Chapter 6

Kenneth berhenti ketika Arka berdiri tak jauh darinya. Laki laki itu terlihat sendirian, mungkin beberapa menit kemudian setelah ia mengaparkan laki-laki itu ke tanah baru pasukannya akan datang. Itu hal yang biasa. Arka tidak pernah tidak curang.

Kenneth memasukan tangannya ke saku jaket, melihat Arka dengan wajah tenang.

Berbeda dengan Arka yang terlihat tidak suka melihat raut wajah tenang itu yang selalu mengusiknya. Ia merasa selalu kalah saat setelah pertandingan mereka selesai, namun wajah dan pergerakan tubuh Kenneth masih biasa saja. Tidak menunjukkan rasa sakit walau hal sekecil apapun itu, juga wajah tenang itu tidak pernah meringis barang ia memukulnya berkali-kali.

Kenneth sangat berbeda dengan petarung pada umumnya.

"Lo sendiri?". Tanya Arka sinis.

Kenneth tersenyum tipis. "Ada Bastian, Dylan sama Cameron di luar".

Sontak Arka mendelik, namun menjadi agak tenang saat Kenneth melanjutkan ucapannya.

"Tenang aja, mereka cuma nemenin sama nganterin minum. Lo sendiri gimana? Bawa berapa orang?".

Harga diri Arka kini merasa tercabik-cabik, dia melihat sudut bibir Kenneth terangkat yang ia artikan sebagai meremehkan dirinya. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, gemelatuk gigi terdengar keras melewati telinganya.

"Bacot!! Sekarang kita duel sampe gue bisa mampusin lo!!".

Kenneth tersenyum senang, dua jarinya terangkat sebagai tanda untuk memulai pertandingan.

Tidak banyak basa-basi. Arka menarik kerah kemeja putih berlapis jaket Kenneth lalu membentur tubuh itu ke tembok, tangannya mengepal lalu membogem wajah Kenneth tanpa ampun. Kenneth sendiri belum ingin melawan, ia membiarkan Arka puas meninjunya.

Bugh

Bugh

Bugh

Suara bogem itu semakin menjadi. Arka menendang perut Kenneth, kembali membogem wajah Kenneth hingga sudut bibir lebam laki-laki itu mengeluarkan tetesan darah.

Deru nafas saling memburu. Arka semakin menggila saat Kenneth tidak menunjukan pembalasan.

"LO GILA HA?!! LO MAU MATI DI TAHAN GUE?!!!".

"BALES GUE SIALAN!!".

"BRENGSEK JANGAN DIEM AJA!!".

Kenneth masih menunjukan wajah tenangnya, matanya berkedip saat nafas Arka memburu meneriakinya.

Arka membanting tubuh Kenneth ke tanah, tangannya kembali membogem wajah sialan itu tanpa ampun.

Tak lama ia berhenti.

Mata Kenneth kembali berkedip. "Nggak lo lanjutin?". Tanyanya sambil meniup poni tipisnya ke atas.

Wajah Arka di buat memerah, kepalan tangannya semakin mengerat menunjukkan buku-buku jarinya yang memutih.

Bugh

Pukulan keras itu melayang di wajah Kenneth, hingga hidung Kenneth mengeluarkan setetes darah segar. Tak sampai disitu, Arka menarik baju Kenneth hingga tubuh lunglai Kenneth terangkat. Mendorongnya sampai ke tembok, lalu menatap tajam mata kelam itu.

"Bukan ini yang gue mau. Lo bales gue, gue nggak mau bunuh lo sekarang".

Kenneth menarik sudut bibirnya, mengangguk singkat.

Arka melihat darah dari hidung Kenneth semakin mengalir deras.

Tes

Tes

Tes

Melewati tangannya yang mengepal kuat. Ia menyeringai kecil.

"Ayo bales, gue mau bunuh lo pelan-pelan biar seru".

Bugh

Pukulan itu menjadi pertanda awal.

Tubuh Kenneth ambruk, ia mengusap kasar sudut bibirnya yang sialnya masih mengeluarkan darah.

Melihat Arka yang berdiri tersenyum sinis padanya, membuat ia tertarik.

Ia berdiri. Baiklah, ini masih pemanasan.

Kenneth berjalan mendekati Arka, ia mendorong tubuh Arka lalu memukulinya bertubi-tubi. Tidak membiarkan Arka membalasnya, juga ia tidak membiarkan bibir sombong itu menyeringai meremehkan dirinya.

Bugh

Bugh

Bugh

"Sebaiknya kamu jauh-jauh dari Kenzo, saya nggak mau anak saya ikut-ikutan liar kaya kamu".

Ingatan itu kembali terlintas tanpa ampun ke otaknya. Fina dengan gampang mengucapkan hal menyakitkan itu pada dirinya, Fina begitu mudah menjatuhkan perasaannya tanpa pernah peduli.

Kalimat sederhana yang selalu membuat dirinya merasa jatuh ke dasar jurang. Gelap, sunyi, dan mencekam. Ia seharusnya sadar bahwa Fina tidak lagi seperti dulu, yang melihatnya sebagai seorang anak. Fina tidak lagi seperti dulu yang menyayanginya tanpa pernah membedakan hal apapun antara ia dan Kenzo.

Wanita itu sudah tidak berpihak padanya lagi.

Bugh

Terlihat kepala Arka menggeleng, mencoba membuat Kenneth mengerti untuk menghentikan perkelahian mereka. Kenneth tidak menghiraukan ekspresi wajah ketakutan itu, matanya terlanjur menggelap untuk menghabisi Arka.

"Dengan liat kamu baru pulang jam segini, saya yakin kamu bukan anak baik-baik. Mungkin kamu udah sering mabok, atau sering balapan liar di luaran sana".

Jika di paksa mendengar ucapan itu lagi, mungkin ia akan tertawa dengan keras. Menertawai hidupnya sendiri karena miris bahwa orangtuanya saja tidak mengetahui jalan hidupnya, hingga tidak mengerti apa-apa tentangnya.

Fina bahkan tidak mau melihat dirinya yang berusaha mengobati luka diwajahnya, atau sekedar melirik bahwa ia terluka. Atau menyadari bahwa selama ini ia banyak menghabiskan waktu untuk memukuli dirinya sendiri. Karena selama bertahun-tahun hidupnya, ia tidak pernah merasakan yang namanya sakit. Yang ada hanya kecewa, kecewa, dan kecewa.

Jika saja ia berharap bahwa orangtuanya meminta maaf padanya atas semua luka yang ia terima, ia dengan senang hati memaafkan mereka. Menerima pelukan hangat mereka jika ia menginginkannya.

Tapi ia mengerti bahwa itu masih dalam kata 'seandainya', masih dengan embel-embel harapan. Entah berapa tahun lagi ia bisa bertahan hidup dengan semuanya, yang ia jalani dan yang ia terima.

Ia masih menunggu Fina dan Reyhan mendekapnya erat, tidak membiarkan tangannya bergelantungan sendiri karena ada mereka dan juga Kenzo saudaranya.

Ia masih mengharapkan keluarga hangat yang sebenarnya.

Bugh

Tubuh Arka terkulai lemas di atas lantai. Tak lama beberapa orang mendekati Arka, membantu tubuh lemah itu untuk berdiri.

Kenneth mendecak sinis. Sudah ia duga bahwa Arka tidak mungkin datang sendiri, pecundang itu terlalu berani untuk ukuran anak manja jika berhadapan dengannya sendiri.

"Lumayan juga lo". Kata Arka dengan ucapan tersendat, tidak lupa menampilkan senyum remeh seperti biasa.

Melihat itu Kenneth menggeleng heran. Dalam keadaan sekarat seperti itu manusia seperti Arka masih saja menyombongkan diri, tidak mau menerima kekalahan dengan lapang.

Arka menyentak pelan tangan teman-temannya, ia menyeret langkah kakinya menuju Kenneth.

Bugh

Arka membogem wajah Kenneth sebagai akhir dari pertarungan mereka. "Gue nggak bakal pukul kakak lo, tenang aja". Lirihnya dengan kekehan kecil.

Mata tajam Kenneth menusuk Arka, ia mendorong tubuh lemah itu hingga Arka terdorong dengan mudah. "Sekali lo sentuh dia, gue nggak akan biarin orang nggak berguna kayak lo hidup lagi".

Arka tertawa. "Haha!! Selow aja, gue lagi bercanda". Arka berjalan gontai keluar gedung, disusul oleh teman-temannya mengekor di belakang.

Bastian baru datang bersama Cameron dan Dylan, ia sedikit melirik Arka yang ambruk lalu di angkat oleh teman-temannya.

"Gila kali tuh orang, untung aja main aman". Celetuk Cameron yang diakhiri dengan umpatan samar.

Bastian memaksa Kenneth untuk duduk di kursi yang tak jauh dari mereka. Menodongkan air mineral yang ia dapat secara paksa dari Cameron.

"Minum dulu".

Kenneth mengangguk. "Hem, gue haus juga satu jam gini".

"Kok lo gini-gini aja sih Ken?". Dylan bertanya.

Kenneth yang sedang membersihkan wajah penuh darah dengan air seketika mendongak menatap Dylan.

"Emang lo maunya gue gimana? Mati?". Balasnya dengan diakhiri helaan napas.

Dylan mendelik. "Bukan gitu juga woy!! Lo tepar kek biar gue bopong lo ke rumah sakit, nggak pernah tuh kalo lo abis gelut trus ke rumah sakit".

Melihat Cameron yang menyodorkan nasi ayam pada Kenneth membuat ia menggeleng heran, apalagi kini Bastian memijit punggung Kenneth, sesekali juga memukul ringan.

"Ini malah minta makan".

Kenneth membalas itu dengan senyuman tipis.

"Kan laper".

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!