Cciiiiiiiiiiiiitttt brakk!!
"Kayla......!" Teriakan memilukan dari Aisyah seketika membuat waktu berhenti.
"Kayla."
El juga ikut memanggil, ia berlari lebih dulu mendekati Kayla, meraih tubuh mungil yang sudah berlumuran darah.
"Kayla!" panggil El lagi, suaranya bergetar dan terlihat sangat khawatir.
"Aunty." gumamnya pelan, matanya menutup, tubuhnya lunglai tak bergerak.
"Kayla bangun Nak! Ini Mama." teriak Aisyah yang juga memeluk Kayla.
Meraihnya dari pangkuan El dan menggoyang-goyangkan tubuh kecil Kayla.
"Kayla.....!!" Aisyah menjerit, dan menangis meraung-raung di atas dada yang nyaris tak terdengar nafasnya.
"Bawa ke klinik Pak." seseorang pejalan kaki menyarankan klinik terdekat.
Aisyah tak peduli dengan Laura yang juga terduduk lemas di hadapan mereka, wajahnya pucat dengan mulut terbuka. Tak menyangka akan menjadi seperti ini.
El mengangkat tubuh mungil Kayla segera menuju klinik terdekat.
"Dokter!" teriak Aisyah sambil menangis pilu, memanggil dokter agar segera menolong Kayla.
"Baringkan pak." perintah dokter segera membuka ruangan di depan mereka.
El membaringkan tubuh Kayla dengan hati-hati.
"Silahkan tunggu di luar saja." perintah suster kepada Aisyah dan El.
"Tapi Sus!" Aisyah enggan menjauh, terlebih lagi Kayla terlihat tak bergerak dengan luka yang sangat parah di bagian kepala.
"Agar dokter bisa mengobati putri anda, kami butuh konsentrasi agar bisa melakukan yang terbaik." usir suster itu lagi, meminta keduanya segera keluar.
El meraih bahu Aisyah dan mengajaknya keluar, mau tak mau tapi Dokter harus segera menangani Kayla.
"Aku takut El!" ucap Aisyah bergetar, tangannya bertaut gugup dan takut.
"Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja." El memeluk Aisyah sejenak, memberi ketenangan pada wanita itu.
"Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Kayla?" racaunya masih bergetar.
"Jangan berpikiran yang buruk, bayangkan saja jika dia akan baik-baik saja." El kembali menenangkan Aisyah.
Sementara di luar klinik tersebut, Laura berdiri dengan tak kalah khawatir. Mata kecoklatan miliknya terlihat membanjir dengan wajah pucat ketakutan.
"Non." suara Bibi membuat Laura menoleh, berhenti sejenak memandangi punggung Aisyah di dalam sana.
"Aku khawatir Bi, itu terjadi karena aku." ucap Laura menautkan tangannya sendiri.
"Kalau begitu kita masuk saja." usul Bibi yang tidak tau bagaimana masalah sebenarnya.
Lama berpikir hingga di dalam sana tampak ramai, tapi bukan tawa melainkan tangisan Aisyah yang tak terkendali.
"Aisyah."
Laura berlari masuk menuju ruangan Kayla, nafasnya memburu khawatir bercampur aduk. Perasaannya mengatakan jika sesuatu yang buruk sudah terjadi.
Benar saja, di dalam sana Aisyah sedang meraung-raung menangisi Kayla yang terbaring tak bergerak di kelilingi Dokter dan suster yang menunduk sedih.
Laura menerobos masuk dan mendekati Aisyah, memegang kaki Kayla dengan dadanya bergetar menahan tangis. "Maafkan Aunty." lirihnya di sela tangisan yang lebih di dominan suara Aisyah.
Lama Dokter membiarkan Aisyah menangisi kepergian putrinya, kemudian melonggarkan pelukan eratnya terhadap putri kecil kesayangan.
"Aku akan membawanya pulang." ucapnya pelan, air matanya masih mengalir begitu deras.
"Baik Nyonya." Dokter meminta suster menyiapkan kepulangan Kayla.
"Tunggu Dok, aku ingin memeluknya." ucap Laura.
"Jangan sentuh anakku! Pergilah dan jangan perlihatkan lagi wajahmu di hadapanku." geram Aisyah menepis tangan Laura.
"Aisyah."
"Pergi! Bila perlu kau mati saja." desis Aisyah pada Laura. Sorot mata yang biasanya lembut kini nanar seperti ingin membunuh.
"Ay, aku,, aku minta maaf." tangis Laura memohon pada Aisyah.
"Pergi kataku! Kau memang tak layak hadir dalam hidupku. Kau merampas kebahagiaan putriku, dan sekarang nyawanya." marah Aisyah dengan air mata menghangat di wajahnya.
"Nyonya sebaiknya kalian keluar." ucap Dokter melerai perdebatan kedua wanita tersebut.
"Baik dok." jawab El yang sejak tadi lemas menatap Kayla.
Pria itu meraih bahu Aisyah, seperti biasa akan menenangkan dan mengajaknya keluar.
"Jangan sentuh aku!" Aisyah menepis tangan El dan menatapnya penuh kebencian.
"Ay."
"Kalian sama saja, kalianlah penyebab putriku pergi. Jika kau tak membuatnya hamil, dia tidak akan datang kemari." Aisyah menunjuk Laura.
"Aisyah, jangan seperti itu. Ayo kita keluar." El kembali membujuk Aisyah.
"Aku tidak mau, aku ingin bersama putriku!" teriak Aisyah membuat keadaan semakin kacau.
"Pak sebaik mungkin anda keluar, anda juga." Seorang perawat laki-laki meminta El dan Laura meninggalkan ruangan tersebut.
"Tapi_" El tak ingin meninggalkan Aisyah.
"Silahkan Pak." ulangnya lagi mengantar hingga menutup pintu ruangan tersebut.
"Kayla." ucap Laura menangis sambil meraba pintu ruangan rawat tersebut.
'Andaikan saja aku tidak egois, Kayla pasti masih ada.'
Gadis berusia 26 tahun itu lemas hingga merosot tubuhnya di depan pintu ruangan itu. Air matanya tak bisa berhenti meratapi kehidupan yang sedang bermain-main dengan nasibnya. Hamil di luar nikah, ditinggalkan Dimitri, dibenci Adinata sekarang Aisyah. Dan parahnya lagi, Kayla pergi karena ingin menyusul dirinya.
"Dimana cucuku?" suara Adinata membuat El menoleh dari kebingungan atas semua yang terjadi.
"Ada di dalam." jawab El menunjuk pintu, yang di depannya ada Laura sedang duduk bersimpuh.
Adinata masuk tanpa peduli siapapun, hingga di dalam sana kembali terdengar tangis dan kesedihan yang begitu menyayat hati.
Sejenak setelah itu, Adinata keluar bersama Aisyah, juga para medis yang membawa jenazah Kayla.
El beranjak mengikuti namun kemudian Adinata melarangnya.
"Mulai sekarang, jauhi putriku dan selesaikan segera urusanmu agar tidak lagi merembet pada putriku. Antara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa." tegas Adinata sedikit meninggikan suaranya agar di dengar Laura.
"Tapi Paman."
"Kau bisa membantah jika itu urusan bisnis, tapi tidak dengan putriku. Aku tidak mengizinkan kau juga siapapun diantara kalian untuk bertemu dengannya."
Adinata membawa Aisyah masuk bersama rombongan lain menuju rumah mereka.
Sungguh El tak bisa berkata apa-apa, juga Laura kini duduk lemas dengan tangisan masih terdengar.
"Kita pulang ya Non." ucap Bibi pelan mengusap bahu Laura.
"Aku ingin melihat keponakanku Bi." ucapnya masih tersedu-sedu.
"Keadaannya sedang panas, itu hanya akan menyakiti hati Non Laura." bujuk Bibi lagi.
Laura masih tak mau beranjak duduk di lantai dan bersandar di tiang klinik tersebut.
"Non sedang hamil, terlalu bersedih tidak baik untuk yang di dalam sana." Bibi mengusap punggung Laura.
Mendengar ucapan Bibi membuat El menoleh. Tak hanya Aisyah yang sedang terpukul, tapi wanita yang sedang mengandung anaknya juga sedang bersedih.
"Aku antar pulang." Ucap El menatap wajah Laura sembab dan sendu.
Laura mendongak pria tersebut. Benci tapi tak se-benci itu.
Laura beranjak bertumpu kepada Bibi, lalu berjalan melewati El yang berdiri di hadapannya.
"Keras kepala." gumam El merapatkan giginya.
Pria itu enggan untuk membujuk, apalagi harus sampai merayu. Membiarkan wanita itu berlalu dengan taksi yang kini sudah menjauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments