Pagi baru menyingsing, hawa dingin belum hilang dari Alas Toya Marta. Sulasna telah berangkat meninggalkan pertapaan di Goa Toya Marta untuk menuju Gunung Watu yang tidak jauh dari tempat tersebut. Di sebut Gunung Watu karena di lokasi itu terdapat batu batuan yang besar.
Ada yang bentuknya bulat dan panjang dan yang ujung kecil panjang seperti terkikis, di sebut Watu Gajah. Karena bila di pandang sekilas memang mirip gajah. Yang di sampingnya watu gajah, ada batu yang bulat panjang seperti kayu berjajar. Orang di situ menamakan watu gepuk. Di sebelahnya ada batu yang kikisan membentuk seperti gawang pintu orang menamakan watu Lawang.
Batu batu di gunung Watu memang banyak jumlahnya dan berserakan. Di puncak ada satu pohon besar yang usianya boleh dikatakan ribuan kalau tidak ratusan tahun. Pohon Ploso, begitu orang mengatakan. Maka puncak gunung Watu ada yang menyebutnya dengan nama Gunung Ploso, karena di puncak memang tumbuh pohon Ploso yang merindangi puncak gunung itu.
Sulasna menyusuri perengan bukit tersebut untuk mendaki ke Puncak. Sebab dirinya juga tidak mengerti, mengapa Nyai Pandan Sari menyuruhnya kesini. Berhubung niatnya untuk berguru pada Nyai Pandan Sari begitu kuat, maka ia mengikuti perintahnya. Dirinya terus berjalan menuju ke Puncak Gunung Watu.
Tidak seberapa lama Sulasna, dengan cekatan telah sampai ke Puncak Gunung tersebut. Pohon Ploso yang tumbuh teduh memberikan kerindangan di puncak gunung Watu, ternyata bila di lihat dari dekat, sangat tinggi, bahkan tingginya lebih dari tiga tombak.
"Pohon ini ternyata tinggi. mengapa klau dilihat dari jauh, pohon ini begitu rendah," ujar Sulasna dalam batinnya.
Di bawah pohon Ploso ada batu batu kotak yang memiliki permukaan rata. Bebatuan itu berjumlah 4 buah melingkari pohon yang besar dan menjulang. sedang di sekitarnya ada batu batu yang besarnya di bawah 4 batu kotak berserakan.
Sulasna kemudian duduk di atas salah satu batu itu.
"Aku kok bodoh, di suruh apa oleh Nyai Pandan Sari ke sini. Kenapa tadi tidak bertanya," renungnya.
"Tenangkan pikirmu, Sulasna. Duduklah dengan nyaman. Hehehehe... hehe... ," ungkap suara seperti suara Nyai Pandan Sari.
Sulasna terkejut mendengar suara Nyai Pandan Sari. Kepalanya menoleh kanan dan kiri. Atas sekalipun tak luput dari pencarian Sulasna dengan matanya. Namun Nyai Pandan Sari tidak nampak.
"Nenek Guru, di mana kau, wahai Nenek Guru," kata Sulasna.
Sulasna tak mendengar jawaban Nyai Pandan Sari. Yang ia dengar hanya tawanya. Tawa itu menggema di sekitar pohon Ploso.
"Ilmu Siluman Penjalin begitu sempurna," batin Sulasna.
Kemudian Sulasna mencoba dengan tenang melaksanakan perintah gurunya untuk duduk secara nyaman di salah satu batu kotak tersebut.
Kaki kanannya menyentuh tanah, sedang kaki kiri ia tumpangkan pada pahanya. Tangannya memegang dengkul di kedua kakinya. Angin yang berhembus di atas Gunung mengantar kedamaian pada jiwa Sulasna. Di luar kesadarannya, mata Sulasna terpejam dengan sendirinya. Kemudian Nafasnya ia atur perlahan. Satu kali tarik dan di tahan lalu di hembuskan perlahan lahan. Ia pun terhanyut dalam kedamaian di atas gunung.
Sementara itu di tempat lain, Nyai Selayar mencari daun sirih. ia sampai pada perbatasan alas Toya Marto bisa menemukan daun sirih. Ia mengamati dengan seksama daun sirih di setiap lembarnya. ia cari daun yang bertemu ruasnya satu per satu. Setelah ketemu baru ia petik untuk diberikan pada Nyai Pandan Sari gurunya.
Baru saja ia mau balik kanan, ia mendengar suara jeritan orang minta tolong. Suara tersebut, seolah tidak jauh dari tempat itu.
"Suara siapa, seperti ada orang minta tolong," batin Nyai Selayar.
Nyai Selayar terus berkonsentrasi mencari arah suara orang yang minta tolong.
"Seperti tidak hanya satu orang... ," ujarnya.
Nyai Selayar mencoba untuk mengikuti arah suara orang minta tolong. Semakin dekat suara itu, ada orang yang menjerit kayak ketakutan. Maka ia percepat jalannya agar segera sampai lokasi dan melihat apa yang terjadi.
Setelah dekat lokasi suara orang yang minta tolong, ternyata nampak di situ, masyarakat berkumpul. Di tengah tengah ada dua orang laki laki yang mengejar beberapa warga.
"Aneh, kenapa mereka tidak membalas. Aku yakin bahwa yang melingkar itu juga warga situ. Tapi....,"batin Nyai Selayar
"Bukankah, kami sudah bilang, bahwa pada hari ini, kalian harus memberikan hasil panen kalian. Tapi kalian tidak mau, malah bilang hari ini belum panen semua!" bentak lelaki tersebut.
Sedangkan lelaki yang satunya mengangkat cambuknya untuk di pukulan pada empat orang yang ada di tengah lingkaran. Semua yang memandang hanya bisa menutup matanya sambil tertunduk.
"Mereka siapa kok meminta hasil panen. Ada sangkut paut apa?" batin Nyai Selayar.
Nyai Selayar semakin penasaran pada peristiwa itu. Ia kembali menutup wajahnya dengan kain biru sesuai dengan warna bajunya, biru muda. Ya, itu adalah pakaian identitas Jubah Biru.
Nyai Selayar meloncat ke atas batu yang tak begitu jauh dari tempat kerumunan, namun masih aman sebab tak mungkin menjadi perhatian bagi kedua orang yang menghajar mereka.
"Wahai semua warga, ingat ... ini akibatnya kalau kalian tidak mau memberikan hasil panen pada kami. Hari ini segera ambil hasil panen kalian, atau apa saja yang kalian miliki atau aku bunuh empat orang tua ini!" ujar yang kedua lelaki yang berotot seperti Pendekar.
"Kalau tidak salah mereka adalah anak buah dari Ki Paneluh. Ia saya ingat dengan gelang warna merah dari kain itu," ujar Nyai Selayar dalam hati.
"Ayo cambuk lagi, sampai luka!" perintah orang pendekar pada temanya.
Tanpa di sadari kalau ada yang mengintai gerakan mereka. Cambuk mulai di angkat, dan saat mau di pukulkan pada orang tua, tangan Nyai Selayar telah lebih dulu memegang cambuk itu.
"Siapa kau?! Jangan ikut campur pada urusan kami," bentak Pendekar yang belum mengenal pada Nyai Selayar.
Nyai Selayar tidak menjawab. Hanya tangannya dengan kuat menarik cambuk. Dengan mudah cambuk itu berpindah pada tangan Nyai Selayar.
Nyai Selayar menyuruh empat orang yang Mungkin tetua daerah tersebut untuk Mundur. Nyai Selayar mengangkat cambuk tersebut untuk di pukulkan pada udara, Sehingga menyebabkan suara cethar cether bagai petasan kecil.
"Siapa kamu, sebenarnya. Jangan sampai kau mati tanpa nama di sini?!" ujar salah satu dari orang tersebut.
"Aku bagaikan teluh yang akan mencabut nyawamu," jawab Nyai Selayar.
"Bangsat!!!" teriak orang itu sambil menendang ke arah Nyai Selayar. Nyai Selayar membanting tubuhnya cepat. Dan dengan cekatan ia pukulkan cambuk di tangannya untuk menghantam udara.
Kedua orang yang minta hasil panen pada warga itu merasa dihina. Mereka mengeroyok secara bersama. Namun pukulan atau tendangan oleh Nyai Selayar hanya dihadiri saja. Sebab Nyai Selayar tahu bahwa keduanya hanya suruhan Ki Paneluh.
Namun tiba tiba, kedua orang itu menghunus pedangnya. Gerakan pedang langsung mengarah pada Nyai Selayar, maka mau tidak mau Nyai Selayar terpaksa memukulkan cambuk dengan tenaga dalam pada lengan salah satu dari mereka.
"Cethar... crash...." sabetan cambuk mengenai lengan salah satu dari anak buah Ki Paneluh.
Sedang kaki kanannya juga menendang dada dari temannya, hingga mundur lebih satu tombak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Adidan Ari
Maaf sebelumnya thor, sedikit koreksi
Tolong dibedain "ia" sama "iya". Kadang suka bingung bacanya, harusnya pakai "iya" malah ditulis "ia". Sedangkan arti "ia" itu sama dengan "dia"
Terus pas dua perampok itu menghajar warga. Harusnya "menghajar" bukan "mengejar atau mengajar"🙏
2023-02-17
0