"apa mba menghindari saya?" Kalimat fandy tiba tiba saja seperti petir disiang bolong. Ayyana membulatkan matanya menatap pria dengan wajah tirus didepannya. Ia tak menyangka fandy akan menanyakan pertanyaan tersebut secara langsung.
Mereka memang tengah membahas masalah pendistribusian majalah ke beberapa toko buku rekomendasi fandy. Dan mereka pun sudah mendapat kata sepakat untuk memulai hal tersebut.
Namun fandy benar benar memanfaatkan momen yang ada, ia tanpa basa basi langsung menanyakan hal tersebut pada ayyana.
Jujur saja ia sempat terkejut mendengar kalimat yang keluar dari bibir indah fandy. Kalimat itu memang terdengar biasa namun entah kenapa terasa kelu ditelinga ayyana.
"Enggak" jawab ayyana terdengar ragu.
Fandy tersenyum mendengar jawaban ayyana, ekspresi dan kalimatnya terlihat tak sesuai.
"Bohong" sindir fandy.
Ayyana tercengang mendengar sindirian fandy. Dia satu satunya orang dikantor yang berani membantah kalimatnya, dia juga satu satunya orang yang kuat bertahan disamping ayyana selama seharian.
"Yang tau perasaan saya ya saya sendiri, kenapa kamu berani beraninya menilai saya bohong" bela ayyana, ia mulai menaikan nada suaranya.
"Bukan saya yang menilai, tapi ekspresi wajah mba yang mengatakan demikian" jelas fandy tenang.
"Sok tau" ayyana menyeringai mendengar penuturan fandy.
"Saya belajar psikologi selama 1 tahun, kurang lebih saya tau arti dari ekspresi wajah lawan bicara saya"
"Memangnya kalo saya bohong kenapa?" Tanya ayyana akhirnya.
"Kenapa mba menghindari saya?" Ulang fandy membuat Ayyana terdiam, ia bingung, bahkan ia sendiri pun tak mengerti jawaban atas pertanyaan fandy tersebut. "Karena gosip yang beredar?" tanya fandy menebak sesuatu yang ada dalam fikiran ayyana.
Gadis itu masih diam, wajahnya menatap bolpen yang ia mainkan dengan asal. Pandangannya menerawang jauh seakan tengah mencari sesuatu.
"Mba nggak nyaman dengan gosip yang beredar?" Tegas fandy berusaha membuat gadis didepannya bersuara, atau bahkan hanya isyarat yang tubuhnya berikan.
"Haruskah saya menjauh?" Suara fandy semakin melemah, seakan ada ketidak relaan dalam dirinya.
Ayyana tiba tiba menatap fandy dengan tajam. Ia tak pernah memikirkan pilihan tersebut. Namun saat kalimat itu terucap dari fandy seketika hatinya seperti tercubit.
"Tapi maaf, saya nggak bisa untuk mewujudkan kalimat terakhir saya. Saya... Saya rasa... Saya... Menyukai mba ayyana" kalimat itu meluncur dengan jelas dari mulut seorang fandy.
Sontak saja mata mereka bertemu, tanpa ada suara yang terdengar hanya deru nafas teratur yang menghiasi ruangan kedap suara tersebut.
"Huh? Kamu sedang bercanda?" Suara ayyana terdengar bergetar. "Bukan saatnya" imbuhnya lagi.
"Apa yang harus saya lakukan agar kamu percaya pada saya?" Fandy meninggikan suaranya namun tetap terdengar lembut. Ia menatap dalam dalam mata bulat milik ayyana.
"Kamu?" Ulang ayyana. "Saya lebih tua dari kamu" ujar ayyana tak terima.
"Apa sebuah sapaan itu penting?" Tanya fandy balik.
"Jelas" jawab ayyana pasti.
"Kalo begitu panggil saya mas, bukankah itu juga sebuah sapaan?" Jelas fandy membalikan kalimat ayyana.
"Apa saya harus memanggil seseorang yang lebih muda dengan sebutan mas?"
"Lupa dengan kalimat yang mengatakan bahwa yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda"
Ayyana masih diam didalam mobilnya, sepanjang hari itu ia masih memikirkan kalimat kalimat fandy. Entah apa yang terjadi pada dirinya, karna sebagian hatinya berdebar hebat, namun sebagian lainnya merasa takut akan sesuatu.
Diliriknya arloji ditangan kirinya, tengah malam sudah lewat beberapa menit yang lalu. Tak terasa ia sudah berkutat dengan perasaannya hampir sejam.
Matanya menatap bangunan dua lantai didepan mobilnya, bangunan dengan lampu yang menyala terang itu sudah tutup sejak ia dan nita keluar dari tempat itu sekitar sejam yang lalu. Keadaan sekitar pun sudah semakin lengang tanpa aktivitas manusia. Nita sudah lebih dulu pulang setelah pamitan pada ayyana sejam lalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments