Air terjun Toya Marto yang merupakan pintu masuk pada Goa pertapaan dari Nyai Pandan Sari. Malam itu, di bawah redupnya cahaya bulan, di bawah air terjun dengan percikan yang membentuk keindahan, Sulasna duduk di atas sebuah batu.
Badannya tegak, tangannya bersedekah di dada. Dengan posisi tangan kanan di depan, kedua ibu jari di sembunyikan di bawah ketiak dengan empat jari masing masing memegang lengan di atas siku. Sedangkan kakinya bersila membentuk daun teratai. Kaki kanan berada di atas. Matanya lurus memandang ke depan. Ia hanya memandang lurus pada arah dan tujuan. Nafasnya perlahan masuk kemudian dengan hembusan pelan ia keluarkan. Setelah tiga kali nafas masuk dan keluar, perlahan matanya menatap pada pucuk hidungnya.
"Iki aku kang jumeneng, hanguwasani marang jagad cilik, (Ini aku yang berdiri menguasai jagad kecilku (badan))," ucap Sulasna pelan.
Sementara Nyai Selayar dan juga Nyai Pandan Sari berada di dalam Gowa. Namun pandangan mata dari jauh tetap menatap pada keberadaan dari Sulasna.
"Anakmu sangat berbakat. Setelah kemarin ia menguasai energi gunung dan tanah, kini ia akan bersemedi untuk menyatukan energi air," ujar Nyai Pandan Sari kepada Nyai Selayar.
"Iya, Nyai Guru. Semoga Sulasna bisa berhasil," ujar Nyai Selayar.
Hehehe, jangan khawatir, Ndhuk. Anakmu itu jelas akan berhasil. Bahkan ia akan berhasil dengan cepet. Saya yakin dalam hitungan tidak genap tujuh hari dia telah mampu menaklukkan energi air," ungkap Nyai Pandan Sari.
Nyai Selayar menatap gurunya kemudian ia menganggukkan kepala..
Sementara Sulasna yang telah duduk samadi, mendengarkan gemericik air terjun Toya Marta. Dirinya menikmati alunan air bagaikan menikmati musik yang indah. Ya, musik dari dawai alam yang terus mengalun pada telinganya
Tiba tiba, tanpa di sadari oleh Sulasna, air terjun yang selalu gemericik dengan cipratannya berubah menjadi naga yang besar. Naga berwarna hijau besar dengan mahkota dan mulutnya menganga, matanya melotot seolah hendak menangkap pada Sulasna.
Sulasna telah bersiap akan mengambil senjatanya. Tapi ia ingat pada pesan Nyai Pandan Sari, saat sebelum ia menuju Samadi.
"Senjata yang paling tajam adalah hatimu, ia mampu melumpuhkan tanpa melukai," ujar Nyai Pandan Sari terngiang pada telinganya.
"Kok bisa begitu, Nyai Guru?" tanya Sulasna.
"Hati bisa menjadi Pedang, namanya Pedang Sir Ingsun. Bila menjadi Tombak namanya Tombak Sir Ingsun, bisa menjadi panah namanya Panah Sir Ingsun. Semua bermuara pada hari yang suci," ujar Nyai Pandan Sari.
Naga itu menjulur mendekat Pada Sulasna. Sulasna diam dalam samadinya. Hatinya kemudian berkata, "Pergilah, Sebelum aku menghantam dirimu dengan Pedang Sir Ingsun".
Tanpa bicara naga itu meliuk berbalik meninggalkan Sulasna. Tiba tiba bisa naga mengenai ekornya sendiri dengan dentuman yang dahsyat.
Gler....
Sekejap Naga telah berubah kembali menjadi air terjun Toya Marta.
Sulasna tetap duduk dalam samadi. Ia rasakan aliran air masuk pada tubuhnya. Air jernih mengalir pada tubuh Sulasna dari ubun ubun kemudian merayap turun hingga kakinya
Meski demikian Sulasna tetap tak bergerak. Matanya tetap memandang pada hidung dengan nafas yang bergerak keluar masuk, menghantarkan diri Sulasna pada sebuah kenyamanan.
Batu batu besar di hadapan Sulasna, seolah membangun keperkasaan jiwanya.
Banteng besar dengan tanduknya yang perkasa datang akan menyergapnya. Ia seolah akan menyeruduk pada Sulasna yang tiba tiba berdiri menyambut kedatangan banteng tersebut.
Dengan sekuat tenaga banteng itu menyergap Sulasna. Namun ia hanya memiringkan tenaganya. sehingga serudukannya hanya mengenai udara. Tapi sekejap kilat Banteng itu kembali menyeruduk ya dari arah yang berlawanan. Sulasna dengan cekatan meloncat dan menaiki tubuh banteng tersebut.
"Aku tak ingin melukaimu, bila kau mau pergi. Namun bila tidak, Tombak Sir Ingsun akan aku gunakan untuk menghancurkan dirimu," ujar Sulasna.
Banteng itu berlari cepat, dengan salto Sulasna telah bisa berdiri di atas batu lagi. Sedangkan tanduk banteng itu mengenai batu.
"Dhug ...... Craaaas...."
Banteng tersebut mengeluarkan asap putih dan berubah menjadi batu.
"Aku, ternyata aku masih duduk di batu. Lantas siapa aku bisa berdiri.?" tanya Sulasna pada dirinya.
Sulasna merasa heran pada dirinya yang bisa berubah menjadi dua. Belum selesai rasa heran tiba tiba di samping kanan dan kirinya juga ada dirinya lagi.
Sulasna semakin bingung.
"Aku adalah Sulasna," keempatnya bareng mengatakan.
Semua gerakan semua keinginan semua mengikuti secara bersama. Sulasna bertambah bingung melihat keadaan yang seperti ini.
Ia mengingat ingat apa yang di katakan Nyai Pandan Sari, " Yang paling sulit adalah melawan nafsu dan keinginan. Sedangkan bila kita berpijak pada hari, semua nafsu dan keinginan akan mampu kita bedakan".
Kalimat itu yang mengantarkan dirinya bersila di batu itu. Belum habis berfikir dengan tiba tiba, muncul lagi sosok dirinya. Kini dirinya juga bersila menatap dirinya. Tapi dia tak mau berfikir panjang, ia menguatkan hati dan keyakinannya.
"Aku, Ya Aku Kang Nguwasani jagad cilikku," kalimat itu terucap pada kedalaman hati.
Ketiga bayangan dirinya itu mengepul menjadi asap, berwarna merah, berwarna hitam, berwarna kuning menyatu dengan dirinya. Dan setelah bayangan ketiganya masuk pada dirinya yang bersila, kemudian dirinya yang berhadapan merubah menjadi asap putih dan masuk pada dirinya yang bersamadi.
*****
Matahari telah sepenggalah. Rasa hangat menyengat pada tubuh Sulasna. Sulasna membuka matanya. Ia mengedipkan matanya berkali kali, dengan kediua telapak tangan digunakan untuk mengusap wajahnya.
Kedua kakinya memudarkan dari posisi Samadi. Ia berdiri di atas batu menghadap pada air terjun Toya Marta. Dengan sekali loncat, ia telah sampai di balik air terjun.
"Sulasna, masuklah. Aku dan Simbokmu telah menanti, hehehe," ujar Nyai Pandan Sari.
Sulasna dengan tenang memasuki lorong goa batu itu.
"Sulasna, Syukur pada Tuhan, kau telah selesai dalam samadi," ujar Nyai Selayar.
"Iya, Mbok. Saya sudah bisa menyelesaikan dalam samadi," ujar Sulasn sambil merangkul Simboknya.
"Apa yang kau ketahui, Sulasna? tanya Nyai Pandan Sari.
Sulasna menceritakan apa yang di alaminya dalam samadi. Dari ia bertemu naga, banteng dan juga dirinya yang bisa menjadi dua kemudian empat hingga menjadi lima.
Nyai Pandan Sari tertawa terkekeh kekeh mendengar apa yang di tuturkan Sulasna.
"Naga itu, adalah nafsumu. Ia merobah menjadi Naga dalam pandanganmu. Itu berasal dari kemarahan dan keserakahan kita. Maka kita harus bisa mengalahkan. Sedangkan yang berbentuk banteng adalah nafsu dari kesombongan kita. Merasa perkasa, merasa bisa dan kuat. Dan itu juga harus kita kalahkan. Kekuatan kita, keinginan kita bisa terwujud adalah anugrah dari Tuhan Yang Maha Tunggal," kata Nyai Pandan Sari.
Sulasna menganggukkan kepalanya.
"Sedang dirimu bisa menjadi empat hingga lima, adalah wujud nafsu menjadi dirimu. Nafsu bisa berdir tapi harus dikendalikan oleh hati. Sebab pengontrol sejati pada nafsu dan batin kita adalah hati," terang Nyai Pandan Sari.
Sulasna kembali menganggukkan kepalanya.
Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
putri
lanjut
2023-02-21
0