Lamaran

"Sudah ku katakan aku tidak sedang bunuh diri, aku hanya jalan-jalan. Kau lihat aku tidak sedang menangis!" Kesal Laura tak juga bisa melepaskan diri dari Eliezer.

Pria itu tampak berpikir, sejenak ia memandangi wajah Laura yang sedang marah padanya.

"Lepaskan tanganmu." pinta Laura lagi.

"Baiklah." jawabnya setelah menarik nafas yang cukup dalam, melepaskan pelukannya terhadap Laura.

"Bilang saja sedang mencari kesempatan." umpatnya berdiri meninggalkan Eliezer.

"Aku mendengarnya!" El juga berdiri lalu membersihkan kotoran yang menempel di jas dan celananya.

"Memang kau harus mendengarnya." kesal Laura melangkah ke ujung jembatan.

"Tunggu!" El ikut melangkah cepat, sepertinya ia butuh bicara dengan Laura.

Laura tak menoleh. Setelah hal rumit yang baru satu bulan berlalu, rasanya enggan berbicara tentang mereka, walau rasanya memang Laura membutuhkan El saat ini. Terlebih lagi perutnya yang mulai berisi.

"Laura."

Panggilan yang lebih lembut dari biasanya. Apakah ada yang berubah setelah beberapa waktu berlalu?

El menghadang langkah Laura, menatap wajah wanita yang sedikit lebih berisi, tak lagi pucat dan lemas. Ada rasa bersalah karena membiarkan dia mengalami semuanya sendiri.

"Apa yang harus kita bicarakan?" jawab Laura juga tidak dengan emosi seperti biasa namun membuang pandangannya.

"Kita harus menikah."

Mendadak wajah pria itu lebih menarik daripada hamparan bunga di bawah sana. Ucapan yang membuat Laura menahan nafas.

"Dia harus punya ayah." tambah El melirik perut Laura.

Setelah menarik nafas yang berat, Laura memilih duduk di tengah jembatan wisata tersebut, tampaknya ajakan ingin menikah menjadi kekhawatiran sendiri bagi Laura. Gadis itu menyandarkan kepalanya di dinding jembatan tersebut.

El juga mengikuti Laura duduk di sana, seolah sedang memikirkan hal yang sama, keduanya menatap ke arah yang jauh.

"Aku memang tak layak hadir dalam kehidupan kalian." ucap Laura menyalahkan diri sendiri.

El tersenyum kecut. "Akulah yang membuatmu berada di tempat yang salah."

Laura menoleh pria disampingnya, dia masih tak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan pria tersebut. Kemarin ia tak seperti itu.

"Itu sebabnya aku ingin kita menikah." ucap El lagi tanpa menoleh Laura.

"Apakah Aisyah baik-baik saja?" tanya Laura ingin tahu kabar adiknya.

"Dia baik-baik saja, hanya tidak ingin bertemu denganku." jawab El sedikit mencurahkan kesedihannya.

Laura tak bisa menanggapi ungkapan Eliezer, jelas jika mereka sedang tidak baik-baik saja. Namun jangankan memberi saran, dirinya sendiri tidak tahu harus seperti apa.

"Semakin hari perutmu semakin besar. Aku tidak mau menjadi pengecut yang sudah berbuat tapi tidak bertanggung jawab." ucap El kembali memandang ujung jembatan.

"Aku sudah bersalah atas meninggalnya Kayla. Aku tak mungkin membuat Aisyah kembali tersakiti."

"Sudahlah, saat ini bukan waktunya memikirkan orang lain, tapi pikirkan dirimu sendiri. Terlebih lagi ada anakku di dalam perutmu." El menoleh Laura.

"Kau yakin sekali, bagaimana jika dia bukan anakmu?" Laura tersenyum sinis.

"Jika dia bukan anakku, kau tak akan ada di sini Laura." ucap El menatap wajah sendu Laura. "Aku yakin kau juga tidak menginginkan aku, terlebih lagi kau memiliki Dimitri."

"Dia tidak menginginkan aku, dia tidak suka barang bekas." ungkap Laura melampiaskan kekesalan hatinya yang tak pernah terucap. Terlihat jelas jika dia sedang kecewa.

"Katakan pada ayahmu, Besok kita akan menemuinya." ucap El bersungguh-sungguh.

"Ya."

Laura tak punya pilihan.

Sedangkan di rumah yang lain, Aisyah sedang berbicara dengan ayahnya, juga seorang perempuan berusia hampir kepala lima. Kedua orang itu menatap Aisyah yang terlihat datar.

"Kau yakin?" tanya Adinata menatap bingung putrinya.

"Aku yakin." jawab Aisyah tak memperlihatkan kekhawatiran ataupun ketakutan seperti biasa.

"Baiklah." jawab Adinata masih terlihat ragu dengan keputusan anaknya.

"Kalau begitu semua sudah beres. Kita akan menikahkan anak-anak kita dua hari lagi." ucap wanita itu tersenyum lebar.

"Apa tidak terlalu cepat?" ucap Adinata melirik Aisyah.

"Tidak Papa, aku bersedia." jawab Aisyah memaksakan bibirnya yang tersenyum, terlebih lagi pada wanita yang sedang melamarnya.

"Tapi Ay, Papa tidak yakin kalian saling mencintai." Adinata masih ingat putrinya memikirkan ulang.

"Apakah cinta memberikan kebahagiaan?" tanya Aisyah menatap ayah dan calon mertuanya. "Bahkan kami tersakiti karena Cinta Papa, terlebih lagi aku. Biarlah kami mencoba hubungan yang baik diantara hati yang sama-sama tersakiti. Aku akan mencoba menjadi istri yang baik untuk suamiku, dan dia juga akan berusaha mengimbangi perasaanku. Lagi pula, Papa tahu jika dia adalah orang yang baik." jawabnya meyakinkan Adinata.

Wanita yang duduk di hadapan Aisyah itu tersenyum manis. "Kau seperti ibumu. Cantik, baik dan lembut. Mama menyukaimu." ucapnya meraih tangan Aisyah.

"Baiklah, kalau begitu kita akan melangsungkan pernikahan mereka lusa." Adinata merasa yakin jika Aisyah sudah memilih.

"Kalau begitu Mama pulang dulu, dia akan tiba satu hari sebelum kalian menikah." Wanita itu masih terlihat betah memandang wajah Aisyah. "Mulai sekarang panggil aku Mama, sama seperti ibumu." ucapnya lagi.

Aisyah menatap mata wanita tersebut dan menemukan kedamaian di sana. Mungkin keputusan ini sudah benar, menikah dan memiliki ibu mertua yang menyukainya. Tidak seperti El yang hanya berjuang sendiri. Tapi, bagaimana dengan putranya?

"Iya Mama." jawabnya menurut, membuat wanita itu semakin tersenyum lebar.

"Kalian terlihat romantis." Adinata tertawa dengan kedekatan yang mendadak tercipta.

Wanita itu tertawa kali ini. "Istrimu adalah orang yang baik, tentu aku senang mendapatkan menantu seperti sahabatku." jawabnya bangga.

"Ya, semoga semuanya berjalan dengan baik. Jujur saja aku tidak mau Aisyah kembali terluka." ucap Adinata pelan, tapi penuh penekanan.

Pria itu mengantar calon besannya menuju pintu keluar.

Wanita itu tersenyum menatap wajah Adinata. "Aku paham maksudmu Adinata. Aku jamin putraku tidak akan mengecewakan kalian. Seorang lelaki tak akan bersedia dengan mudah menerima perjodohan jika hatinya tidak suka, aku tahu persis putraku. Jangan-jangan dia sudah mencintai putrimu sebelum aku menawarkan untuk menikahinya." ucap wanita itu yakin.

"Kau bercanda." Adinata tertawa namun tak percaya.

"Kau laki-laki, lebih tahu daripada aku. Permisi." ucapnya melenggang meninggalkan Adinata yang masih menatap punggungnya.

"Apa yang Papa bicarakan?" tanya Aisyah sedikit heran saat keduanya terlihat beradu pandang. Langkah pekannya menyusul adinata diambang pintu.

"Tidak ada Sayang, hanya sedang mengingatkan mereka agar tidak mengecewakan putri kesayangan Papa." jawabnya tersenyum seraya memeluk bahu Aisyah.

"Aku hanya memiliki Papa di dunia ini." jawab Aisyah memeluk Adinata.

"Raih kebahagian yang kau inginkan Nak, jangan biarkan orang merebut dan menyakiti hatimu karena kau terlaku baik. Seekor harimau perlu memperlihatkan taringnya agar disegani, jika hanya tidur dan bersantai maka mereka akan mengelus bulu halus mu, tapi lama-lama akan menginjak harga dirimu." ucap Adinata mengusap kepala Aisyah.

"Aku yakin Dimitri tidak begitu."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!