"Aaaaaaa......" Teriak ayyana frustasi. Ia benar benar tak tau apa yang harus ia lakukan, semuanya terasa buntu baginya. Mungkin fandy benar ia memang pengecut dalam menghadapi hidupnya sendiri. Ia tak berani mengambil keputusan bahkan menyangkut hidupnya.
Dering ponsel terdengar keras mengingat suasana yang semakin sunyi. Ayyana menatap ponselnya lekat lekat. Nomor fandy kembali menari pada layar ponsel ayyana.
"Haruskan dengan dia?" Gumam ayyana lirih. Ia tetap membiarkan ponselnya berbunyi tanpa menghiraukannya, hingga panggilan itu pun berakhir dengan sendirinya.
Ayyana menghela nafas beratnya berkali kali, ia merasa sesak didadanya seakan menyiksa. Ia berusaha mengatur pernafasannya sebelum ia menyalakan mesin mobilnya.
Betapa terkejutnya ayyana saat mobilnya sudah berhasil belok menghadap jalan raya, sebuah mobil putih berhenti tepat dijalan yang akan ayyana lalui. Seorang pria sudah berdiri disamping mobil tersebut sambil menatap kearah mobil ayyana. Pria itu tampak memegangi ponsel ditangan kanannya sedangkan tangan kirinya bersembunyi dibalik kantong celana.
"Dia?" Gumam ayyana saat mengenali pria tersebut.
Pria itu mendekat kearah kemudi mobil ayyana, ia mengetuk kaca mobil ayyana pelan kemudian menunjukan ponselnya kearah ayyana setelah ayyana membuka kaca jendela tersebut.
"Kamu benar benar sedang menghindari saya?" Suara fandy dengan suara bergetar.
"Sejak kapan kamu disana?" Tanya ayyana berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Sejak kamu keluar dari studio" jawab fandy.
Mereka memilih duduk di teras studio untuk melanjutkan perbincangan mereka.
"Bang arga, kakak saya tahun lalu menikah dengan teman SMA nya yang sudah ia pacari sejak MOS. Mereka selalu bersama bahkan saat kuliah. Mereka juga satu jurusan yang sama. Tapi saat mereka menikah, mereka hanya bertahan beberapa bulan. Dua minggu setelah pernikahan mereka selalu bertengkar hingga bulan kedua mereka menikah mereka memutuskan untuk berpisah" cerita ayyana berusaha menjelaskan permasalahannya pada fandy. Bukan ia ingin dikasihi oleh pria yang beberapa jam lalu menyatakan perasaanya. Ia hanya ingin fandy tau alasan dibalik setiap sikapnya itu.
"Kamu menganggap semua orang sama?" Tanya fandy halus. "Ada dua pilihan yang bisa dipilih bahkan saat situasi buruk pun. Pertama trauma seperti kamu sekarang dan kedua menjadikannya pelajaran untukmu dikemudian hari" fandy tersenyum kecil kearah ayyana, setidaknya ia merasa lega karna gadis cuek itu mau menceritakan masalahnya.
"Kamu nggak tau seberapa terpuruknya bang arga saat itu" lanjut ayyana.
"Kamu sudah pernah bertanya kenapa mereka berpisah?"
Ayyana terdiam, ia memang tidak pernah mengetahui alasan dibalik perpisahan kakaknya itu, namun melihat wajah uring uringan kakaknya membuatnya trauma untuk membina sebuah hubungan.
"Seperti yang kamu katakan, setiap orang punya alasan dibalik semua tindakannya, termasuk bang arga" fandy berusaha menerawang jauh menatap kedua mobil yang terparkir didepannya. "Dia mungkin belum terbiasa dengan ketidak adanya pasangan. Mengingat mereka sudah bersama sejak lama. Dan kenapa mereka memilih berpisah bukan tanpa alasan, ada berbagai faktor yang melatar belakanginya" jelas fandy.
Ayyana mendengarkan setiap kalimat fandy dengan seksama, mungkin dia benar ia hanya melihat kejadian itu dari sisi buruknya tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Kenapa kamu nggak melihat kehidupan pernikahan kedua orang tuamu, mereka menjalaninya hingga belasan tahun lamanya. Kenapa kamu hanya melihat salah satu sisi buruk pada kehidupanmu?"
Kepala ayyana tertunduk, fandy benar benar membuka fikirannya tentang satu hal yang membuatnya terpenjara dalam ketakutan selama ini.
"Kamu masih muda, kenapa harus saya?"
"Haruskan saya menjelaskan panjang lebar terjadinya hujan yang akhirnya akan berakhir pada kalimat takdir?"
"Saya nggak bisa" keluh ayyana lagi.
"Kamu belum mencobanya" bujuk fandy.
"Saya nggak punya waktu untuk bermain main"
"Kalo begitu kita menikah secepatnya" ujar fandy pasti. Tak ada keraguan sedikitpun tentang keputusannya itu.
"Perjalanan hidup kamu masih panjang, jangan menyia nyiakan waktu hanya karna ini" elak ayyana.
"Siapa bilang, saya tau apa yang saya katakan, dan saya sadar benar dengan keputusan saya"
"Kamu masih terlalu muda untuk mengatakan itu"
"Karna saya ingin menjadi dewasa untuk wanita saya"
"Stop fan, saya nggak bisa, saya nggak mau kamu kejebak dalam kehidupan saya"
"Jangan jadi pengecut hanya karna mau takut, dan jangan jadi egois hanya karna kamu tak mau"
"Kamu belum tau siapa saya" nada ayyana meninggi ia beranjak dari duduknya yang langsung disusul oleh fandy.
"Karna kamu nggak memberikan saya kesempatan"
"Saya nggak mau bermain main fandy"
"Saya nggak pernah mengajakmu bermain main, saya serius mencintaimu"
Air mata ayyana mengalir tanpa disadari, hatinya berkecamuk hebat dengan semua perdebatannya bersama fandy.
Dengan halus fandy mengusap air yang mengalir dari sudut mata ayyana. Hatinya ikut terisak melihat wanitanya menangis.
"Saya memang penakut, saya takut tenggelam hingga saya nggak mau berenang" suara ayyana dalam isaknya.
"Masih ada pelampung yang bisa menjagamu saat kamu berenang"
"Saya juga takut seseorang akan meninggalkan saya seperti meninggalnya papah dulu"
Fandy membawa tubuh ayyana yang bergetar karna tangisnya, ia tau perasaan gadis itu saat ini. Banyak masalah masa lalunya yang membuatnya bersikap dingin pada semua orang, dia sebenarnya tengah melawan emosinya sendiri dengan melakukan berbagai hal yang justru menyakitinya tanpa ia sadari.
"Saya nggak akan pernah meninggalkanmu" suara fandy halus sambil menepuk nepuk punggung ayyana berharap ia bisa memberikan dukungan pada gadis itu.
Tak berapa lama tangis ayyana mulai mereda, mereka kembali duduk di teras studio meski mereka hanya saling diam tak bersuara.
Fandy ingin membiarkan ayyana menenangkan diri terlebih dulu. Ia akan menunggu hingga gadis itu benar benar membaik.
"Pasti banyak wanita di luar sana yang lebih cantik dari saya dan pastinya lebih muda. Mereka lebih pantas untukmu dibandingkan saya" suara ayyana serak, ia berusaha membujuk fandy agar merubah keyakinannya. Ia tau anak muda mudah terpengaruh situasi termasuk fandy yang masih terbilang sangat muda.
Fandy yang mendengar ucapan ayyana hanya tersenyum simpul, ia menatap wanita disampingnya itu, kedua matanya bengkak karna air matanya.
"Kamu.. tidak pernah bisa memaksa kapan, dimana dan bagaimana daun jatuh dari pohonnya, kamu juga tidak pernah bisa memaksa angin untuk memutar arah seperti kemauanmu" jelas fandy, tangannya mengusap halus pipi ayyana yang masih basah karna air mata yang masih menetes. "Jika ini merasa sulit untukmu, saya nggak akan memaksamu sekarang, yang perlu kamu ingat adalah perasaan saya benar benar ada untukmu" ucap fandy halus. Ia berusaha tak menyakiti hati wanitanya itu. Hatinya sudah sakit saat melihatnya menangis hebat karnanya.
"Biar saya antar kamu pulang" lanjut fandy.
"Saya bisa sendiri"
"Saya temani dari belakang"
Ayyana tak menolak ataupun keberatan atas permintaan fandy, ia membiarkan pria itu mengikutinya dari belakang sampai ia sampai didepan rumah. Bahkan ia menunggu hingga ayyana benar benar masuk kedalam rumah sebelum ia pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments