Happy Reading...
💖💖💖💖💖💖
Setiap apa yang tertinggal itu akan menjadi kenangan, dan masa masa Khotmil pun juga sudah menjadi kenangan yang tertinggal beberapa bulan lalu, tapi setiap aku menatap foto berbingkai indah di sudut ruangan yang sebenarnya tidaklah begitu pantas untuk meletakanya, hatiku membuncah bahagia, karna saat melihat foto ku dengan Mbak Fika yang tengah tertawa lepas senyumanpun akan tersungging di bibirku, ya itu untuk pertama kali kami bersanda gurau dengan Anoman yang tengah mengambil foto kami berdua dan mencandai kami yang tidak bisa bergaya di depan kamera, dan baru aku tahu ternyata dia tidak semenyebalkan dari pikiran ku sebelumnya.
Dia yang biasanya sangat selengekan, dan berbicara seenak dia, nyatanya di depan Gus Farid beserta keluarga dapat bersikap kebalikanya sekaligus juga sangat sopan, dan kalimat kalimat lembut yang keluar seolah sudah ditata rapi olehnya, sebenarnya aku tidak perlu heran juga, jika mengingat dia berasal dari Jawa Tengah sudah barang tentu secara logika saja memang bahasanya sedikit lebih halus daripada kami yang berada di Jawa timur, terutama daerah ku yakni Banyuwangi, yang mempunyai bahasa tersendiri yakni bahasa Oseng, dan cendurung cepat juga sekaligus lantang dalam pengucapanya.
Dan Bross dari Kang Huda juga masih senantiasa aku simpan dan jarang sekali aku pakai, karna menurutku itu sungguh sangat tidak cocok dengan ku terlebih setelah tau Filosofi dari Bunda Ikah waktu itu, aku justru menyimpannya dengan baik, takut nanti jika dia meminta sesuatu yang tidak bisa aku penuhi, maka aku tinggal menggembalikan kepadanya dengan keadaan yang masih bagus.
Aku yang kini tengah berdiri di tepian pantai membiarkan kaki ku yang telanjang di jilat air laut yang silih berganti datang seperti tidak ada lelah terus berkejaran, debur suara ombak yang menghantam karang juga seolah ikut andil dalam melengkapi keindahan pantai selatan yang berpasir hitam kelam ini, terulas senyum tipis saat aku mengingat kejadian beberapa tahun silam, tepatnya 7 tahun yang lalu, saat pertama kalinya aku bertemu dengan Mas Hafidz.
Saat itu aku masih berusia 8 tahun begitupun dengan dia, saat anak anak kecil masih asik bermain dengan mainan mereka justru aku telah menjalani peranan sebagai wayang yang maha kuasa, bagaimana tidak, ketika yang lain mencari kerang untuk sekedar bersenang senang saja aku justru sebaliknya, melupakan senang senang hanya untuk mencari sesuap nasi hangat dari laut yang tengah surut ini.
Masih ku ingat jelas waktu itu seorang anak laki laki datang menghampiriku yang tengah berjongkok sambil mengais ngais di bebatuan karang, dengan senyum manis dia datang menayai ku, suara lembutnya begitu renyah menyentuh gendang telingaku, pipinya yang putih bersih sedikit bersemu merah karna kepanasan,sementara keringat sebesar biji biji jagung terus merembes keluar dari kepalanya yang tertutup peci hitam.
"Apa yang kamu lakukan.." tanyanya..
"Mencari kerang,.." jawab ku singkat lalu kembali fokus dengan pekerjaan ku..
"Aku sudah lihat sampean dari tadi disini,.." katanya lagi..
"Bukan kah ini sangat panas..?" lanjutnya..
"Tidak apa apa, aku sudah terbiasa.." jawab ku sambil terus membenarkan rambutku yang ku biarkan tergerai, rambut merah khas anak pinggiran pantai tentunya..
"Kenapa kamu tidak mengikat rambutmu.." tanya nya lagi, sepertinya dia benar benar memperhatikan aku dari tadi buktinya sampai rambut saja dia komentari..
"Dari pada banyak omong, kenapa sih enggak bantu saja.." celetuk ku begitu saja sembari menghadiahinya sebuah tatapan jengkel tentunya karna terus mengganggu ku..
"Maaf, aku harus segera pergi karna aku sudah pergi dari tadi, takut nanti di cari kemana mana.." jawabnya dengan nada seperti menyesal..
"Ya sudah sana, cepetan pergi menganggu saja.." jawab ku tanpa memperhatikanya..
"Tapi aku janji besok akan membantu sampean.." katanya kemudian
"Iya,kalau aku besok kesini.." jawab ku
"Ya sampai kita bertemu kembali disini.." jawabnya lalu beranjak pergi meninggalkan aku, ku tatap punggungnya yang kurus itu,
"Siapa juga kamu,." gumamaku pelan lalu kembali mengais bebatuan karang, hingga matahari tergelincir aku masih senantiasa disana.
Keesokanya aku tidak mencari kerang, melainkan sedang mencari buah Asem karna Emak ada pesanan dari seorang tetangga, maka dengan senang hati aku ikut Emak mencari buah Asam,tentu saja tanpa di suruh oleh Emak aku langsung memanjat pohon Asem itu dan tak butuh waktu lama aku sudah berada di atas pohon, juga besoknya lagi aku tidak pernah lagi datang ke Pantai karna sedang pasang jadi aku memilih untuk melakukan pekerjaan lain yakni berjualan es Lilin keliling kampung, hingga saat ahir bulan penanggalan jawa baru aku kembali lagi kesana, ya biasanya laut akan surut setiap tanggal awal, tengah dan ahir dari penanggalan jawa, berarti sekitar 15 hari yang lalu lah aku berada disana.
Langkah kecilku kembali ku ayunkan menuju pesisir yang tengah surut, dan setibanya disana dengan menggunakan peralatan seadanya aku kembali mengais bebatuan karang untuk mencari rizki di bawah terik matahari, tidak perduli peluh ku bercucuran, tidak perduli kram di kaki karna terus berjongkok karna itu tidak berarti sama sekali buatku, karna kerasnya kehidupan sedari aku masih balita sudah aku rasakan.
Entah sudah berapa lama aku disini, tangan kecil ku terus sibuk menyibak dan memungut kerang yang bersembunyi di balik bebatuan karang, dan sesekali aku mengusap peluh yang bercucuran serta mengibaskan rambut sebahuku ke belakang, saat aku rasa tiba tiba matahari menggelap aku baru mengangkat kepalaku untuk menoleh, tapi ternyata bukan awan yang menyembunyikan matahari dari ku melainkan anak laki laki yang tengah berdiri menjulang, yang beberapa hari lalu ku temui di tempat ini.
Senyumnya masih sama seperti kemarin, ramah dan hangat, dan pipinya juga masih sama kemerah merahan karna kepanasan, jelas terlihat bahwa dia berasal dari keluarga yang mampu dan bukan orang sini tentunya, karna anak anak asli sini paling tidak memiliki ciri rambut serta kulit seperti ku meski kulitnya tidak sehitam diriku, khas pesisir.
"Pakailah.." katanya, sambil mengulurkan sebuah ikat rambut yang sangat lucu.
"Tidak trimakasih.." jawab ku setelah memandangnya cukup lama.
"Pakai saja, nanti akan ku bantu sesuadahnya.." jawabnya dengan masih menghalangi sinar matahari jatuh kepadaku.
"Sini.." kataku lalu mengambil ikat rambut darinya dan menali rambutku dengan itu.
"Trimakasih ya.." lanjutku cuek dan kembali melakukan aktifitasku lagi.
"Yang di cari seperti apa.." ucapnya yang sudah ikut berjongkok di sampingku.
"Yang seperti ini.." jawab ku sambil menunjukan kepadanya..
"Ohh iya,.." jawabnya, kemudian kami saling diam sibuk dengan pekerjaan kami, hingga air laut yang sudah mulai naik membuat kami harus menyudahi pencarian kerang untuk hari ini.
Saat sudah cukup istirahat, kami sepakat untuk pulang ke rumah masing masing, sebagai ucapan trimakasih karna sudah membantu ku mencari kerang ku berikan dia sedikit kerang untuk di masaknya nanti di rumah, jalan kami yang tidak searah membuat kami harus berpisah di persimpangan jalan tambak yang membentang, kami sama sama berbalik menuju arah tujuan kami masing masing dan langkah ku kembali terhenti saat dia kembali berlari menyusul ke arah ku sambil terengah engah .
"Namaku Hafidz.." katanya setelah bisa bernafas dengan benar..
"Aku Zilla.." jawab ku..
"Nama yang bagus, Zilla,.." jawabnya lalu langsung berbalik dan berlari meninggalkan aku yang masih terus memandangnya hingga tak terlihat dari pandangan ku, dan sesudahnya itu kami sering bertemu di pantai saat pantai tengah surut dan karna dia juga aku mengenal keluarga Gus Farid dan menjadi teman dekat dari Mbak Afiqah hingga kini..
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Senyum kecil masih senantiasa menghiasi bibirku saat mengingat itu semua, dan sudah dua hari yang lalu Mas Hafidz kembali dari Pesanten untuk liburan sama seperti ku saat ini, setidaknya itu yang aku dengar dari Mbak Fika. Untuk itulah aku berdiri disini di tempat untuk pertama kalinya kami bertemu meski pantai sedang tidak surut, karna begitu banyak kenangan yang tidak bisa aku hapus disini, karna di tempat inilah untuk pertama kalinya aku memiliki teman.
Dengan menggengam erat ikat rambut pemberianya setahun lalu aku masih senantiasa membiarkan air laut menjilati kaki ku, membiarkanya memberikan rasa perih di bekas goresan goresan kecil karna pekerjaan keras ku.
Aku tidak tahu apa alasanya Mas Hafidz suka sekali memberikan ku ikat rambut, meski sudah selama tiga tahun aku tidak pernah lagi memperlihatkan mahkotaku kepada orang yang bukan mahram ku, tapi sepertinya itu menjadi kesenangan tersendiri jika memberikan ikat rambut kepadaku, dan sudah tidak dapat ku hitung berapa banyak ikat rambut yang sudah di berikanya untuk ku selama 7 tahun ini.
Aku hendak beranjak dari tempat itu saat ku rasa sudah cukup untuk ku, mengingatkan hatiku soal Mas Hafidz..
"Benar kata Emak,hati ini akan terlalu jahat jika menginginkan yang lebih.." gumamaku pelan, lalu berbalik meninggalkan pesisir pantai dengan senyum yang masih tertahan di bibirku, perlahan dan pasti ayunan langkah ku menyusuri tambak untuk sampai di Pesantren Gus Farid, saat melintas di pohon Asem ternyata aku juga merindukan sikap Anoman yang suka sekali menjahili ku, dan semua berjalan begitu saja jika bersamanya, tanpa ada sekat seperti aku dengan Mas Hafidz, sekat itu makin terlihat bercelah saat aku sudah semakin sadar dengan keadaan ku yang bukan apa apa, dan kembali mengingatkan hatiku bahwa kami hanya teman kecil.
Apa setiap suka itu harus di identikan dengan debaran di dada, seperti aku yang berdebar saat pertama kalinya melihat Kak Galang, tapi rasa kagum untuk Mas Hafidz jauh lebih dari debaran yang aku rasa untuk Kak Galang, rasa ini sudah aku sadari jauh sebelum aku bertemu dengan Kak Galang, rasa itu begitu aku nikmati sebagai seorang sahabat sedari kecil untuknya, hingga hati yang begitu bodoh ini meningkatkanya setahap lebih tinggi dari seharusnya, dan dengan susah payah aku harus menginjak tunas rasa itu agar jangan sampai tumbuh dengan subur dan membuatku harus terjebak dengan sesuatu yang tidak bisa untuk ku masuki suatu saat nanti, lagi lagi aku harus mengingatkan bahwa dia hanya teman kecil ku saja.
Dan berlahan Anoman memasuki kehidupan ku sebagai teman baru yang menyita seluruh pikiranku, dengan sikapnya yang jahil namun juga sering membantuku dia memberi warna baru untuk pertemanan di usiaku yang tengah memasuki puber dan memberi nama lain yang di sebut kagum dengan lawan jenis, sebelumnya aku tidak pernah berfikir ke arah situ hanya saja pada saat beberapa waktu lalu Mbak Fika yang membicarkanya membuatku sedikit memikirkanya..
"Senyum kang Huda itu manis banget ya Mbak Zill.." kata Mbak Fika beberapa waktu lalu saat kami bersiap siap hendak tidur, waktu itu tanpa sengaja kami berpapasan dengan Anoman di depan Asrama pas baru sampai dari Al-Ma'aly pusat, dia melempar senyum ke arah kami dan juga menyapa kami berdua.
"Apa iya sih Mbak Fika.." jawab ku, namun sebenarnya aku juga heran kenapa Mbak Fika membahas soal Anoman.
"Bukankah Kang Huda PSG ya bulan depan..?" kata Mbak Fika, entah itu bertanya atau memberi tahuku, dan aku semakin di buat bingung dengan Mbak Fika..
"Enggak tahu Mbak Fika.." jawabku karna memang aku tidak faham dengan itu semua.
"Biasanya gitu Mbak Zill.." kata Mbak Fika lagi dan banyak lagi yang kita bahas sesudahnya,
Semenjak saat itulah, mau tidak mau aku sering memperhatikan Anoman, dan ahirnya aku harus mengakui memang benar ucapan Mbak Fika senyum Anoman memang manis dan kenapa juga aku harus sering terjebak denganya bahkan menghabiskan waktu denganya saat sedang pulang, dan baru kali ini liburan panjang ku akan ku lewati tanpa ada Anoman di sekitarku yang ternyata baru kusadari bahwa hidup ku sepi tanpa ada dia yang menjahiliku.
Ku hela nafas dalam lalu melanjutkan langkah ku menuju tujuan ku tadi, sungguh masa remaja yang sulit sekali, tapi semua akan hilang begitu saja saat aku kembali ke gubuk tua ku, kerasnya hidup ku dengan Emak harus rela mengubur semua hasrat tentang indahnya masa masa remaja, indahnya menyimpan rasa untuk lawan jenis atau seperti mereka yang berkucukupan, semua pikiran tentang itu akan lenyap saat wajah kriput itu di penuhi oleh peluh, tanganya yang sudah tidak secekatan dulu itu kembali membalik ikan Asin demi dapur yang harus terus mengepul, cukup sadarkan diri bahwa semua itu hanya angan angan, seperti cita cita ku untuk menjadi pengacara yang tak pernah terlahir kepada siapapun karna aku sadar betul itu hanya akan menjadi cita cita yang mengantung di udara tanpa bisa aku meraihnya karna aku tidak punya sayap untuk terbang meraihnya.
Tidak terasa pikiran gila itu membawa langkah ku semakin mendekat ke tempat tujuan ku, di ujung jalan sana sudah ku lihat benteng tinggi menjulang dengan pintu kecil yang tengah terbuka di salah satu sisinya, ku percepat langakah ku agar segara sampai kesana supaya pikiran liar ini segera hilang dan mengantikanya dengan kalam kalam Ilahi.
"Lala... apa kabar..?" sapa sebuah suara sesaat setalah kaki ku baru menapak di balik benteng tinggi, tanpa aku memandanganya sudah dapat ku ketahui suara milik siapa itu yang berada di depanku, dan senyum itu kini berubah semakin hangat dan berwibawa selayaknya nasab yang tersemat padanya, dan semakin jauh dari jangkauan ku tentunya..
Bersambung..
####
Membingungkan..
Seperti diriku yang tengah bingung,
bingung karna habis holiday bukanya happy malah Galau di buat Zilla..🤭🤭🤭
Masih selalu nunggu untuk Like, Coment dan Votenya yah...
Love Love Love...
💖💖💖💖💖💖
By: Ariz kopi
@maydina862
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Daffodil Koltim
aya2 wae,,,,ikut alur yg dbuat emak,,,blum berani mnafsirkn apa2😂😂😂😂💪💪💪💪
2021-01-30
1
Umi Nadia Azza
yg nulis aja bingung apa lg yg baca 😄
ngikut aja kita mah 😊
semangat mak 💪💪
2020-07-08
1
Mamah Syifa
Pasti bingung karena gatel mb Faiq,
pen di garukin 🤭
2020-07-06
1