Eliezer mengusap wajahnya berkali-kali, Entah bagaimana lagi menghadapi Laura yang bersikukuh tak mau menuruti kata-katanya. Belum lagi Aisyah sudah pasti semakin curiga dengan kepergian mereka pagi ini.
Salahnya dia tak berpikir lebih dulu sebelum mengajak Laura bicara, harusnya tak perlu masuk ke mobil yang sama.
"Pulanglah, aku ingin memenangkan diri." Laura membuka pintu mobil.
"Kau mau kemana? Bagaimana jika Aisyah pulang dan bertanya." Eliezer menatapnya bingung.
Laura tetap keluar dengan langkah yang tak mungkin di cegah. Dia berdiri memanggil taksi yang kebetulan lewat, dia benar-benar pergi walaupun entah akan kemana.
El teringat jika Kayla belum bangun beberapa saat lalu, sebaiknya dia membeli sesuatu dan kembali ke rumah Aisyah.
Sementara di rumah itu, Aisyah sedang duduk melamun di taman belakang. Teh hangat yang tersaji menjadi objek pandangan namun pikirannya melayang entah kemana.
Teringat bagaimana El sangat berjuang mendapatkan hatinya. Ketika itu dia sedang putus asa dan tak berniat mengenal cinta, El tak menyerah dengan segala usaha.
Takut mencoba.
Perasaan itu hilang setelah melihat kesungguhan seorang Eliezer, dan perlahan-lahan hatinya kembali terbuka, hingga cinta itu benar-benar bersemayam dan kini menetap. Bahkan saat ibunya tak memberi restu, Aisyah masih punya keinginan untuk bertahan walaupun dalam keraguan, semua itu bukan tanpa alasan, tentu di hatinya juga ada cinta.
"Apa Kayla sudah bangun?" suara bariton itu membuyarkan lamunan Aisyah.
"Sudah Tuan." begitu Athy menjawab, Aisyah mendengarkan dari taman belakang.
"Paman!" suara Kayla menyapanya, langkah kaki kecilnya sangat nyaring dengan sandal kesayangan menuruni anak tangga.
"Hai Sayang, Paman membeli sesuatu untukmu." El mengangkat bag paper di tangannya, sambil menggendong Kayla.
Pemandangan yang pas sekali bukan? Calon ayah sambung idaman. Bahkan saat Aisyah tak ada, dia selalu mendatangi Kayla.
"Mama sudah pulang?" tanya Kayla kepada Eliezer.
"Belum." jawab El yang memang belum bertemu dengan Aisyah .
"Sudah Non, Mama ada di taman belakang." Athy menyahut, sambil meletakkan dua gelas susu di meja makan.
Eliezer menoleh Athy, sedikit mengernyitkan keningnya karena Aisyah tak pernah kembali secepat itu.
"Di belakang Tuan, Nyonya sedang minum teh." Athy tahu maksud tatapan Eliezer padanya.
El berpikir jika Aisyah sudah curiga, mendadak perasaannya terganggu.
"Kayla ingin bertemu Mama." pinta Kayla dengan suara menggemaskan anak perempuan.
"Baiklah Sayang." El mengajaknya ke taman belakang.
Langkahnya sedikit ragu walaupun tetap melangkah pada akhirnya. Eliezer tak pernah segugup itu sepanjang hidupnya. Entah mengapa kali ini, rasa bersalah membuatnya tak punya nyali bertemu Aisyah tercinta.
"Mama!" Kayla mengulurkan tangan halusnya.
"Sayang." Aisyah meraih tubuh kecil Aisyah dari pelukan Eliezer.
"Kau pulang cepat, bukankah biasanya dua hari?" Eliezer duduk di samping Aisyah.
"Aku sengaja pulang cepat, karena merasa di rumah kau tidak sendirian."
Suaranya halus, tutur katanya lembut, tapi maknanya membuat Eliezer lemas.
"Apakah kau tidak suka aku datang menemui Kayla?" Eliezer pura-pura tidak mengerti.
"Tentu saja aku menyukainya. Bahkan alasan aku masih memikirkan hubungan kita adalah kedekatan mu dengan Kayla." jawab Aisyah halus.
Eliezer menarik nafas, tentu sebagai seorang CEO dia sangat paham dengan kata-kata halus Aisyah.
"Athy, bisakah menemani Kayla sarapan?" Aisyah sengaja memanggil Athy.
"Iya nyonya." Athy meraih tangan Kayla, mengajaknya menuju meja makan. "Nanti susunya dingin." ucap Asisten Aisyah itu membujuk Kayla.
"Ada apa Ay, mengapa sikapmu seolah sedang tidak menyukai kehadiranku?" El meraih tangan halus Aisyah.
"Apakah kau sedang mengkhianati aku El?" tanya Aisyah pelan.
"Aku tidak pernah mengkhianatimu Ay, demi Tuhan aku hanya mencintaimu seorang." Eliezer menggenggam erat jari halus Aisyah. Menatapnya penuh keyakinan, berharap Aisyah percaya dengan kesungguhan hatinya.
"Lalu apa hubunganmu dengan Kakakku?" tanya Aisyah dengan tatapan mereka beradu.
Eliezer tak bisa menjawab, mendengar pertanyaan itu otaknya malah tak bisa berpikir.
"Bukankah kau tak pernah sedekat itu dengan wanita, bahkan wanita yang pernah kau nikmati tubuhnya kau acuhkan, bukankah wajar jika aku curiga?"
"Ay." Eliezer semakin menarik tangan Aisyah ke dada bidang
nya. Tak bisa menyangkal jika kecurigaan itu benar, tapi cintanya juga sangat benar, dia tak pernah mencintai orang lain.
"El, jika kau ingin selingkuh, carilah orang yang tidak ada hubungannya denganku, agar aku tidak tahu." Aisyah berdiri meninggalkan Eliezer, walau akhirnya Eliezer mengejar.
"Ay."
Aisyah tak mau menoleh, hatinya sedang marah, kesal juga cemburu.
"Ay, tunggu! Aku bisa menjelaskan semuanya." Eliezer mengejar dan meraih lengan Aisyah.
"Apa yang harus di jelaskan? Kalian sudah pergi bersama dua kali! Dua kali El?" Aisyah benar-benar kesal hingga meninggikan suaranya.
"Itu karena dia saudaramu Ay, aku mencoba dekat dan bercerita sedikit jika aku bukanlah pria yang baik saat itu, bahkan aku berkata jika ada banyak wanita yang pernah tidur denganku. Apakah hal itu yang membuatmu curiga?" El mencoba memberi alasan yang mungkin bisa di cerna.
Aisyah terdiam, sedikit kata-kata Eliezer itu ada benarnya, ataukah dia sedang salah paham?
"Kau cemburu?" tanya El lagi mendekati wajah Aisyah.
Mendadak perlakuan Eliezer sangat manis, dan penjelasan itu masuk akal bagi Aisyah.
"Bahkan Kakakmu tidak pulang bersamaku, dia ada keperluan sendiri. Tadi dia juga keluar bersamaku saat aku membeli makanan untuk Kayla, putri kita."
Lagi-lagi sebuah kata 'Putri kita' membuat luluh hati Aisyah, walaupun itu hanya rayuan tapi perlakuannya kepada Kayla benar-benar membuktikan.
"Aku hanya mencintaimu, hanya dirimu Aisyah. Maka dari itu aku ingin kita cepat menikah." Eliezer menaikkan alisnya mengisyaratkan Aisyah untuk menjawab lamaran yang sudah berulang kali diungkapkannya.
Entahlah, antara curiga yang mulai mengecil, dan cinta yang memang sangat besar. Juga restu yang jadi penghalang, atau memang mereka harus menikah agar tak ada keraguan? Aisyah sedang dilema.
...***...
Rumah bercat biru tosca, dengan interior yang sederhana, nyaman dan sedikit jauh dari keramaian, menjadi pilihan Laura di siang itu.
Berkali-kali ia memikirkan keputusan apa yang akan diambilnya, tapi tak menemukan jalan keluar selain menetap di negara ini, menjauhi Dimitri untuk sementara waktu, juga menjauhi Aisyah untuk beberapa waktu kedepannya.
'Harusnya, aku memilih negara lain untuk menyendiri. Tapi entah mengapa saat aku ingat bahwa ayah dari anak ini ada di sini, aku jadi ingin bertahan. Walaupun aku juga tak mungkin memberitahu keberadaan ku.'
Laura menggeleng, apakah itu yang dinamakan ikatan antara ayah dan anak yang sedang dikandungnya?
Kehidupan sedang mempermainkan nasib Laura. Andaikan saja malam itu tak pernah terjadi!
"Ini semua gara-gara pria itu, pria brengsek yang membuat hancur segalanya, membuat aku jauh dari Dimitri. Harusnya dia juga hancur seperti aku!" Laura terus menangis di rumah baru itu sendiri.
Tujuannya adalah mengacaukan kebahagiaan El, tapi menjadi serba salah saat posisinya seperti ini, Laura berada dalam garis segitiga, Eliezer, Aisyah, dan Laura sendiri menjadi yang ketiga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments