Seperti yang di rencanakan Kenzo, laki-laki itu tidak tidur satu ranjang dengan Kenneth. Karena ia tau Kenneth akan risih, maka ia tidur di sleep bag sesuai dengan yang ia mau.
Kenzo memandangi Kenneth yang sedang bersandar di ranjang, adiknya itu sedang serius membaca buku.
Kenzo berdehem kecil. "Ken". Panggilnya.
"Hemm". Jawab Kenneth singkat.
Kenzo memalingkan wajahnya, ia bingung harus bertanya apa. Ia juga mendadak blank untuk bertanya tentang kejadian tadi siang. Juga ia ingin bertanya tentang apa yang diucapkan Fina waktu itu. Diotaknya hanya ada Kenneth, Kenneth, dan Kenneth.
"Ken". Panggilannya lagi.
Kenneth yang jengah ia menutup bukunya. Melirik Kenzo dengan sorot malas. "Ngomong ya ngomong aja". Balasnya yang langsung membuka bukunya kembali.
"Tadi siang lo kenapa?".
Kenneth menatap ke depan, hembusan nafasnya melemas. Ia tau bahwa Kenzo melihatnya siang tadi saat ia keluar dari ruang BK. Dirinya berpura-pura tidak tau, namun dalam hatinya juga gelisah jika seandainya nanti Kenzo bertanya seperti ini.
Ia menjawab seperti apa.
Dan itu benar. Kenzo tidak akan membiarkan otaknya untuk berhenti berfikir tentang bagaimana cara untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu. Kenzo sangat peduli padanya.
"Emang gue kenapa? Gue nggak kenapa-kenapa". Jawabnya tenang, matanya kembali fokus pada buku.
Kenzo mendecak pelan. "Gue nanya ngapain lo nanya balik sih!".
"Ngerokok".
Kenzo melebarkan matanya, ia melompat ke sisi ranjang Kenneth. Menabok pelan punggung adiknya. "Serius lo?!!!".
"Bastian sama Cameron".
Kenzo semakin melotot, ia melongo tak percaya. "Apa lo bilang?!! Bastian? Cameron?".
"Cameron? Cowok mami gitu bisa ngerokok juga? Nggak percaya gue!".
Kenneth menghela nafas berat. "Jangan nilai orang dari covernya aja. Bahkan gue bisa bilang kalo Cameron lebih gentle dari lo".
Kenzo merapatkan bibirnya saat Kenneth menatapnya sinis. Hatinya merasa tercubit jika menyangkut tentang kejantanannya. Ia merasa diragukan.
"Ken".
"Apa lagi?".
Kenzo masih diam, ia memperhatikan Kenneth yang sepertinya tidak pernah bosan membaca buku. Memang pantas. Kenneth itu pintar melebihi dirinya, tapi Kenneth sedikit lemah dalam bidang olahraga tidak seperti dirinya yang berulangkali mencetak prestasi olahraga.
"Mama kemarin bilang apa sama lo?".
Kenneth melirik sebentar kemudian kembali membaca buku. "Nyuruh gue buat jauhin lo".
"Jadi mulai besok lo nggak usah ke kamar gue lagi, nggak usah deket-deket gue lagi".
Kenzo memalingkan wajahnya dengan hati yang remuk. Jika orangtuanya sekarang ada di rumah, sudah dipastikan ia akan menanyakan masalah ini pada Fina. Tetapi mereka ada sebuah urusan dengan perusahaan, sehingga ia harus menelan bulat masalah itu hingga besok.
Kenzo sangat bingung, pusat hatinya seperti di paksa untuk memilih. Membela Kenneth dan mengeluarkan saudaranya dari keterpurukan, atau tetap diam menurut pada orangtuanya dan melihat Kenneth yang setiap hari terluka.
Setiap harinya, otaknya selalu diliputi berbagai tanda tanya. Bagaimana cara ia menyelamatkan Kenneth. Bagaimana cara ia membuat orangtuanya peduli pada anaknya kembali.
Ia tidak ingin keluarganya hancur.
"Ken". Panggilnya dengan suara serak.
Kenneth menoleh, mengangkat sebelah alisnya.
"Mendingan kita kabur aja ke luar negeri. Lo mau ke Finlandia kan? Ayo kita kesana, dan nggak usah balik ke rumah ini lagi".
Gila. Kenzo benar-benar gila.
Kenneth menghela napas dengan menggeleng malas. "Lo aja sana, gue nggak minat".
**
Darel membuka lemari kulkas. Menemukan air mineral dan mengambilnya. Ia kemudian berjalan menuju Kelvin yang duduk di atas sofa, sedang menonton film horor kesukaannya.
Ia duduk sambil menenggak air mineral ditangannya itu, melirik Kelvin yang fokus menonton. Hingga tidak sadar saat ia dengan pelan mengambil keripik singkong yang ada di kukungan sahabatnya itu.
Darel tersenyum sumringah, laki-laki itu melahap semua keripik Kelvin sampai habis.
Kelvin menonton hingga tanpa sadar membuka sedikit mulutnya, hingga membuat Darel sesekali mengatupkan rahangnya.
"Lo makan mulu, nanti filmnya lewat lo nggak nonton lagi". Cibir Kelvin yang jengah mendengar suara mulut Darel yang terus makan.
Darel memejamkan mata tak peduli. "Lo nonton mulu, sampe nggak sadar jajannya gue ambil".
Kelvin menegakan tubuhnya hingga tersadar camilannya telah lenyap. Ia mengumpat samar namun Darel masih tidak peduli, ia terus memakan camilan Kelvin sampai habis.
"Lagian udah gue tonton ulang-ulang gitu ya bosen lah".
Kelvin menyeringai sinis, menabok wajah Darel namun matanya masih fokus pada film.
Darel mengusap pipinya. "Kak Kenneth nggak kesini?".
"Enggak".
"Yaahh padahal mau gue ajak main PS". Katanya memasang wajah kecewa.
Kelvin melengos tak peduli. Memang, Kenneth dan Darel itu jarang bertemu. Darel pulang sekolah itu tidak langsung ke rumah, tapi mampir ke sekolah anak SMA untuk membantu tawuran. Jika Kenneth. Ia tidak tau kakaknya itu ada urusan apa, namun yang pasti jika ke apartemen pasti dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Dan sekalinya Kenneth dan Darel bertemu, mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain PS. Dirinya hanya bisa pasrah mendengar umpatan atau jeritan mereka. Sementara ia hanya duduk, kadang belajar, kadang membaca komik, atau kadang mengerjakan tugas.
"Besok pasti kesini, puas puasin tuh main PS". Jawab Kelvin malas. "Eh ini masih berapa menit lagi?".
Darel melirik film sebentar. "15 menitan lagi juga abis. Yang cowok mati yang ceweknya nggak terima jadi ikutan mati bunuh diri".
Bugh
"Nggak asik lo spoiler".
Darel mengaduh karena pipinya kembali mendapat tabokan, ia melengos panjang. "Ada makanan nggak sih?". Tanyanya celingukan mencari tau. "Gue laper Vin".
"Masak mie aja sana, sekalian gue juga".
Mau tak mau Darel menurut, ia berjalan ke dapur untuk membuat mie. Jarak dapur dengan ruang tamu itu sangat dekat, sehingga mereka masih bisa mengobrol.
"Lo pedes nggak?!!!".
"Nggak usah teriak-teriak, gue depan lo!!".
Darel meringis kecil.
"Pedes nggak?".
"Enggak".
Darel menurut. Sekitar sepuluh menit ia kembali dengan dua mangkuk mie instan kuah. "Buat lo yang ngga pedes".
"Thanks". Kelvin mengambil satu mangkuk.
"Sejauh apa lo deket sama kak Kenneth". Darel memulai pembicaraan. Ia sedikit ingin tau tentang tali persaudaraan antara sahabatnya itu dengan Kenneth. Apalagi Kenneth sampai menyembunyikan Kelvin dari keluarga laki-laki itu sendiri.
Agak aneh menurut Darel, namun ia tepis pikiran itu. Demi membuat Kelvin nyaman bersahabat dengannya. Dan ia yang tetap mengenal baik Kenneth, yang ia anggap seperti kakaknya sendiri. Pun demikian.
Filmnya selesai. Kelvin memang mendengar pertanyaan Darel, ia menoleh pada laki laki itu. "Kayak kakak sama adek sih kata gue".
Darel mengangguk. "Udah pernah buka-bukaan?".
Kelvin mengernyit aneh. "Maksud lo?".
"M-maksud gue, rahasia gitu. Tentang masalah kek, keluarga kek, atau masa lalu gitu". Jawab Darel menjelaskan.
Kelvin mengerutkan keningnya tampak berfikir. Selama iya mengenal Kenneth, hanya dia yang menceritakan segala kehidupannya. Termasuk bagaimana ia di kasari oleh orangtuanya, pembullyan yang ia alami, dan tentang sehari-harinya.
Ia tanpa ragu menceritakan semuanya, karena sejak awal ia melihat Kenneth pun ia sudah sangat percaya dengan laki-laki itu.
Tetapi sedikitpun ia tidak pernah mendengar Kenneth bercerita. Tentang keluarga, masalah, atau kehidupan pribadi laki-laki itu.
Yang paling berpusat dipikirannya adalah. Mengapa Kenneth tidak pernah baik-baik saja. Laki-laki itu seakan memiliki masalah yang berat, terlihat dari matanya yang selalu lelah.
Seperti orang yang memiliki banyak pikiran.
"Gue bingung".
Jawaban itu membuat Darel ikut berfikir.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments