"Dimitri!" pelan Laura, jantungnya sedang berdegup kencang.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Dimitri lagi, wajahnya dingin dan menatap tajam, selama bersamanya baru kali ini Dimitri menunjukkan sikap seperti itu.
"A_, aku." Laura berdiri dan memundurkan langkahnya, rasa takut dan bersalah membuatnya semakin lemas.
"Laura." panggil Dimitri lagi, pria itu semakin mendekat, matanya tak melepaskan wajah Laura yang semakin pucat.
Laura tak bisa mengelak, juga tak bisa menghindar lagi. Tapi untuk mengatakan yang sebenarnya dia tidak mampu.
"Katakan Laura."
Laura masih diam tak bisa berkata, bahkan tangannya mencengkeram kursi di belakangnya.
"Jawab Laura!" bentar Dimitri lebih keras lagi.
Laura menangis dan terkejut bersamaan, tak terkecuali Bibi yang memeluk Laura.
"Non Laura juga sedang tersiksa, jangan di marahi Tuan." pinta Bibi mencoba menengahi keduanya.
"Tersiksa apa? Bagaimana aku tahu jika kau tidak bicara!" kesal Dimitri menunjuk Laura.
"Bicara baik-baik Tuan." Bibi kembali membela Laura.
Dimitri menarik nafas, sejenak kemudian ia menarik tangan Laura menuju kamar tak jauh dari ruang makan.
"Duduk!" Dimitri mengunci pintu kamar tersebut, membuat Laura semakin ketakutan.
"Katakan!" pinta Dimitri lagi, menarik kursi dan duduk menghadap Laura.
"Aku bertemu dengan seseorang dimalam Papa ingin menjodohkan aku saat itu." ucap Laura menunduk.
"Lalu?" tanya Dimitri masih menahan amarahnya.
"Aku menangis di apartemen milikmu, aku mencarimu malam itu, aku menunggumu pulang hingga hampir tengah malam tapi kau tak pulang juga. Dan pria itu datang ke apartemen bersebelahan denganmu, dia mabuk dan menarik ku dengan paksa. Dan aku tak bisa melawan, tak ada pula yang bisa menolongku." jelas Laura semakin nangis mengingat malam itu.
Dimitri menyandar, menghempaskan tubuhnya di kursi tersebut. Wajah tampannya terlihat lemas dengan kekecewaan terlihat jelas di sana.
"Aku hamil." tangis Laura semakin menjadi, hingga tubuhnya bergetar hebat menahan sesak dan kesedihan tak terkira di dalam hatinya.
"Siapa laki-laki itu?" tanya Dimitri terdengar menakutkan.
Laura menatap Dimitri, lalu menggeleng dengan air mata berlinang.
"Kau tidak bohong?" tanya Dimitri lagi memicingkan matanya.
Laura menunduk, sejenak dia berpikir jika saat ini Dimitri sedang marah.
Dimitri tersenyum sinis, merogoh ponselnya dan mengirim pesan kepada seseorang. Kemudian kembali memandangi Laura yang masih sesenggukan.
"Itu alasan aku tidak menjawab lamaran mu." ucap Laura lagi.
Dimitri tersenyum sinis, dia menggeleng pelan tapi tak juga melepaskan pandangannya. Entah apa yang sedang di pikir oleh Dimitri saat ini.
Lama saling membisu. Hingga beberapa saat kemudian Laura beranjak dari duduknya.
"Mau kemana?" tanya Dimitri membuang pandangan kali ini.
"Keluar." jawab Laura pelan.
"Aku belum selesai bicara." ucap Dimitri lagi.
Laura kembali duduk.
"Harusnya sejak awal kau berkata jujur padaku, itu lebih baik dari pada berbohong dan akhirnya seperti ini." ucap Dimitri sudah mulai berdamai dengan amarahnya.
"Maaf." jawab Laura singkat.
"Sebaiknya kau kembali ke rumah Aisyah. Karena aku harus pulang ke Australia hari ini." ucap Dimitri lagi.
Laura menoleh Dimitri, rasanya aneh sekali jika Dimitri pulang terburu-buru, mengingat kemarin dia melamar Laura.
"Sendirian di sini tidak aman untukmu." ucap Dimitri lagi.
"Apa kau sedang memintaku menyingkir dari hidupmu?" tanya Laura sedikit curiga.
"Tidak, hanya sedang ada urusan, dan itu mendadak." jelas Dimitri lagi, wajah yang biasanya hangat itu kini datar dan dingin.
"Dimitri." Laura meraih lengan Dimitri tapi pria itu menghindarinya.
Tentu saja membuat hati Laura semakin berdenyut nyeri, apakah seperti itu sifat sebenarnya seorang Dimitri? Laura kembali menangis.
"Bilang saja jika kau sedang menghindariku dan ingin kita berakhir!" ucap Laura lantang setelah ia berdiri dan berusaha mengumpulkan keberaniannya.
Dimitri menatap tajam Laura, dia ikut berdiri.
"Aku tidak menyangka kau hanya mencintaiku saat aku sempurna, tapi tidak saat aku sedang jatuh dan terpuruk seperti ini." ucap Laura masih dengan air mata.
"Tentu saja Laura! Aku laki-laki yang sama seperti yang lainnya. Aku kecewa ketika mengetahui milikku sudah di sentuh orang dan mengandung anak orang lain!"
"Tapi kau juga bersalah di dalamnya!" bentak Laura.
"Aku?" Dimitri menunjuk dirinya dan menggeleng
"Dimana kau malam itu? Jika di rumah sakit kau tak ada, harusnya kau ada di apartemen dan aku ada di sana, menunggumu dan butuh dirimu!" marah Laura hingga berteriak.
"Aku sedang ada pekerjaan lain Laura! Aku_"
"Harusnya kau memperjuangkan aku Dimitri, harusnya kau melamar ku dengan penuh kesungguhan kepada Papa. Aku yakin Papa akan menerima jika kita berjuang berdua. Tapi kau hanya pengecut, dan sekarang kau ingin meninggalkan aku setelah hal buruk ini menimpaku. Kau sungguh keterlaluan." Laura semakin menangis dan berlari menuju pintu.
"Laura!" Dimitri meraih tangan Laura.
"Lepaskan aku." Laura mendorong Dimitri dan mencoba melepaskan tangannya.
"Laura dengarkan aku!"
"Aku tidak mau!" teriak Laura lagi.
"Laura harusnya aku yang marah!" Dimitri meninggikan suaranya.
"Kau tidak perlu marah, karena aku bukan siapa-siapamu. Pergilah dan jangan temui aku lagi, aku tidak ingin melihat wajahmu. Sudah cukup sepuluh tahun kita bersama, dan itu tidak membuat kau benar-benar menerimaku."
"Laura!"
"Ah aku lupa, aku memang tidak layak di terima. Mulai hari ini kita putus, kita tidak memiliki hubungan apa-apa lagi." ucap Laura dengan tertawa mengejek, dan menangis bersamaan.
"Terserah, aku akan tetap mengantarmu pulang." Dimitri mencengkeram tangan Laura dan mengajaknya keluar dari rumah itu.
"Ini rumahku Dimitri! aku tidak harus pulang ke rumah orang." Laura menarik tangannya dengan paksa.
"Dia adikmu Laura, akan lebih baik jika dia bersamamu." ucap Dimitri tetap memaksa Laura masuk.
"Aku tidak punya siapa-siapa. Tidak usah peduli padaku!" Laura kembali memberontak, dan tetap tak mau pergi.
"Baiklah, terserah kau saja." membiarkan Laura kembali masuk ke dalam rumahnya.
Sementara Dimitri kini terpaku di dalam mobil, menunduk tak percaya dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya.
Hingga sore hari kemudian, Laura masih bimbang antara pulang ke rumah Aisyah atau tinggal di rumahnya.
"Dimitri sudah tahu semuanya." gumamnya sendiri, kembali menarik nafas dan memejamkan matanya. Menahan air mata yang belum juga bisa berhenti jatuh ketika mengingat pertengkaran dengan Dimitri pagi tadi.
"Sebaiknya aku pulang menyelesaikan semuanya."
Laura beranjak dari duduknya dan sudah bertekad untuk membongkar semuanya kepada Aisyah.
Walaupun akhirnya semua orang akan tersakiti.
"Hubunganku dengan Dimitri sudah hancur, dan sebaiknya kita hancur bersama-sama." Laura berkata seolah sedang bicara dengan Eliezer.
Tapi
Kembali teringat Aisyah, saudara satu-satunya meskipun berbeda ayah. Dia tak pantas tersakiti, tapi mau tak mau kenyataan ini harus tetap diungkapkan sebelum mereka benar-benar menikah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments