Setelah pergi meninggalkan gedung tua yang menjadi tempat perkelahiannya dengan Arka. Kenneth menyuruh teman-temannya untuk pulang karena hari sudah hampir malam. Sementara ia memutuskan untuk pergi ke apartemen Kelvin untuk melihat laki-laki itu.
Namun nyatanya ia tidak langsung melajukam mobilnya ke apartemen. Di tengah jalan ada sebuah pameran barang-barang retro, yang memamerkan barang seperti kamera film, mesin tik, kaset tape, sampai radio.
Kenneth tertarik, ia turun dari mobil dan melangkah mendekati pameran yang di penuhi oleh pemuda dan pasangan tua itu.
Ia diam mengamati satu persatu barang-barang didepannya.
"Suka juga?".
Kenneth menoleh saat seseorang disampingnya tiba-tiba bertanya padanya, ia tersenyum tipis kemudian menggeleng kecil. "Nggak juga, cuma suka liatnya aja".
Orang itu merespon dengan senyum tipis. "Gue anak cinema, tapi gue juga suka liat ginian".
Kenneth melihat helaan napas yang keluar dari mulut orang itu. "Kenapa?".
Orang itu melirik. "Buat gue, rugi banget kalo nggak tau sedikit pun tentang estetika jaman dulu. Sekalipun ada barang yang lebih bagus dari radio, gue nggak mau munafik kalo radio masih jadi satu-satunya barang yang menarik mata gue waktu pertama kali gue liat".
Kenneth mengerut tidak paham, laki-laki didepannya ini menceritakan tentang diri sendiri.
"Ada beberapa hal yang nggak kita tau tapi nyatanya bisa nenangin kita. Sesederhana itu tapi kita terus nyari kepuasan sampe nggak pernah berhenti berharap, padahal di depan kita sendiri itu takdir yang di ciptain buat kita bahagia. Seenggaknya kita tau kalo hal sekecil apapun bisa buat kita bahagia, nggak melulu soal perasaan orang, tapi sesuatu semenarik radio bisa buat kita tenang".
Kenneth tertegun. Hatinya merasa tertumbuk dengan ribuan pecahan kaca. Ia terlalu berambisi membuat orangtuanya memaafkan kesalahannya, ia terlalu fokus pada tujuan dari awal permasalahan yang ia alami. Hingga cara ia menenangkan diri dengan hal yang salah yang justru tidak pernah membawanya pada kepuasan, hanya akan menyakiti diri sendiri dan perlahan membunuhnya.
Laki-laki dengan kemeja hitam itu mengulas senyum tipis. "Ada banyak cara yang bisa buat kita tenang, nggak dengan cara nyakitin diri sendiri. Lo harus kuat, seenggaknya tunggu sampe orang yang lo sayang natap mata lo lama. Jangan di bikin nyesel karena kita lahir di dunia ini, karena Tuhan mau kita liat kalo dunia itu punya hal yang indah". Kata laki laki itu menepuk pundak Kenneth dengan pelan.
Benar. Ia terus-menerus berkelahi dengan orang-orang hanya demi mengalihkan pikiran tentang orangtuanya yang setiap hari mengumbar kebencian padanya. Tanpa pernah menemukan hal lain yang bisa menenangkan diri dengan tidak menyakiti diri sendiri.
Ia terlalu fokus memikirkan masalahnya sampai tidak memikirkan tentang diri sendiri yang seharusnya di lindungi. Setidaknya kepedulian terhadap diri sendiri ia pikirkan, bukan terus menerus terjebak dalam pandangan kebencian orangtuanya.
Tidak lama setelah itu tangan Kenneth terangkat dan di genggamkan sebuah kamera film.
"Nggak berwarna sih, tapi nanti pasti lo lama-lama suka".
Orang itu berjalan menjauhi Kenneth setelah memberikan barang berupa kamera. Sementara Kenneth diam memperhatikan kamera ditangannya.
Kamera ini seperti hidupnya yang tidak memiliki warna.
'nanti pasti lo lama-lama suka'. Mulai sekarang ia harus terbiasa dengan keadaan dan posisinya, bertahun-tahun ia menjalani hal ini dengan ikhlas. Akan rugi bila ia menyerah sebelum ia menjemput kebahagiaannya sendiri.
**
"Harusnya kakak nggak perlu repot-repot bawa makanan kalo kesini, kakak kesini dengan keadaan baik-baik aja itu udah lebih dari cukup".
"Kakak nggak capek tiap hari babak belur gini? Ngilu kak yang liat".
Kelvin mengomel dengan cerewetnya pada Kenneth yang datang kerumahnya dengan kondisi tidak baik-baik saja. Ia sangat terkejut wajah Kenneth lebih lebam dan banyak darah, lebih buruk dari hari kemarin saat Kenneth membawakannya martabak.
Mungkin jika pakaian Kenneth tidak terjaga, orang-orang yang melewati laki-laki itu akan menganggap bahwa Kenneth adalah zombie.
Bayangkan saja. Lebam di sekitar wajah, sudut bibir yang memar dan berdarah. Belum lagi jalannya yang sedikit pincang. Meskipun Kenneth tidak merasakan sakit, tapi ia yakin langkah kaki itu cukup mengganggu.
Sejak tadi Kenneth tidak berhenti menggerutu, menatap malas pada Kelvin yang tidak berhenti mengomelinya. "Berisik banget sih, kalo nggak mau ngobatin ya mendingan diem".
Kelvin mencibir, namun tangannya tetap menempelkan es batu dalam handuk kecil ke wajah laki-laki didepannya ini.
"Sekarang kamu kelas berapa?". Tanya Kenneth.
"9". Jawab Kelvin singkat.
Kenneth mengangguk singkat. "Lulus nanti lanjutin di SMA kakak mau?".
Kelvin mengangguk setuju. "Boleh, aku ngikut aja lah".
Kenneth tidak lagi bertanya. Kakinya kini bertumpu pada paha Kelvin, secara tidak langsung menyuruh anak itu berhenti mengobatinya dan beralih untuk memijat kakinya.
Plak!!
"Akhh!! Sakit!!". Kenneth mengusap betisnya yang baru saja di tabok Kelvin. Dia mendelik pedas, Kelvin tidak menghiraukan itu, ia memijiti kaki Kenneth dengan santai.
"Kamu sering masak nggak?". Kenneth bertanya dengan mata tertutup, ia menikmati tiupan angin dari kipas angin dibelakangnya.
Kelvin tampak berpikir sesaat. Selama ia di apartemen, ia jarang memasak karena Kenneth sering membelikannya makanan. Ia hanya akan masak ketika sebutuhnya saja, saat ia lapar, atau Darel yang tiba-tiba mampir dan meminta makanan.
"Nggak setiap hari, kan kakak sering kesini bawa makanan. Paling kalo aku pengen aja, kalo enggak pas Darel kesini minta makan". Jawab Kelvin apa adanya.
Kenneth membuka matanya. "Darel minta makan?".
Kelvin mengangguk. "Iya kak, kalo nggak di kasih pasti ngambek lama lagi".
"Ck! Dah kayak anak kecil aja". Dengus Kenneth geli.
Kelvin terkekeh kecil. "Tapi gitu-gitu juga kalo kesini pasti bawa jajan, banyak banget lagi, di tinggal-tinggal juga jajannya. Lumayan buat kita main PS atau belajar kelompok".
Kenneth mengangguk singkat. Rasanya lega mendengar Kelvin menjadi lebih baik sekarang, tidak pernah mengeluh dan bisa menjaga diri. Ia juga senang banyak orang yang baik dengan laki-laki itu.
Setidaknya ia sudah berusaha merubah hidup Kelvin menjadi lebih baik. Ia tidak ingin Kelvin mengalami hal yang sama seperti dirinya, kekurangan sebuah kasih sayang. Mendengar ucapan Kelvin sekarang, setidaknya ia merasa berharga untuk laki-laki itu karena ia memberikan kasih sayang walau berbeda dengan seorang orangtua.
Kelvin tidak pernah terlihat sedih, bahkan setiap hari selalu ceria. Pemuda itu selalu bercerita tentang hari-harinya, bagaimana ia menemukan teman baru, hal-hal baru. Ia tidak ingin membuat Kelvin seperti dulu lagi, atau mengikuti jejaknya yang tidak mendapatkan perhatian lagi.
Ia akan terus menjaga Kelvin. Adiknya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments