Lebih nyenyak

Seperti biasa, akhir pekan bagi semua orang tapi tidak bagi Aisyah. Setiap akhir pekan wanita itu pergi mengunjungi Vila yang sedang dirintisnya bersama Adinata ayahnya, El sudah hafal betul akan hal itu.

Pagi-pagi sekali pria tampan itu sengaja datang menemui Aisyah, hubungan mereka semakin dekat dan mesra terlebih lagi kemarin lamaran Eliezer telah diterima.

"Selamat pagi Sayang." El mendatangi Aisyah di atas tangga.

"Aku bahkan belum mandi." Aisyah tertawa dengan penampilannya sendiri.

"Bagiku sangat cantik, selalu cantik." Eliezer meraih tangan Aisyah dan mengecupnya.

"Semua wanita memang cantik, aku takut di luar sana masih banyak yang lebih cantik dariku." Aisyah menatap wajah El yang selalu tampan.

"Bukankah kita sudah dekat selama satu tahun lebih, harusnya dalam satu tahun aku sudah banyak bertemu wanita cantik di luar sana, tapi sepertinya hatiku sudah berhenti mengagumi wanita-wanita liar yang selalu menggoda. Aku lebih menginginkan wanita yang tertutup rapi, tapi ku yakin di dalam sana lebih indah dari pegunungan yang belum terjamah, lebih menghanyutkan dari aliran sungai yang deras, lebih hangat dari selimut yang banyak di jual di luar sana." ucap Eliezer merayu Aisyah.

"Bagaimana kalau tidak seperti itu?" tanya Aisyah dengan senyum dan mengangkat alisnya.

"Aku yakin seperti itu." jawab El melirik bagian dada yang tertutup rapat.

"Matamu mulai nakal." Aisyah mendorong wajah Eliezer yang memang sejajar dengan dadanya, pria itu berdiri di dua anak tangga lebih rendah dari Aisyah.

"Hanya melirik saja, tidak menyentuhnya." Eliezer tertawa senang, bisa menggoda Aisyah.

Jujur saja, sebagai seorang janda yang sudah tiga tahun tak memiliki seseorang untuk berbagi kasih sayang, Aisyah mengagumi dan menginginkan Eliezer yang tampan untuk menemani hari-harinya, juga malam-malam sepinya.

Canda tawa di atas anak tangga tersebut terdengar menggembirakan, bahkan Athy asisten rumah tangga Aisyah itu ikut tersenyum sambil terus membersihkan meja makan.

Walaupun sempat curiga dan tak percaya dengan calon suami majikannya, tapi melihat kebahagiaan dan kesungguhan Eliezer pada Aisyah, tentu siapapun wanita selingkuhannya bukanlah apa-apa.

Athy berhenti mengelap debu di meja tersebut, ketika melihat seseorang yang juga sedang mendengar dan menyaksikan betapa kebahagiaan Aisyah di atas sana.

Laura menatapnya begitu lama, bahkan tubuhnya tak bergerak dengan wajah sendu.

"Nona!" panggil Athy kepada Laura.

"Oh, aku butuh air hangat." ucap Laura duduk di meja makan.

"Tunggu sebentar Nona." Athy segera beranjak ke dapur, mengambilkan apa yang diminta Laura.

Tak lama kemudian, Eliezer juga turun dan menunggu Aisyah di meja makan. Pria itu sedikit terganggu dengan adanya Laura, ia berdiri memandangi punggung wanita tersebut.

"Tuan ingin sarapan apa?" tanya Athy menanyai El seraya meletakkan air hangatnya untuk Laura.

"Apa saja Bi, aku akan makan apa yang Aisyah makan." jawabnya tersenyum.

"Baiklah." Athy kembali kebelakang menyiapkan sarapan untuk Aisyah dan Eliezer.

Hening.

Eliezer tampak ingin bicara namun sedikit ragu.

Begitu juga Laura, gadis cantik itu tampak menunduk memandangi gelas dalam genggaman tangannya.

'Tumben sekali, dia tidak marah-marah, atau mengancam.' batin Eliezer.

"Kau akan menikah dengan Dimitri?" tanya El, di sela kebahagiaan bersama Aisyah, pertanyaan itu juga mengganggu dirinya.

"Tidak." jawab Laura tanpa melihat Eliezer.

Eliezer menoleh dan memperhatikan raut wajah Laura yang menunduk tersebut.

"Mengapa?" tanya El lagi.

"Dimitri tidak suka wanita yang sudah di sentuh orang lain." jawab Laura tersenyum sinis.

Deg

'Aku yang menyentuhnya.'

Eliezer memejamkan matanya, menarik nafas yang mendadak berat jika berhadapan dengan Laura.

"Kau akan mengatakannya kepada Aisyah?" tanya Eliezer pelan, suaranya terdengar seperti sedang memohon.

Hening.

"Pulanglah, kita akan selesaikan masalah ini di Australia setelah aku menikahi Aisyah." pinta Eliezer lagi.

Laura mengangkat wajahnya, menoleh Eliezer dan menatap wajah yang terlihat rumit.

"Mana mungkin aku menjadi madu untuk adikku." Laura menggeleng.

"Lalu aku harus bagaimana, jika meninggalkan Aisyah aku tak akan bisa."

Lagi-lagi suaranya terdengar sedih jika sudah menyebut hubungannya dengan Aisyah.

"Aku tak akan munafik, aku butuh suami untuk anak ini. Tapi aku juga tak mau menyakiti Aisyah. Jika kau bisa memilih, maka tinggalkan Aisyah baik-baik, dan aku tidak akan mengungkapkan kehamilan ini. Tapi jika tidak, aku pun tak akan membiarkan kau menipu adikku."

"Aku tidak pernah menipu Aisyah, tidak pernah Laura." bisik El menjelaskan perasaannya.

Namun pembicaraan mereka terhenti ketika langkah Aisyah terdengar menuruni anak tangga.

"Kalian sedang mengobrol?" tanya Aisyah menatap keduanya bergantian.

"Iya Sayang, kami sedang berbicara tentang Dimitri." El melonggarkan kursi dan meminta Aisyah duduk dekat dengan dirinya.

"Oh, ku harap pertengkaran kalian segera berakhir." ucap Aisyah halus.

Laura hanya tersenyum tipis, baginya sudah tak ada harapan untuk berbaikan, sudah sangat jelas Dimitri menolak dirinya saat ini.

"Apakah sebaiknya aku saja yang mengantarmu?" tanya El mengalihkan pembicaraan mereka.

"Aku tidak keberatan, hanya aku khawatir pulang lebih lama sedangkan kau harus bekerja." jawab Aisyah sambil meraih piring yang sudah di siapkan Athy.

"Aku bosan kau tinggalkan setiap akhir pekan, lagi pula kita bisa mengajak Kayla." usulnya lagi.

"Nyonya, Tuan besar sudah datang." Athy menyampaikan, baru saja dia membuka pintu untuk Adinata.

"Oh, kalau begitu kita akan sarapan bersama." Aisyah menunjuk kursi kosong, agar Athy juga menyiapkan sarapan untuk ayahnya.

"Baik Nyonya." Athy mengangguk mengerti.

"Apakah Papa mengganggu?" tanya Adinata dengan senyum senang.

"Tentu saja tidak." Aisyah melonggarkan kursi untuk ayahnya, ia duduk diantara dua pria.

"Bagaimana malammu?" tanya Adinata menggoda Eliezer.

"Lebih nyenyak setelah tidak mendapat penolakan." jawab El tanpa canggung.

Adinata tertawa lebar. "Papa jadi ingat saat Papa melamar Mama mu, sama persis seperti El. Saat itu Laura masih kecil, tapi sayang saat itu Laura tidak di izinkan ikut kemari." Adinata menatap Laura.

"Papa tidak mengizinkan aku." jawab Laura sedikit tersenyum. Ada kegetiran di wajahnya ketika mengingat orangtuanya berpisah. Hingga Ibunya pergi ke Indonesia dan menikah dengan Adinata. Secara fisik, kedua ayah mereka sama-sama tampan, hanya sikap mereka yang berbeda. Adinata lebih ramah dan terbuka, sedangkan ayah kandung Laura lebih pendiam dan tertutup.

Laura hanya bisa menahan nafasnya jika mengingat hari-hari masa kecil yang sulit, tanpa ibu dan hanya bisa bersama ayahnya di saat-saat tertentu saja. Hingga akhirnya bertemu Dimitri, semenjak masih sekolah menengah pertama mereka dekat dan hingga dewasa. Perhatian Dimitri membuatnya tidak merasa kesepian lagi, walaupun akhirnya kini Dimitri menyerah saat dirinya berada dalam titik terendah.

"Sebaiknya kita berangkat sekarang." Adinata sudah selesai begitu juga yang lainnya.

"Aku akan ikut kali ini." Eliezer juga beranjak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!