"Tentu saja kita akan ke sana, kau dan aku." Dimitri berbicara di atas wajah cantik Laura, itu sungguh terlihat sangat mesra.
Entahlah, mendadak ruangan ber-AC itu menjadi panas. El membuka satu kancing kemeja bagian atas, mengembus-hembuskan nafasnya sembarangan.
"Are you ok?" Dokter Dimitri bertanya kepada laki-laki yang dia tidak tahu namanya.
"Ya!" jawab Eliezer cepat, dia tidak menyukai suasana seperti ini.
Beruntung tak begitu lama Aisyah keluar dari dapur, wajahnya selalu berseri dengan senyum mengembang.
"El?" Aisyah mendekati mereka semua.
"Sayang." Eliezer berdiri meminta Aisyah duduk di dekatnya.
Aisyah memang mendekat, tapi berbeda kursi agar tidak terlalu menempel dengan El, dia selalu membatasi kedekatannya dengan El, mengingat pria itu adalah orang yang berpengalaman dalam hal bercinta, juga status Aisyah yang sudah pernah menikah, kemesraan dan kehangatan tak asing bagi keduanya. Hanya, tak semua hubungan bisa di mulai dengan cara seperti itu, Aisyah selalu mengingatkan diri sendiri, bahwa yang menikah saja bisa berpisah, apalagi yang hanya sekedar dekat. Rugi sekali jika hanya memperbanyak kenangan yang kemudian akan menjadi penyesalan.
"Kak Dimitri silahkan makan bersama Kakak, makanannya sudah siap." ucap Aisyah.
"Apa tidak sebaiknya kita makan bersama?" Dimitri melirik El juga.
"Oh, aku sudah sarapan. Silahkan kalian saja." Eliezer menjawab dengan tersenyum, walau sedikit memaksa.
"Baiklah, aku harus menemani calon istriku, dia sedang tidak nafsu makan. Jika sudah menikah maka aku akan menganggapnya sedang mengandung." Dimitri menggoda Laura.
Namun menjadi petir yang terdengar mendadak bagi Laura.
'Jangan sampai Dimitri curiga pada dirinya.'
Pria itu! Laura menoleh dengan wajah memucat, tenggorokannya kering dan jantungnya berdegup keras.
"Ayo Sayang." Dimitri merangkul Laura menuju dapur, dia ingin segera makan bersama kekasihnya.
"El?" Aisyah melihat wajah Eliezer yang juga menjadi tegang, matanya yang hitam pekat itu tertuju pada satu titik tapi tak tau apa yang membuatnya begitu.
"Hem." Eliezer menoleh Aisyah, mendadak CEO tampan itu gugup tanpa diketahui apa sebabnya.
"Memikirkan apa El?" tanya Aisyah lagi.
"Tidak ada Sayang." jawab Eliezer cepat, pria itu meraih tangan Aisyah dan menggenggamnya erat.
"Kau terlihat aneh hari ini, apakah ada hubungannya dengan Ibumu?" Aisyah hanya asal menebak, jujur saja dia tidak pernah melihat seorang Eliezer gugup apalagi khawatir akan sesuatu, hidupnya selalu baik-baik saja walaupun terkadang harus berurusan dengan wanita yang pernah tidur dengannya, mengejar dan ingin mendapatkan El sepenuhnya, ia tak pernah peduli. Tapi sepertinya berbeda kali ini.
"Tidak Sayang, hanya tak sengaja melupakan sesuatu." El tersenyum manis sekali.
Beberapa hari berikutnya seperti biasa El lebih sering datangnya ke rumah Aisyah, selain karena dia rindu sosok yang anggun itu, ketakutan atas kehamilan Laura membuat El tak bisa tidur.
...ΩΩΩ...
"Kau mau kemana?" Eliezer menatap Aisyah yang sudah berpakaian rapi di pagi itu.
"Aku ada keperluan lain bersama Papa, sebentar lagi dia akan menjemput."
"Padahal aku ingin sarapan bersamamu pagi ini." El mengangkat bag paper yang ada ditangannya.
"Maaf El." Aisyah berkata lembut. "Tapi kau bisa sarapan bersama Kakak, dia ada di dalam bersama Kayla. Mereka ada di meja makan, belum memulai sarapan." Aisyah memegang lengan Eliezer, membawanya menuju meja makan.
"Paman." suara anak perempuan itu langsung memanggilnya.
"Sayang." Eliezer langsung memeluk dan mencium pipi lembut Kayla, tak peduli jika Laura membuang muka.
"Aku harus pergi, jadi silahkan kalian sarapan bersama." Aisyah melonggarkan kursi untuk El duduk, sedikit melirik Laura yang tiba-tiba tak nyaman.
"Baiklah, hati-hati." Eliezer tersenyum penuh kasih sayang, dia selalu menyukai suasana saat makan bersama Kayla.
"Ya, Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam Mama." suara Kayla terdengar lebih melengking.
"Paman membawa pizza untukmu." Eliezer mengeluarkan makanan dari bag yang di bawanya.
"Wow, Kayla suka!" anak perempuan yang cantik, pintar dan menyenangkan seperti ibunya, Eliezer menyukai itu.
Mereka berdua sibuk dengan sarapan yang tergolong banyak, kompak sekali calon ayah dan anak itu makan dengan sesekali saling menatap dan melanjutkan makan. Laura sampai heran dengan hubungan keduanya, tampak serasi sekali, ternyata El yang menyebalkan bisa hangat kepada anak-anak.
"Aunty tidak makan?" tanya Kayla membuyarkan lamunan Laura.
"Oh." Laura sedikit salah tingkah.
Eliezer merasa jika Laura juga menyukai makanan yang sedang mereka makan bersama Kayla. Meraih satu kotak lagi lalu memberikannya kepada Laura.
"Tidak terimakasih." Laura membuang muka.
"Makanlah, lagipula adikmu mengatakan jika kau sedang tidak suka makan." Eliezer terus saja memasukkan makanan ke dalam mulutnya, sengaja membuat Laura semakin menelan ludah.
"Aku sudah selesai." Laura beranjak meninggalkan meja makan, berjalan menuju kamarnya.
Eliezer menghentikan aksi sarapan berlebihannya, kemudian ikut beranjak menyusul Laura.
"Paman mau kemana?" Kayla masih mengunyah.
"Kau di sini saja, Paman harus minta maaf dengan Aunty mu." Eliezer mengusap kepala Kayla, kemudian mengejar Laura menuju kamarnya.
"Laura!" El memanggil gadis yang tak menoleh sama sekali.
Laura membuka pintu kamarnya kemudian kembali menutup, tapi El mendorongnya lebih kuat.
"Kau mau apa?" Laura terlihat takut, sorot matanya memperlihatkan bahwa dirinya sedang terancam.
"Aku hanya ingin bicara sesuatu?" ucap El dingin, tangannya tetap menahan pintu kamar Laura.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Pergilah!" Laura kembali menekan pintu sekuat tenaga.
"Jika kau hamil, artinya itu adalah anakku." El menatap tajam Laura.
Laura tak mau menatap El, tangannya sedikit gemetar dan gugup.
"Kurasa tak mungkin kekasihmu mau menerimamu jika kau sedang mengandung anakku." jelas Reza lagi.
"Kau yakin sekali, bagaimana jika kami juga melakukannya. Aku lebih memilih dia daripada dirimu." geram Laura tak mau kalah.
"Hem, aku tidak yakin dokter lemah lembut seperti itu bisa membuatmu hamil dalam waktu dekat. Jadi dapat ku pastikan itu adalah anakku." El tersenyum sinis.
"Sebaiknya kau keluar, KELUAR!" pekik Laura tertahan karena takut ada yang mendengar.
"Aku ingin kau segera pergi dari sini sebelum Aisyah tahu semuanya Laura. Ingat dia adikmu dan dia kekasihku. Jadi aku mohon kau mengerti!" El berucap dengan sedikit lembut tapi memberikan tekanan kepada Laura.
"Aku juga tak mungkin menyakiti hati adikku, tapi_"
"Kau lakukan saja perintahku, sebelum aku mendengar persetujuan mu, kau tidak akan bisa lolos." El sedikit mengancam.
"Kau jahat sekali. Tidak kah kau memikirkan perasaan Aisyah sedikit saja?" Laura sudah tidak bisa menahan air matanya.
"Tentu saja aku memikirkannya, aku tidak mau kehilangan Aisyah!"
El berlalu dari kamar Laura, tak peduli dengan tangisan pilu gadis itu.
Laura hanya bisa menangis sambil mengelus perutnya yang masih rata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments