Chapter 16

Setelah kejadian kemarin, Kenneth semakin menarik diri dari keluarganya. Ia yang awalnya pesimis dan tidak lagi mempunyai harapan, kini semakin tidak ingin mendengar apapun yang menyakiti hatinya. Baginya, jika memang keluarganya tidak lagi mau menerima dirinya, ia harus sembuh dan sehat untuk selanjutnya akan terbiasa meninggalkan mereka ketika suatu saat nanti ia pergi.

Masih ada hal lain yang harus ia selesaikan. Sebuah tanggung jawab besar yang menjadi pilihannya dulu dan sekarang. Kelvin masih membutuhkannya, masih membutuhkan sosok pelindung seperti dirinya. Ia harus bisa menemani kesuksesan laki-laki itu.

Kenneth meludahkan permen karet ke sembarang tempat. Kemudian laki-laki itu membuka satu bungkus permen karet lagi dan memakannya lagi, sudah terhitung sebanyak 5 permen saat ini.

Cameron yang ada di sebelah Kenneth memasang wajah sebal karena Kenneth tidak mau berbagi dengannya.

"Satu doang ellahhh".

Kenneth mendesis pelan, lalu melempar satu bungkus permennya pada Cameron. Di terima Cameron dengan wajah senang. "Gitu dong, gue aja kalo ngasih lo nasi padang b aja tuh".

"Nggak ikhlas lo ngungkit-ngungkit". Suara berat itu mendekati mereka. Dylan kini berdiri di samping Cameron, melirik Cameron dengan sinis.

Cameron cemberut, ingin mengadu pada Bastian namun temannya itu menghela napas dengan gelengan kepala seolah memprihatinkan akan dirinya.

Bastian lelah dengan tingkah temannya.

"Kalian mikir nggak sih kalo Kenzo sama Arka pasti kenal, bahkan mungkin udah lama". Dylan membuka pembicaraan, menuangkan pikiran yang sejak kemarin meliputi otaknya.

Cameron mengangguk setuju. "Mereka kan satu planet, walaupun beda kandang". Sahutnya tak jelas

Bastian tersenyum tipis, lalu ikut menyetujui ucapan itu. "Gue juga mikir gitu. Tapi gue nggak pernah ekspek kalo Kenzo bakal sejauh ini. Maksud gue, Arka itu jelas bukan lawan main Kenzo".

Kalimat itu membuat Kenneth menggulirkan pandangan pada Bastian yang ada disebelahnya.

"Maksud gue gini. Kenzo emang nakal, tapi levelnya tuh oke lah di banding sama Arka. Kenzo masih keliatan anak baik-baik. Tapi Arka, dia mainnya udah terlalu jauh, gue yakin selain tawuran masih ada pelampiasan dia yang lain".

Baik Kenneth, Cameron maupun Dylan terlihat mengangguk setuju. Otak mereka kini bekerja memecahkan masalah yang terjadi kemarin.

"Yang jadi pertanyaan gue".

Kenneth, Cameron dan Dylan kini kompak memandangi Bastian yang terlihat serius.

"Gimana mereka bisa kenal?".

Kenneth mengalihkan wajahnya ke depan. Merasa tersinggung sekaligus terkhianati begitu saja. Meskipun sikap dan sifatnya tidak ketara menunjukkan sisi hangatnya pada Kenzo, namun bagaimanapun naluri seorang anak kembar itu sangat kuat. Dan melihat wajah Kenzo babak belur seperti kemarin, tentu membuatnya khawatir.

Kenneth tidak pandai bermain ekspresi, sedih senang atau apapun itu, ia hanya begini adanya. Contoh saja seperti melihat Kenneth kemarin, tentu yang hanya ia lakukan adalah memperingatkan sekaligus menegur saudaranya itu.

Menanyakan bagaimana kabarnya, apa lukanya masih sakit. Dan seperti sikap perhatian, mengobati Kenzo, menunggu keadaan Kenzo hingga sembuh, menemani Kenzo, atau membuatkan Kenzo makanan. Tentu dia tidak akan bisa, lagi pula Kenzo telah mendapatkan itu semua sepenuhnya dari Fina.

Lalu. Apa yang akan ia lakukan.

Yang ada diotaknya kini adalah. Untuk apa Kenzo ada disana. Untuk apa Kenzo ada dalam dunia yang gelap itu. Apa yang Kenzo inginkan disana.

"Kata gue sih pasti nggak sengaja ketemu, kalopun misalnya ada problem, gue nggak pernah nyangka kalo Kenzo bisa kenal sama Arka". Kata Cameron menjelaskan opininya.

Bastian mendecak gemas. "Iya kenalnya karena apa? Mereka tau muka lawan masing-masing aja udah di luar nalar".

Cameron menggedikkan bahu tak peduli. Ia kini asyik meniup permen karet hingga membentuk gelembung kecil. Hal yang serupa yang Kenneth lakukan, dua laki-laki itu seperti menjadi anak kecil bagi Bastian dan Dylan.

"Kata gue sih mending lo diem aja, bukannya ngasih solusi malah nambahin pikiran". Sahut Dylan kesal.

Cameron melirik temannya. "Kan biar sekalian di pikirin terus di pecahin, kalo tiba-tiba nanti ada komentar kayak gini kan aman karena udah ada jawabannya". Jawabnya santai.

"Terserah lo". Cibir Dylan tak peduli.

Kenneth menunduk dengan wajah gusar, tidak peduli pada Dylan dan Cameron yang masih saling mencibir. Dipikirannya kini berpusat pada Kenzo dan Arka. Dia tidak bisa langsung membogem Arka begitu saja, apalagi pak Adit juga memberikan tanggung jawab padanya. Satu-satunya jalan adalah ia mencari tau sendiri.

**

Gwen menatap keponakannya dengan penuh selidik, jarinya terangkat lalu di ketukan pada dagu. Sementara Kenzo terdiam dengan helaan napas malas, sudah terhitung 10 menit sejak ia berada disini dengan tantenya yang menatapnya penuh tanda tanya.

"Jadi ya gitu, mama marah-marah kemarin".

Gwen tersenyum tipis, sudah tidak heran dengan kalimat yang baru saja Kenzo katakan. "Tapi kamu nggak papa kan? Kenneth. Kenneth nggak papa kan?".

Kenzo menggeleng dengan senyum tipis. "Enggak. Waktu mama ngamuk, Kenneth emang masih bebal diem aja. Tapi omongan mama makin nggak karuan. Kenneth. Kenneth ngalah lah, dia nggak mau bales apa-apa ke mama".

Laki-laki berseragam SMA itu mendongak. "Aneh nggak sih Kenneth diem aja. Seenggaknya dia bela diri lah, ngungkapin yang sebenernya ke mama".

Mendengar itu Gwen mendengus kasar. "Mau bela diri sampe ayam beranak pun mama kamu nggak bakal percaya sama Kenneth, udah penyakit hati ya gitu".

Wanita itu kembali menyuap nasi ke dalam mulut. Masih tidak menyangka bahwa kakak iparnya itu belum juga membuka hati untuk putranya yang malang. Gwen tentu tidak tega, setiap saat pertemuannya dengan Kenzo yang selalu menceritakan tentang Kenneth. Laki-laki malang yang kian sendiri.

Di Cafetaria yang tak jauh dari sekolah Kenzo. Gwen sengaja menunggu Kenzo setelah Kenzo memberitahunya untuk bertemu, tidak jauh-jauh dari membahas tentang Kenneth. Seperti dugaannya, kini wajah murung Kenzo menjelaskan semuanya tentang Kenneth dan juga laki-laki itu.

"Tapi kenapa deh kamu babak belur gini?". Gwen memegangi dagu Kenzo, memalingkannya berulang kali dengan gemas. "Habis kelahi sama berapa orang? Lagian ngapain sih kayak ginian, udah Kenneth sekarang kamu. Kalian itu sama aja".

"Kan kembar".

"Ngejawab aja!!".

Kenzo tersenyum lebar, laki laki itu kini makan dengan tenang tanpa menghiraukan pelototan tajam dari tantenya itu.

"Ngomong-ngomong mbak kapan balik kerja lagi?".

"Dua bulan lagi sih harusnya, tapi Mbak nunggu kalian lulus aja". Jawab Gwen santai.

Kenzo mengerutkan keningnya. "Kenapa?".

Gwen mengulas senyum tipis. "Mbak mau bawa Kenneth ke luar negeri".

Wajah Kenzo mengeruh, di sertai dengan senyum culas. Kalimat itu tepat menusuk pada rongga dadanya, ada rasa sesak membayangkan bagaimana ketika hal itu terjadi.

"Ooohh". Katanya dengan respon seadanya.

Jika Kenneth benar-benar pergi. Ia tidak lagi bisa melihat wajah saudaranya. Bertanya walau Kenneth menjawab seadanya, bermain walau Kenneth tidak ikut banyak bertingkah, atau menjahili Kenneth dan Kenneth yang tak banyak merespon dan malah sabar menghadapinya. Itu saja adalah momen yang sangat jarang terjadi.

Membayangkannya saja dia tidak mampu, apalagi jika hal itu menjadi nyata.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!