Chapter 1

Kenneth menendang punggung Arka hingga laki laki itu terpental ke tembok. Tangannya mengepal melihat Cameron yang terkapar tidak berdaya di atas lantai. Ia menatap nyalang pada Arka yang sudah berdiri dan menarik sudut bibirnya.

"Akhirnya dateng juga lo pecundang!! Harus di pancing dulu biar dateng ya?!!". Kata Arka terkekeh kecil.

Kenneth tidak suka basa-basi. Dia mulai membogem Arka bertubi-tubi, tidak memberi jeda untuk musuhnya bergerak.

Raut wajahnya masih tenang. Ingatan Kenzo yang membela dirinya di depan Fina terlintas begitu saja. Siang tadi, setelah Kenzo marah, laki laki itu menghampirinya dengan membawa makanan kesukaan mereka. Kenneth tidak makan, membuat saudaranya itu marah dan mengomelinya habis-habisan.

Juga, Fina yang semakin benci padanya karena Kenzo yang marah pada wanita itu.

Jika saja Kenzo berhenti membelanya, meskipun itu tidak mengubah apapun. Dia masih bisa melihat wajah bahagia Fina dan Reyhan, walaupun itu bukan karenanya.

Itu sudah lebih dari sekedar cukup.

Namun tindakan Kenzo sangat ceroboh.

Terakhir. Kenneth membanting tubuh Arka ke lantai, wajah Arka penuh luka lebam yang membiru dengan darah diujung bibir yang semakin menggelap.

Arka terkekeh sinis. "Kenapa nggak bunuh gue aja?".

Sialan!. Kenneth mengumpat samar, tanpa ampun dia menendang tubuh lemas Arka dengan keras membuat tubuh itu terpental dan terkulai lemah di atas lantai.

Dylan yang baru datang bersama Bastian membelalak saat Kenneth berjalan mendekati Arka, dia berlari menuju laki laki itu dan menahan tubuhnya.

Sementara Bastian berlari menyelamatkan Cameron, memapah tubuh lemas itu untuk duduk di kursi usang tak jauh dari jangkauan. Kemudian menyadarkan temannya dengan sabar.

"LO GILA HA?!!! DIA BISA MATI GOBLOK!!". Dylan mendorong tubuh Kenneth hingga terbentur ke tembok.

Dylan dengan nafas memburu kembali berucap. "Sadar Ken sadar!!".

Kenneth tidak merespon, ia terduduk di lantai dengan pandangan kosong.

Kembali teringat dengan ucapan Kenzo yang bertengkar dengan Fina tadi siang.

'Ma!! Kenneth itu juga anak mama, dia saudara kembar aku!! Kita kembar ma, aku punya saudara!!'.

'Cukup Kenzo, kamu itu satu-satunya anak mama!!'.

Jika pada akhirnya hidupnya hanya ada penolakan, untuk apa dia di biarkan berlama-lama di sini. Tempat ini terlalu berharga untuknya, orang-orang seperti dirinya yang hanya bisa menciptakan luka dan tidak seharusnya ada.

"Lo harusnya cerita kalo ada masalah, lo punya kita Ken".

Kenneth mendongak, memandang wajah khawatir Dylan yang dilayangkan padanya. Sesaat melihat tatapan sendu itu. Ia berfikir kapan terakhir kali Fina menunjukan hal itu padanya.

Saat itu. Kenneth kecil yang malang di bully tetangga karena takut dengan kucing. Waktu itu Fina datang membawanya pergi, namun sebelum itu ia mengomeli tetangga mereka.

Fina menggendongnya sembari bertanya tentang luka yang ia terima dari tetangga mereka.

'Sakit ya nak?'.

'Ayo kita obatin luka kamu, tenang ya sayang'.

Waktu itu Fina memeluknya, menyalurkan kekhawatiran luar biasa sebab melihat luka garis tiga merah yang mengeluarkan darah di lengannya. Wanita itu bahkan mengelusnya dengan sayang. Mengobati lukanya dengan telaten, dan tatapan hangat itu masih ada.

Sekarang ia merindukan itu semua.

Fina tidak lagi memeluknya, menunjukan kekhawatiran seperti saat ini Dylan menatapnya. Sampai ia membuat luka dan mengeluarkan darah sebanyak apapun Fina tidak akan mengobatinya, atau Fina yang bahkan mengecupnya. Fina tidak seperti dulu lagi. Wanita itu menjauh sejauh-jauhnya dari dirinya.

"Ken, lo okey?". Tanya Bastian yang melihat Kenneth tidak bergeming.

Kenneth menyorot pada Bastian, temannya itu juga menanyakan keadaannya. Apakah jika nanti ia pulang ke rumah, Fina akan bersikap seperti ini.

Ia jelas tidak apa-apa. Jika seribu tusukan jarum ada ditubuhnya pun ia akan tetap baik-baik saja. Ia terlanjur mati rasa karena terlalu sering menerima setiap luka.

Kenneth berdiri, menepuk-nepuk badannya yang kotor karena debu. "Gue nggak papa. Bawa Cameron ke rumah sakit, gue pulang".

"Hati hati lo". Kata Dylan yang di balas anggukan oleh Kenneth.

Sebelum melangkah. Ia lebih dulu melihat kondisi Arka. Laki laki bertato itu terkapar penuh luka dan darah ditubuhnya.

Jika saja Arka tidak melibatkan temannya, Cameron. Ia pasti akan menerima setiap pukulan Arka, ia pasti tidak akan melawan. Demi untuk menetralkan ucapan Fina dan sorot kebencian Reyhan yang seperti racun untuknya.

Menyakitinya kemudian membunuhnya dengan perlahan.

Kenneth mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, menembus dinginnya angin yang menusuk sampai tulang. Menikmati suara deru kendaraan yang saling bersahutan, sesekali memandang kelap-kelip lampu jalanan yang memanjakan mata.

Sebagai salah satu penenang saat dia tidak baik-baik saja. Walaupun sementara, ia selalu menghargai isi semesta yang setidaknya membiarkan dirinya bebas untuk menikmati keindahannya.

Mobil Kenneth berhenti di salah satu kedai kopi dan martabak.

Ia memasuki kedai itu dengan santai. Pemilik kedai menyambut dengan hangat, ia adalah pelanggan yang sering datang mengunjungi kedai. Bersama teman-temannya ketika senggang, atau yang sesekali bolos sekolah.

"Kopi dua sama martabak manis dua, bungkus ya". Kata Kenneth yang menyebutkan pesanannya.

"Nggak makan disini?". Tanya Aska, pemilik cafe sekaligus kasir itu memperhatikan Kenneth yang duduk di kursi depan meja bar.

Kenneth menggeleng dengan senyum tipis. "Lagi enggak dulu bang. Ditungguin sama yang punya, kapan kapan saya kesini sama adik saya". Jawabnya sopan.

Aska tersenyum tipis sambil membuat kopi. "Nggak sama temen-temen kamu? Kemaren juga mereka kesini sih, tapi saya nggak liat kamu".

"Kalian berantem?". Lanjutnya bercanda.

Kenneth meringis. "Mungkin saya yang lagi libur, dan kita nggak pernah berantem".

Semarah-marahnya mereka ketika bertengkar. Kenneth tidak pernah pergi menjauh. Dylan yang walau emosian tidak pernah menghindari masalah sebelum tuntas. Atau Bastian yang orangnya tenang selalu menjadi penengah. Dan Cameron, laki laki polos itu tidak pernah mengambil hati ucapan atau tindakan kasar seseorang.

Sejauh ini mereka selalu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

"Ini. Kopinya gratis, kamu bayar martabaknya aja". Aska menyodorkan totebag berisi pesanan Kenneth.

Kenneth menerima dengan berat hati. "Loh kok gitu bang?, saya bayar dua duanya aja ya".

"Bayar martabaknya aja. Kemarin Cameron minta jatah kopi gratis, karena kamu nggak dateng jadi jatah kamu sekalian sekarang". Sahut Aska menerangkan.

"Yaudah ini bang, maafin temen-temen saya yang suka gratisan ya bang". Ucap Kenneth yang menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan dan merasa bersalah. Lihat saja nanti jika Cameron sadar, dia akan menyuruh temannya itu untuk bayar kopi dua kali lipat jika mereka mampir kesini.

Aska tertawa. "Santai aja Ken. Sana pulang, nanti ditungguin sama yang punya martabak".

Kenneth meringis. "Saya pulang dulu bang".

"Iya hati hati".

Setelah pamit, Kenneth kembali mengendarai mobilnya. Menuju sebuah apartemen yang tak jauh dari kedai tadi. Dia turun dari mobil, menaiki lift menuju salah satu kamar.

Kenneth menekan tombol password apartemen, sesaat setelah terbuka, ia melihat sepasang sepatu di rak.

Orang itu sudah pulang.

Karena apartemen yang memiliki dua pintu utama, ia mengetuk pintu kedua.

Tok tok tok!!.

"Iya bentar". Suara berat itu menyahuti.

Kenneth menunggu.

Tidak lama pintu terbuka.

"Kak Kenneth!!"

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!