Dinka pulang agak malaman hari ini. Meski tubuhnya terasa remuk redam—gayanya, tetapi dia masih harus mengurus Jena yang berusia 13 bulan. Jen sedang hamil muda—kebobolan katanya, dan Jena terus menangis melihat mamanya teler parah. Meski ada pengasuh tetapi Jena hanya mau bersama Dinka atau Neneknya.
Tak punya pilihan, Dinka malam itu mengajak Jen bermain di teras rumah, sekalian dia menunggu Darren mengantarkan Asi perah untuk Jena.
Di dalam, Desy sedang menjamu tamu, yang merupakan teman baik mama Desy sewaktu sekolah. Obrolan mereka sayup-sayup terdengar oleh Dinka.
"Maaf, loh Jeng ... saya ndak enak hati sama Jeng." Wanita bernama Resti itu terlihat begitu sedih saat harus membatalkan pesanan dekorasi untuk acara pernikahan putranya.
"Nggak apa-apa, Jeng Resti ... saya mengerti." Desy hanya bisa tersenyum meski hatinya menjerit. Ia menghitung berapa kerugian yang dialami kali ini. Meski sudah ada uang muka yang masuk, tetapi itu belum seberapa dari jumlah keseluruhan pembelian.
"Saya sudah memohon agar setidaknya penikahan ini tetap terjadi, setidaknya undangan dan souvenir juga dekor yang saya pesan khusus ini ndak saya batalkan. Mungkin banyak orang yang memberi saya gelar tukang cancel vendor, tapi itu sepenuhnya bukan kesengajaan, Jeng."
Desy melihat betapa tertekannya wanita Di hadapannya ini. Punya anak satu, tetapi jalan hidupnya cukup berliku.
"Kalau boleh tahu, kenapa bisa batal sampai berkali-kali sih, Jeng." Desy penasaran. "Um, Tapi kalau Jeng enggan cerita, ya, nggak apa-apa, sih Jeng."
Desy merasa kalau dia keterlaluan, tapi ya, keterlaluan juga kalau tidak mau cerita. Mana batalin pesanan sepihak saat acara sudah di depan mata pula. Walau teman, seharusnya, jangan dibatalkan dong.
"Awalnya saya kira karena sikap anak saya yang terlalu pendiam setelah kematian istrinya. Tapi lama-lama saya ngerti, Jeng ... selain ada dua anak, setelah kecelakaan terjadi, anak saya divonis impoten."
"Hah?" Desy terkejut. Bentuk dan rupa anak Resti ini, Desy tahu betul. Gagah dan perawakannya tinggi besar. Mungkin sama tingginya dengan Excel atau Jeje, wajahnya rupawan dan macho, jadi agak tidak mungkin kalau seperti itu.
"Saya tau belakangan, Jeng. Itu dirahasiakan oleh suami dan anak saya, takut kalau saya kepikiran. Saya tahu ini saja dari calon istrinya yang terakhir ini, Jeng. Mereka sesama dokter, jadi mungkin surat keterangan dari dokter bisa dibacanya dengan jelas." Resti mengenang dengan sedih, bagaimana Olla mengatakan kebenaran yang pahit itu di depan mukanya.
"Sabar, ya, Jeng. Saya yakin, ada wanita lain yang bisa menerima putranya Jeng Resti suatu saat nanti." Desy menghibur. Di usapnya tangan Resti yang menumpuk di lutut.
"Yah, saya sudah nyerah, Jeng. Siapa yang mau sama anak saya yang kondisinya begitu?" Resti menjatuhkan napasnya dengan perasaan lapang. Pasrah jika memang ini takdir untuk anaknya.
"Saya mau menikah dengan putra Tante."
Desy dan Resti menoleh ke ambang pintu, dimana Dinka sedang berdiri dengan Jena digendongan. Keduanya menatap Dinka tak percaya.
"Jangan didengarkan, Jeng. Dinka anaknya suka bercanda." Desy buru-buru meralat ucapan Dinka. Astaga ... anak ingusan itu pasti tidak paham konsep mandul dan impoten. Penopang tegaknya hubungan berumah tangga. Sumber keharmonisan keluarga.
"Saya siap dan ikhlas menerima bagaimanapun kondisi putra Tante." Dinka berkata seperti saat berorasi di depan gedung dewan. Mantap dan tanpa ragu sedikitpun.
Desy membeliak tak percaya ke arah Dinka.
"Saya serius, Tan." Dinka membalas tatapan Mamanya.
Resti terhenyak tak percaya. "I-ini—"
"Daripada Tante malu pada semua orang, mending setujui saya gantiin pengantin wanitanya."
"Dinka!" Desy melotot makin lebar ke arah Dinka. Astaga anak ini ...!
"Mama mau aku nikah, kan? Mama mau aku punya suami, kan? Ya, sekarang aku mau nikah! Sama anak Tante Resti. Teman Mama." Dinka menegaskan, seolah Desy tidak punya pilihan. Mamanya telak tersudut, sehingga tak bisa berkata-kata.
Desy ... andai tidak sedang berada di depan Resti, sudah dipastikan akan mengamuk tak terkira. Ya ampun, anak ini! Desy gemas dibuatnya sampai tanpa sadar dia meremas sofa.
Resti tertawa canggung. "Duh, Jeng ... saya jadi ndak enak hati sama Jeng, loh, ini. Saya nggak bermaksud buat curcol dan berakhir seperti ini—"
"Jangan nggak enak, Tan." Dinka mendekat, menatap Resti dengan raut wajah sumringah. "Enak aja! Bilang sama putra Tante, agar besok menemui saya di ... di ... dimana saja menyesuaikan waktu putra Tante saja. Saya kasih WA saya."
Resti melongo saat Dinka mengambil ponsel Resti dan mengetikkan nomornya.
"Nah, bisa via tele atau WA, sesuai kemauan putra Tante. Tante tenang aja, saya jamin dengan diri saya sendiri, saya tidak akan kabur di hari pernikahan itu." Ponsel terulur ke arah Resti, sampai wanita itu melihat bagaimana Dinka menamai kontaknya di ponselnya.
"I-ini—"
"Sekarang, Tante boleh pulang! Nggak usah merasa nggak enak sama Mama saya. Yang kita lakukan adalah win-win solution yang terbaik bagi kita semua." Dinka menarik pelan wanita itu agar berdiri. "Selamat malam, Tan."
Desy menahan geram melihat tingkah anaknya. Tetapi dia masih menunggu sampai Resti keluar.
"Apa-apaan kamu, Din?!" Desy berdiri, membuat Jena yang tidak tahu apa-apa dan takut suara keras memengang jilbab yang dikenakan Dinka erat-erat seraya menatap sang nenek.
"Apaan sih, Ma?" Senyum ceria Dinka luntur seketika, dia berdecak kesal. "Mama mau protes pada keputusan Dinka?"
"Jelas ... kamu nggak tau—"
"Aku tahu, kok, Ma!" Dinka membantah. "Aku tahu dengan jelas, tapi kan semua aku lakukan agar Mama tidak merugi banyak."
"Mama lebih baik merugi daripada melihat masa depan anak Mama hancur di depan mata!" Desy merepet menahan tangis yang sudah bercampur dengan amarah. Dinka sama sekali tidak paham konsep menikah dan berumah tangga. Hubungan harmonis suami istri tercipta dari kemampuan pria memuaskan istri. Semua berawal di ranjang, jadi bagaimana bisa Dinka dengan enteng bilang ikhlas menerima keadaan pria itu?
"Aku yakin akan bahagia, Ma! Aku yakin 1000%!" Dinka terlihat tidak ragu apalagi takut. "Mama percaya sama Dinka yang akan menjalaninya. Yang jelas, Mama dapat mantu dan Mama tidak harus membatalkan pesanan yang terlanjur Mama buat pada pemasok bunga dari Bandung dan Malang itu."
Usia berkata, Dinka langsung meninggalkan sang Mama. Senyumnya terukir memenuhi bibir. Ah, senangnya ... meski harus capek ngurus Jena, tapi dia dapat jackpot. Dimana lagi dia bisa menemukan double bonus begini, kan?
"Dinka!" Desy berteriak seraya memegang dada. Astaga ... Desy tak kuasa lagi menahan beban tubuhnya. Kakinya lemas, tenaganya lenyap, hanya dengan memikirkan nasib Dinka di masa depan.
Dinka sama sekali tidak menoleh, justru mempercepat langkah ke kamar.
"Ya Allah, gimana nasib keluarga hamba di masa depan?!" Desy meratap kepergian Dinka dengan air mata berlinang. Dia tidak mampu berpikir sekarang.
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
jumirah slavina
d'usir secara halus spy Emak'y gak bs nolak lg
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2023-12-17
3
Asha Zhafira
😂😂😂
2023-09-11
1
ireneeee_
padan juga muka mamanya. mentang2 dia orang tua, mulutnya ga di jaga. ingat ya, sekumit kata2 yang menyinggung anak2, kalau ga ada kata maaf... itu akan memberkas ya
2023-08-09
0