"Oh, ya ... kamu boleh pilih mau tetap serumah sama Mama atau pindah ke rumah baru, boleh loh. Mama udah siapkan rumah untuk kalian. Tapi kalau mobil, karena itu hadiah dari keluarga besar, jadi maaf kalau hanya semampunya, Din."
Mereka berdua jalan menuju lift. Resti bersikukuh mengantarkan Dinka, yang membuat Dinka kesal bukan main. Kamar itu dilewatinya begitu saja. Ah, asem bener nasibku malam ini.
"Cepat tidur ya, Nak. Besok pagi kalian akan berangkat honeymoon."
"Nggak—eh!" pekik Dinka seraya melotot. Namun segera di bungkam mulutnya dengan kedua tangan. "Maksud saya, nggak usah diantar lagi. Biar aku ke kamar sendiri, Mama balik lagi ke kamar aja. Mama pasti lelah."
Mama Resti melonggarkan kerutan di dahi dan rasa kagetnya, berganti ekspresi meleleh melihat manisnya Dinka. "Kamu pengertian sekali, Sayang. Mama emang capek banget hari ini. Ya udah, Mama kembali ke kamar. Kamu cepetan istirahat, ya."
"Iya, Ma." Dinka menunduk, tetapi dia kaget saat Resti mendadak memeluknya erat.
Mata Dinka membeliak. Dadanya terasa sesak.
"Maah ...!"
"Dinka makasih banget, ya! Makasih udah mau nerima anak Mama yang kelainan. Mama lega sekarang, Nak."
"Hi-iya, Ma."
Dinka ingin berontak saja rasanya. Dia kesusahan bernapas.
"Ma ...."
"Ya udah!" Resti melepas tanpa rasa bersalah. Ditatapnya Dinka penuh rasa haru. "sampai besok, ya, Nak."
Resti mengusap pipi Dinka sebelum dengan berat hati meninggalkan Dinka di depan pintu lift.
Begitu lorong sepi, Dinka bergegas menuju kamarnya. Menutup pintu dan memastikan kalau di ruangan itu tidak ada siapapun.
"Astaga!" Dinka mengusap dadanya yang rata—ya, memang dia tidak punya dada yang indah seindah gunung gambar anak SD. Tapi cukuplah, agak menonjol sedikit. Ukuran 34, hem.
"Penderitaanku usai sudah." Dinka melemparkan diri ke ranjang. Menarik selimut dan tertawa puas. "Ya Allah, aku tuh nggak nyangka bisa lepas begini. Lelah ku terbayar sudah."
Dinka berguling ke kanan dan kiri. Lantas bangun lagi—masih dengan senyum aneh di bibirnya, menuju ke kamar mandi. Segera dia mandi dan memakai handuk yang tersedia di sana, saat keluar.
Perasaannya lega dan ringan. Bahkan Dinka memutar badan seperti penari. Bibirnya bersiul tiada henti, walau siulannya tidaklah bagus.
"Wah ...!"
Dinka yang sedang berputar-putar itu seketika memegang handuk yang membalut tubuhnya. Matanya lekat memandang siluet tubuh yang bersedekap di tembok dekat tivi.
"Ommo!" Bibir wanita itu membulat. "Kok bisa masuk?"
Abid tersenyum meremehkan. "Kami pesan tiga lantai untuk keluarga kami."
Mata Dinka membeliak makin lebar. "Apa?"
"Kami sudah merencanakan pernikahan sebulan lamanya, nggak ada yang terlewat sama sekali. Dan, kalau kamu lupa, sebelum kabur, kamu udah kasih tahu resepsionis dimana kamu berada."
Abid menunjukkan kartu cadangan, melambaikan ke depan Dinka. "Kami prioritas di sini, hanya dengan muncul di depan resepsionis, mereka dengan senang hati membantu aku kemanapun aku ingin masuk."
Dinka melongo.
"So ... apalagi? Ayo kita mulai!"
"Tidak!"
"Kenapa?" Tangan Abid berpindah ke meja di bawah tivi yang sudah bertengger sebuah lembaran kertas. Bibir Abid tersenyum sinis. "Pihak pertama, yaitu Dinka Mar—"
"Stop baca surat konyol itu!" Dinka mengacungkan tangannya ke depan. "Hentikan, Mas!"
Senyum Abid makin tinggi. "Naik ke ranjang!"
"No!" Dinka mundur. "Mas, plis!"
"Apa?" Abid yang sudah menegakkan tubuhnya, siap melangkah ke ranjang itu menatap Dinka.
"Jangan sekarang!" Dinka memohon dengan kedua telapak tangan menangkup di dada, sekalian menahan handuk tetap pada posisi nya. Bayangkan jika sesuatu terjadi, handuknya melorot, dan keindahan tubuhnya terekspose pertama kali.
"Tidak ada penolakan untuk—"
"Se ks! Benar ... tapi hari ini aku nggak—" Dinka celingukan cari alasan. Nggak apa? Hari ini aku nggak apa, ya? batin Dinka.
"Nggak ada yang perlu disiapkan, cukup rebahan dan buka kaki kamu!"
What? Itu terlalu vul gar untuk anak polos cantik imut dan menggemaskan macam dia. Tolonglah, jaga mulutnya kalau bicara. Ini kepolosannya ternoda banyak sekali hari ini.
"Atau mau kugendong?"
Dinka menggeleng cepat. Wajahnya pucat dan dia merepet ketakutan. "Mas, plis."
Naluri Abid menjadi tengil luar biasa membara malam ini. Dinka yang sejak kemarin menantangnya dengan berani itu melempem. Ck, kemana keberanian itu menguap? Mana wajah sombong Dinka pergi? Ekspresi menantang dan meremehkan itu kemana?
Abid berjalan mendekat, senyumnya makin tinggi. Ekspresinya lapar.
Dinka membeliak, dengan badan gemetar, dia meraba ke belakang, mencari pegangan dan pintu ke kamar mandi.
Namun gerakan Abid sangat cepat, sehingga tangan Dinka dicekalnya sangat kuat. Abid jelas hanya main-main. Dia hanya ingin memberi pelajaran pada Dinka agar tidak seenaknya kalau berbicara.
Disentaknya tubuh Dinka hingga menempel padanya.
"Nggak ada kata nanti di kamus seorang Abid!" Dibelitnya erat tubuh kecil Dinka dengan sebelah tangan besarnya.
Perlahan Abid menarik dagu Dinka, lalu dengan lembut melu mat bibir Dinka yang tipis dan sombong itu. Tubuh kecilnya disudutkan ke tembok. Maaf, Abid suka permainan kasar.
Napas Dinka menjadi sangat cepat, dia ketakutan setengah mati. Meronta pun dia tidak bisa. Abid menghimpitnya seperti sebuah guling.
Abid belum terlena, dia masih menikmati ketakutan Dinka yang samar terlihat di matanya, tetapi diakui Abid, Dinka lumayan manis. Abid adalah pria dominan yang menyukai perasaan tak berdaya dari lawannya. Dinka pun bisa membuatnya begitu, seolah memuaskan semua perasaan berkuasa yang ada di jiwanya.
Tangan Abid perlahan turun, dan itu membuat Dinka tak bisa lagi diam. Tangan kecilnya memukuli dada bidang Abid yang terbalut kaos oblong. Dinka meronta, tetapi Abid menggigit bibirnya, hingga Dinka memekik rendah seperti mendesah.
Ya, Abid suka suara seperti itu. Perlahan nafsùnya naik, dia menjadi tidak terkontrol karena suara Dinka yang begitu. Tangannya yang besar menekan tengkuk Dinka, membuat ciuman mereka semakin dalam dan memaksa.
Sekali sentak, handuk Dinka lepas, membuat wanita itu kelabakan. Dia hanya bisa "ah, uh" saja tanpa bisa bersuara dengan jelas.
Napas Dinka raib dirampàs sepenuhnya oleh Abid. Pria itu menjaràh wanita lemah sepertinya. Dinka takut, sangat takut.
Tubuhnya berkeringat, saat Abid mulai menyerangnya. Jari besar itu mengoyaknya paksa. Dan benda keras itu mulai menyentuhnya. Membayangkan benda itu, Dinka makin gemetaran. Dia makin takut.
"Mas, plis!" rintih Dinka. Tapi Abid seolah tuli, pria itu sudah kehilangan kesadaran di atas Dinka. Sisa tenaga Dinka sudah habis, mata wanita itu perlahan menjadi kabur dan gelap.
Sekelilingnya menjadi sangat penuh suara berdengung. Setelahnya Dinka ambruk ke pelukan Abid sepenuhnya.
"Astaga, Dinka!" Abid kaget sewaktu melihat Dinka terkulai lemas. "Masa baru begitu saja udah pingsan? Gimana nanti pas dibelah beneran? Bisa-bisa dia dilarikan ke ICU!"
Abid tanpa merasa bersalah atau keberatan, membawa Dinka ke ranjang, lalu diselimuti.
"Ck, omongan aja gede, nyali ciut. Dasar gadis sok!" Abid mencibir Dinka, lalu dia merebah di sisi istrinya. Hatinya puas sekali mengerjai Dinka.
"Tapi kenapa dia takut sekali bercinta? Dan perjanjian itu, kenapa semua poinnya mengarah ke childfree? Apa Dinka takut punya anak?" gumam Abid seraya menggunakan tangan sebagai bantal. Mata pria itu menatap langit-langit kamar. Dia tidak sempat mencari tahu soal Dinka. Dia pikir itu tidak perlu. Wanita itu sederhana, selama diberi perhatian dan kasih sayang, semua akan beres. Dinka pasti sama dengan Olla, wanita mandiri yang biasanya hanya butuh cinta dan perhatian pasangan. Dinafkahi suami bukan hal headline dan motif utama memiliki pasangan, bagi kedua wanita itu.
Setidaknya itu yang di pikirkan Abid seminggu ini.
Tapi rupanya, Dinka tidak sesederhana penampilannya, tidak semudah bibir tipisnya berbicara. Ada semacam trauma dan ketakutan, Abid merasakan itu. Dia sedang mengalaminya juga walau sudah jauh lebih baik.
"Apa yang kamu takutkan, Dinka?"
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Daniah Andini
dinka ada trauma apa ya, aku sudah baca yang kisahnya Darren, kayaknya ngga ditemukan ada hal2 yang membuat trauma tentang dinka
2024-10-29
0
'Nchie
lah yg songong nantangin malah pingsan duluan 🤣🤣🤣🤣🤣
2024-01-10
0
Rita Novrita
🤣🤣🤣🤣🤣lucu...ngomong doank si dinka taunya atut jg🤣🤣🤣
2023-12-13
2