Siapa ayahnya?

"Kak, tadi Kak Dimitri mengatakan jika akan mengajakmu menikah, apakah kau sudah menjawabnya?" tanya Aisyah malam itu, dia duduk bersama Laura di teras rumah, menikmati udara malam yang kebetulan sedang cerah sekali.

"Aku belum menjawabnya." jawab Laura masih dengan wajah bingung, entah mengapa belakang dia tidak bersemangat seperti biasanya.

"Mengapa? Apakah Kakak sudah tidak mencintai Kak Dimitri lagi?" Aisyah memiringkan kepalanya, sungguh ia penasaran dengan Laura yang mendadak berubah.

"Tentu saja aku sangat mencintainya." Laura menarik nafas berat, dia berada dalam beban yang sulit, tak bisa dijelaskan kepada siapapun, tak bisa pula meminta pertolongan kepada siapapun.

"Jika kau mencintainya maka terima saja. Jika tidak dia akan kecewa dan pergi darimu. Apakah Kakak rela jika Dimitri memilih wanita lain?"

"Tentu saja tidak!" jawab Laura cepat.

"Kalau begitu Kakak harus menjawabnya dan menikah dengannya. Agar tidak ada lagi jarak diantara kalian." ucap Aisyah seperti yang pernah diucapkan Eliezer saat itu.

"Apakah kau juga seperti itu?" tanya Laura kepada Aisyah.

"Ya. Aku sudah menerima El, dan kami akan segera menikah."

"Apa?" ucap Laura pelan tapi sangat terkejut.

"Aku juga akan menikah Kak, sepertimu." jelas Aisyah lagi dengan tersenyum lebar.

"Aisyah, apa kau sudah benar-benar yakin dengan El?" ucap Laura dengan wajah khawatir.

"Tentu saja Kak, dia sangat mencintaiku, tak hanya aku tapi Papa juga mengetahuinya." jawab Aisyah yakin.

"Bukan begitu maksudku Ay, kau sudah pernah gagal satu kali, Apakah tidak terlalu cepat mengambil keputusan untuk menikah dengan Eliezer?" Laura semakin menunjukkan sikap khawatirnya.

Aisyah menautkan alisnya, kembali dia berpikir bahwa ada benarnya yang diucapkan Laura, tetapi belakangan ini Aisyah mendadak pencemburu dan takut Eliezer berubah, terutama saat El mengantar Laura.

Tunggu!

'Mengapa Kakak terlihat sangat khawatir, bukankah mereka dekat hingga dua kali Kak Laura pergi bersama El?'

"Menurut Kak Laura, apakah El kurang baik?" tanya Aisyah ingin tahu pendapat Kakaknya.

"Ah, emm,, kalau yang itu aku tidak tahu. Lagi pula kami hanya berbicara tentang hal biasa-biasa saja, tidak sampai kepada hal yang detail tentang pribadi." jelas Laura.

"Tapi El bilang dia pernah bercerita tentang dia pernah tidur dengan banyak wanita sebelum mengenal aku?" Aisyah benar-benar ingin tahu bagaimana mereka mengobrol hari itu, hingga keluar ucapan pernah tidur denganmu.

"Oh, kalau yang itu benar. Tapi tidak terlalu banyak membahas, karena aku sedikit canggung dengan pembicaraan seperti itu." Laura berkilah, tentu dia tak ingin Aisyah tahu yang sebenarnya.

"Ya, begitulah Eliezer Kak, dia bukan laki-laki sempurna atau baik di mata umum. Tapi semenjak mengenal aku dia tidak mengulangi hal itu, yang aku tahu dia hanya mencintai aku saja." Aisyah tersenyum manis, dia yakin sekali jika Eliezer sangat mencintainya.

'Benar Ay, El memang mencintaimu. Bahkan wajahnya terlihat sedih ketika menyebut hubungan dan namamu saat itu. Tapi aku sedang mengandung anaknya, dia menyentuhku tapi memanggil namamu Ay.'

Hati Laura merintih mendengar Aisyah bercerita. 'Apakah aku harus mengatakannya sekarang?'

"Kak!" panggil Aisyah membuat Laura sedikit terkejut.

"Hah!" Laura menoleh, menatap Aisyah.

"Kakak melamun. Sebaiknya Kakak cepat menerima Kak Dimitri agar tidak lagi melamun dan mulai menjalani hari yang bahagia." Aisyah menertawai Laura.

"Ya, Kakak sedang memikirkannya." Laura tersenyum tipis.

Malam itu Laura merasa waktu berjalan sangat lambat, memikirkan Dimitri yang amat dicintai, lalu Aisyah yang mendadak setuju menikah dengan El, lalu bagaimana lagi cara memisahkan mereka?

Laura memukul-mukul keningnya sendiri, ingin sekali rasanya mengungkapkan hal itu pada Aisyah, dan sepertinya memang itu jalan satu-satunya untuk membatalkan pernikahan mereka.

"Lalu bagaimana dengan Dimitri?" Laura bergumam sendiri dikamarnya, lagi-lagi itu yang membuatnya buntu.

Entah berapa kali Laura merubah posisi tidurnya, ke kiri dan kanan bergantian tak juga menemukan tempat yang nyaman

"Aku harus meminta Dimitri pulang, lalu setelahnya membatalkan pernikahan Aisyah." gumamnya sambil duduk menyandar.

Bibir tipisnya tertarik sedikit, merasa menemukan ide yang paling tepat.

Menarik nafas dalam dan kemudian mengembuskannya. Laura mengatur bantal dan kemudian tidur nyenyak di setengah malam yang sudah terlewati.

...ΩΩΩ...

Pagi-pagi sekali Laura bangun dari tidurnya, kemudian bersiap untuk pergi ke rumah barunya.

Seperti rencana semalam, dia ingin Dimitri segera pulang ke Australia. Dan tentu saja setelahnya dia akan mengatakan kebenaran tentang El kepada Aisyah.

Walaupun masih bingung bagaimana seterusnya, tapi rasanya menggagalkan pernikahan Aisyah adalah langkah pertama yang harus diambil Laura.

"Sebaiknya aku ke rumah baru terlebih dahulu, lagi pula terlalu pagi jika harus mendatangai Dimitri. Mungkin makan sesuatu yang segar di sana, mengingat Bibi pasti sudah belanja pagi ini." Laura tersenyum dan meraih tasnya.

"Athy, katakan pada adikku, aku akan keluar ke rumah Dimitri." pesan Laura ketika ia melangkah di halaman.

"Baik Nona." jawab Athy, sedangkan Laura langsung memanggil taksi dan berlalu pergi.

"Dia tak sadar jika ada mobil lain mengikuti taksi yang ditumpangi Laura. Mobil itu terus menguntit hingga sampai ke rumah baru miliknya satu jam kemudian.

Laura turun masuk ke dalam rumah berwarna biru toska tersebut. suasana nyaman dan tidak terlalu ramai, begitulah rumah Laura.

"Bibi." panggil Laura ketika sudah ada di dalam.

"Iya Non." Bibi hanya menyahut, tampak dari ruang tamu jika wanita itu sedang sibuk mengatur buah-buahan di atas meja.

"Bibi, apakah pesananku sudah Bibi buatkan?" tanya Laura sudah tak sabar.

"Sudah Non, ini baru saja Bibi kupas buahnya." Bibi menunjuk mangkuk keramik berisi bumbu rujak pedas.

"Ah, aku sudah tidak sabar memakannya. Sejak aku melihat di kaki lima, aku tidak bisa tenang memikirkan makanan ini." Laura menunjuk bumbu rujak tersebut.

"Non sedang mengidam ya?" tanya Bibi tersenyum.

Laura sedikit terkejut, tapi kemudian dia ikut tersenyum dan mengangguk.

"Berapa bulan Non?" tanya Bibi lagi mendekati Laura.

"Satu bulan lebih Bi, tapi belum sampai dua bulan." Laura menunduk, sambil mengaduk-aduk bumbu berwarna cokelat itu, wajahnya terlihat sedih.

Bibi duduk di samping Laura, wanita itu sepertinya paham kondisi Laura.

"Sabar ya Non, kalau mau cerita Non bisa cerita sama Bibi." ucapnya memegang tangan Laura.

Laura menatap Bibi dengan mata berkaca-kaca, kemudian tersenyum lega, akhirnya dia tidak sendirian.

"Aku tidak menginginkan kehamilan ini Bi, ini sungguh bukan kemauanku." ucapnya sedih.

Bibi hanya mendengarkan, membiarkan Laura mengeluarkan keluh kesah dan kesedihannya.

"Aku benci kehamilan ini, terutama kepada ayahnya Bi!"

"Siapa ayahnya Laura?"

Suara yang tidak asing itu menggema di ruang makan rumah tersebut, membuat menoleh dua wanita yang sedang duduk berdekatan.

"Dimitri!" ucap Laura pelan dan bergetar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!