enggak sudi di deketin sama orang kayak kamu." katanya lagi dengan mengibaskan tanganya mengusirku..
"Dasar otak udang,.."ucapku sambil berlalu dari hadapanya..
"Apa kamu bilang, aku cukup cerdas dengan otak ku dasar Keling.."
"Apa, segede gitu masih mau hafalan surah surah pendek, apa itu yang namanya cerdas.."
"Kayak kamu pinter aja.."
"Suka suka saya.." jawabku meniggalkannya namun belum sempat aku jauh, dia sudah melemparku dengan buku yang tadi dia pegang, dan sontak saja itu membuatku marah dan langsung mendatanginya lagi melempar buku tepat di mukanya dan pertengkaranpun tak dapat di elakan, dan membuat kegaduhan dengan suaraku yang meninggi di sertai dengan serangan yang membabi buta ke arahnya, hingga tak kami sadari sudah banyak Kang Santri yang melihat ke arah kami..
"Zilla...."
#####
Bersambung dulu yahhh..
see you, salam cinta dari Emak..
Love Love Love..
💖💖💖💖💖💖
By: Ariz kopi
@maydina862
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Firchim04
Hai author, aku datang membawa like dan rate5 😊
Jangan lupa mampir juga di karyaku ya
"Dosenku Sahabatku"
"Suamiku Adik Kelasku"
2020-09-13
1
Agus sulastri
jiwa pecicilan ku meronta2 kaya zilla....😂😂
2020-06-26
2
Erna Sanusi
keren zila,,, hayoooo lawan ajah,,, 😀😀😀
keren2 kamu Zill
2020-06-12
1