Jejak kelelahan masih tercetak di wajah Resti petang ini. Tetapi hal itu tidak menyurutkan tekatnya untuk mengunjungi sang besan. Resti sebagai orang tua dari pria yang diselamatkan putri besannya, harus mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, kan? Dinka tidak cukup hanya dibayar dengan kata makasih saja. Resti harus melakukan sesuatu yang lebih untuk keluarga Dinka.
Salah satunya adalah mengirim bingkisan oleh-oleh dari saudaranya yang tinggal di luar negeri. Ya, meski hanya sederhana, tapi besan sekaligus temannya itu harus mencicipinya.
Resti sudah bersiap dengan dua buah godie bag di masing-masing sisi tubuhnya. Dia membenarkan hijab yang dikenakannya menggunakan kamera ponsel. "Pa ... lama amat, sih?"
Suaminya masih teleponan, dan hampir lima belas menit belum keluar dari kamar. Resti mendengus. "Ya Allah, Gusti ...! Katanya yang siap-siapnya lama itu kaum wanita, tapi ternyata laki juga lebih parah."
Ditaruhnya ponsel ke dalam tas tangan yang mengait di lengan kiri, lalu dia menyentak dua tali godie bag ke dalam genggamannya. "Mama tunggu di mobil, Pa."
Resti berlalu begitu saja dan melangkah ke mobil. Dibukanya bagasi, dan alangkah kagetnya Resti ketika melihat koper milik Dinka yang diantarkan oleh kakaknya tadi pagi, bertengger anggun di sana bersama tas jinjing milik Dinka.
"Astaga!" Resti melepaskan begitu saja godie bag ditangannya lalu membuka tas milik Dinka untuk memastikan bahwa tas itu milik menantunya.
"Tuhanku, ampuni hambamu ini! Kenapa anak itu teledor sekali sama bawaan istrinya! Ya Allah Abid!" Resti menduga itu adalah kesalahan Abid.
"Tapi tadi Abid juga tidak tahu, kalau Dinka disusuli pakaian! Kalau Abid pasti ingat kalau tas Dinka ketinggalan," gumam Resti seraya mengembalikan tas ke tempat semula. "Gimana nasib Dinka di sana? Ya Allah, aku khawatir dia nggak ada uang buat beli."
Segera saja, Resti mengambil ponsel dan menghubungi Dinka, yang sayangnya dijawab oleh operator.
"Kenapa, Ma?" Papa Anton sudah wangi, rapi, dan menawan dengan kemeja batik hitam keemasan yang melekat di badannya. Pria itu masih melihat ke layar ponsel sebelum memasukkan ke saku baju. Ditatapnya wajah istrinya yang panik.
"Pa ...," sergah Resti seraya menunjuk koper di bagasi.
"Itu punya Dinka sama punya kamu, kan?" Papa Anton mengerutkan kening. "Ada yang salah?" sambungnya ketika melihat wajah sang istri terlihat tidak puas dan berdecak.
Bukan tanpa alasan Papa Anton berpikir demikian, sebab tadi dia melihat Mama Resti memasukkan koper itu ke bagasi.
"Itu punya Dinka, Pa!" sembur Resti seolah meluapkan semua kekesalan yang ada. "Anak kamu ceroboh sekali!"
Papa Anton mengerutkan kening. "Kenapa Abid?!"
"Lalu siapa lagi?"
Keduanya saling pandang dan berpikir, kemudian serempak meneriakkan satu nama. "Bee ...!"
Yang namanya di sebut, tentu tidak berpikir kalau aksinya ketahuan. Dia dengan santainya memainkan game dengan headset menutup kedua kupingnya.
Bahkan ketika pintu kamarnya dibuka sangat keras, Bee tidak dengar, baru ketika headsetnya ditarik ke atas, dan kupingnya yang lebar mirip kuping gajah itu dijewer oleh Resti, Bee sadar kalau ada orang lain di kamar ini.
"Aww!" pekik Bee seraya memegangi telinga, sementara ponselnya terjatuh ke kasur. Ekor mata pria kecil itu melirik ke arah yang menjewernya. "Omaa ... why?!"
"Woa-wai, sok nggak merasa berdosa kamu, Bee! Tau kamu kalau kamu salah, tapi dengan santainya kamu duduk enak-enakan disini! Nggak tau apa kalau Mama Dinka di sana bingung cari barangnya! Kalau baju bisa beli, ini ada banyak kebutuhan Mama kamu yang ada di tas dan kamu sembunyikan! Ngaku kamu, Bee!" Kemarahan Resti sudah di ubun-ubun. Bisaan ya, anak segede gurem ini ngerjain orang tua?! Dipikirnya, orang tuanya itu mainan apa? Nakal sekali ini bocah.
Papa Anton berdiri di ambang pintu, hanya terdiam dan menyaksikan amukan istrinya pada Bee. Dia kasihan, tapi memang pantas Bee dimarahi karena ulah konyolnya.
"Itu karena Tante Jelek itu yang teledor, Oma! Aku nggak melakukan apa-apa kok!" Bee meringis, sebab tangan Omanya masih melekat bagai kena lem di telinganya, malah makin keras dia dijewer.
"Apa kamu bilang?!" Resti melotot sakit kesalnya mendengar jawaban Bee. "Heh, kamu! Lama-lama Oma balikkan kamu ke rumah mama papa kamu kalau nakalmu makin menjadi-jadi, ya! Sudah besar bukannya makin ngerti tapi makin ngeselin!"
"Ma—"
Papa Anton menyela, dia merasa ucapan istrinya keterlaluan. Bee sudah sebatang kara, kalau di kembalikan ke orang tuanya, artinya dikembalikan ke makam orang orang tuanya.
Resti melepaskan tangannya dengan hentakan kasar dari telinga Bee, lalu memutar badan menghadap suaminya. Kemarahan di wajahnya belum surut.
"Papa juga! Nggak kamu, nggak Abid sama saja! Selalu melarang Mama menasehati Bee agar nggak semakin menjadi! Kalian bela Bee sehingga dia ngelunjak begini! Boleh saja dia nakal, tapi kalau dia nakal ke Dinka maka Mama yang jadi musuh dia! Papa tau seberapa berharganya Dinka bagi kita, kan? Bayangkan apa yang kita terima kalau sampai pernikahan itu batal?!"
Resti menghentakkan kaki seraya meninggalkan sisi ranjang Bee. Sebenarnya, dia sayang sama Bee, terlebih Honey yanh manis dan lembut. Bagaimanapun kedua anak itu tumbuh besar di tangan Resti sebagian banyak. Tapi sejak setahun ini, kenakalan Bee naik drastis. Resti pikir karena pengaruh teman-teman di sekolah, tapi entahlah, mungkin ada yang harus di evaluasi.
Papa Anton menghela napas. Ditatapnya Bee yang menunduk diam dengan telinga yang merah.
"Ambil ponselnya, Pa! Anak seusia Bee nggak seharusnya pegang ponsel! Kasih tahu Abid agar semua fasilitas untuk Bee di cabut! Biarkan dia sadar kalau apa yang dilakukannya itu salah!" Resti berkata dari ambang pintu. Entahlah, dia tidak berpikir ini baik, dia kasihan, tapi tidak boleh lagi membiarkan Bee makin nakal.
"Mama tunggu di bawah! Kita sudah sangat terlambat untuk bertamu saat ini!" Resti melenggang pergi dengan kemarahan masih menjejak di wajahnya.
Papa Anton menarik napas lalu meminta ponsel Bee. "Maaf, Bee ... kali ini Opa setuju sama Oma! Bee harus introspeksi diri dan janji tidak akan nakal lagi, biar Oma nggak marah begini. Bee paham, kan, Bee salah apa?"
Bee mengangguk.
Di usap kepala anak itu sekali lagi. "Oma sayang sama Bee makanya marah pas Bee nakal, biar Bee jadi anak yang baik."
Bee mengangguk. Dia diam, tidak menangis, tidak pula merasa bersalah. Ini salah Tante Jelek itu, yang merebut Uncle Papa dari Mama Olla. Bee jelas tidak terima itu.
Mama Olla adalah yang terbaik.
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
'Nchie
kayanya bee udah di doktrin sama Olla nih
2024-01-10
0
Rita Novrita
eh bee lu jgn asal ngomong ye,,,terbaik dr mna coba...klw terbaik gk mungkin dia ngebatlin pernikahan nya sm si uncle papa mu itu...dasar bocil...
2023-12-13
1
Juan Sastra
kayaknya nanti dinka menyerah bukan karena abid belum muve on tapi demi kebahagiaan bee,,jika bee senang dinka pergi maka dinka akan pergi..
2023-05-17
3