Tangan Dinka masih gemetaran saat berlari menuju kamar. Tapi langkahnya terhenti saat ingat kamar bukan tempat yang aman saat ini.
"No, Dinka! Jangan kamar-jangan kamar! Kamu harus ke meja resepsionis dan minta kamar baru!" Dinka bergumam dengan napas tersengal–sengal. Dia memutar langkah meninggalkan kamar menuju lantai bawah. "Kembali ke kamar sama aja kaya bunuh diri."
Selama berlari, Dinka memikirkan betapa lelahnya dirinya hari ini. Memasang senyum sepanjang hari, dipajang sambil menyalami tamu, jaga sikap seharian, lalu sekarang harus naik turun, lari pontang panting. Kalau dipikir, benar menikah itu melelahkan. Dinka menyesal menikah hari ini apalagi dengan orang yang sehat wal'afiat tanpa kekurangan suatu apapun.
Ingat hal itu, Dinka ingin berteriak kencang dan kabur.
Sesampainya di meja resepsionis, Dinka mengutarakan keinginannya, yang langsung disanggupi oleh resepsionis. Ketika menerima kartu kunci, Dinka tersenyum senang dan bergegas menuju kamar tersebut. Bodohnya, Dinka mengatakan kalau tagihan dibayar oleh Abid. Ya, mau bagaimana lagi, dia tidak bawa apa–apa sekarang.
"Abid nggak akan nemuin aku kalau aku nginep satu lantai di bawahnya." Dinka terkekeh, merasa menang atas Abid malam ini.
What? Malam ini? Malam ini doang? Woey, Din ... kamu nikah seumur hidup. Malam ini nggak sukses, masih ada malam lain, dan kamu nggak bisa terus–terusan menghindar!
"Hah! Kenapa aku lupa soal itu?" Dinka menepuk kening keras-keras. Semula dia ingin masuk ke lift, tetapi segera diurungkannya. "Duh, kenapa Abid normal, sih? Apa harus aku bikin dia sakit aja biar dia nggak bisa apa–apa? Aku patahkan kakinya, atau suntik biar lumpuh! Atau potong saja burungnya, sekalian biar nggak ada kesempatan!"
Dinka bergumam cemas seraya terus menatap pintu lift. Ujung kukunya sudah habis digigiti sejak tadi. Ini bagaimana solusinya?
"Oke, sekarang aku cari tahu dulu gimana caranya agar pria bisa impoten selamanya, pasti ada caranya!" Dinka mengepalkan tangan untuk membulatkan tekad. Lantas segera naik ke lantai dimana kamar barunya berada.
Lift melesat cepat dan beberapa detik kemudian dia telah sampai di depan kamarnya. Bibir wanita itu tersenyum puas. "Semalam nggak ada hape nggak apa–apa, pokoknya selamat hidupku! Lagian nggak ada yang penting di hapeku, kan?"
Dinka bersiap masuk saat suara seseorang terdengar menyebut namanya.
"Aunty?!"
Langkah Dinka terhenti, lalu dia menoleh. "Eh, Honey! Kok ada di sini?!"
Honey sendirian. Berjalan di hotel malam-malam sendirian. Dinka celingukan mencari seseorang yang mungkin bersama Honey. Tapi tidak ada siapapun di sana selain mereka berdua. Fix, keluarga ini terlalu longgar pada anak kecil.
"Aunty ngapain di sini?"
Mam pus! Ketahuan bocil Abid yang lain! Haih sial sekali nasibnya ini!
Bibir Dinka terpaksa tersenyum saat menutup pintu dan menyongsong Honey. "Honey di kamar mana? Mbak pengasuhnya mana?" Dinka lupa siapa nama pengasuh itu! Dan tidak penting juga sih dia tahu namanya.
"Mbak di kamar itu! Sekamar sama Bee dan Mbaknya juga." Honey menunjuk kamar yang bersebelahan dengan kamarnya.
"What?!"
"Iya. Kan semua kamar di lantai ini dipesen sama Opa dan Oma." Honey berkata dengan polosnya. "Aunty Mama boleh tidur dimana saja, sesuka Aunty. Tapi saranku, Aunty Mama tidur sama Honey saja."
What—again?
Dinka meringis ngilu. Lepas dari bapaknya, malah kesangkut sama anaknya. Tapi nggak apa–apa, setidaknya, anaknya nggak akan nyaplok dirinya.
"Aunty Mama belum makan, kan? Aku juga, makanannya nggak enak tadi, jadi aku akan pesan mekdi. Aunty mau?"
Dinka mengerjap. Anak ini ajaib sekali. Biasanya—kalau dia, orang tuanya akan bilang makan yang ada bila tidak suka pada suatu makanan, terlebih restoran tadi sangat mahal harga makanannya. Tapi siapa peduli. Itu uang bukan uangnya.
Ngomong-ngomong, bahas soal makanan, dia jadi lapar. Perutnya mendadak keroncongan dan tenggorokannya haus.
"Boleh! Mama mau," jawab Dinka akhirnya.
Dinka menuntun Honey yang terlihat riang ke kamar Honey lalu memesan memakai ponsel Honey.
"Kamarnya lega, ya, Honey." Dinka melihat ke sekeliling, ada dua bab di sana. "Sama Mbaknya juga sekasur sama kamu?"
"Iya, Aunty! Biar bisa bobok rame-rame. Honey suka bobok sama Mbak atau Oma. Berasa tidur sama Mama." Honey duduk bersila diatas kasur dengan ponsel masih di tangannya. Dinka seketika menunduk, menatap Honey sedih.
"Mamanya Aunty baik sama Honey, Honey jadi iri sama Aunty," sambung Honey sendu.
"Honey boleh anggep Aunty kaya mama Honey sendiri." Diraihnya tubuh Honey ke dalam pelukan, diusapnya pelan berulang–ulang. "Jangan sedih, ya. Honey bisa tidur sama Aunty, dan panggil aunty mama."
Honey mengangguk pelan lalu mendongak dengan dagu menempel di dada Dinka. "Makasih ya, Mama. Honey seneng punya Mama yang baik, kaya Mama Dinka."
"Sama–sama, Sayang ... Mama juga senang bisa ketemu anak sebaik Honey." Dinka mengadukan hidungnya dengan hidung Honey. Keduanya tertawa riang.
"Ngomong–ngomong, Pony gimana? Udah sembuh?" Dinka mendadak ingat momen pertemuan pertama mereka yang kurang mengenakkan itu.
"Udah. Kata Uncle Papa, Pony kaya orang tua Honey. Mereka udah nggak sakit lagi, udah tenang di alam surga." Honey kemudian meraih ponsel, mengabaikan Dinka yang kaget bukan main.
"Ini foto makamnya Pony. Ada di kebun belakang rumah Oma. Sama Uncle Papa di kasih nisan, biar Pony tidur nyaman dan merasa disayang terus sama Honey." Honey menyodorkan ponsel dimana ada foto makam kecil dengan taburan bunga yang banyak berwarna putih dan merah. "Kalau makamnya mama, nanti Honey ajak Mama langsung kesana."
Dinka tersentuh melihat ketegaran hati Honey. Andai saja dia, pasti sudah melow bukan kepalang. Dia yang sampai sekarang apa–apa selalu bergantung pada mamanya, yang saat sedih atau senang bicara sama mamanya. Tanpa mama, Dinka pasti tidak bisa apa–apa.
Dipeluknya Honey sekali lagi. Entah apa tujuan Tuhan, ketika seorang anak yang masih kecil dan butuh perlindungan juga kasih sayang orang tua, tapi orang itu harus pergi meninggalkan mereka. Untung masih ada Papanya.
Tapi tunggu. Honey bilang orang tua. Artinya, itu—
"Loh, Dinka di sini?"
Dinka semula ingin bertanya siapa orang tua Honey dan siapa Abid, tetapi disela dengan pintu kamar yang terbuka. Ada embak pengasuh Honey dan Bee bersama Mama Resti.
"Honey juga di sini. Oma cari kemana–mana tadi." Resti menghampiri Honey, dan tersenyum cerah kearah Dinka. "Untung ketemu kamu, Din."
"Nggak sengaja ketemu, Ma tadi." Dinka jelas sadar kalau dia harus berhati–hati. Nggak mungkin dia bilang; iya, Ma, tadi ketemu pas aku masuk ke kamar baru aku. Jelas itu pelanggaran yang wajib diganjar kartu merah. Haram hukumnya.
"Maafkan Honey dan Bee ya. Mereka masih anak-anak. Mereka begitu karena kurang perhatian dari Papanya."
Dinka mengangguk seraya tersenyum.
"Oh, ya ... Kamu boleh pergi kalau mau bersih-bersih dan istirahat." Resti seolah baru ingat kalau Dinka sudah menikah dengan Abid. Pikirnya, dia punya anak lain selain Abid yang menyebalkan itu. Haih, punya anak satu ngabisin stok istighfar.
"Aku di sini saja sama Honey, Ma. Honey nggak mau tidur sendiri." Dinka kaget dan segera berkilah.
"Eh, tapi nggak bisa, Din." Resti mengusap lengan Dinka. "Meski nggak ngapa-ngapain, kamu wajib tidur sekamar sama Abid. Kalian sudah menikah. Maaf, ya, kalau dia nggak bisa membahagiakan kamu selayaknya suami istri pada umumnya."
Dinka mengangguk begò.
"Mama nggak ngarep apa-apa selain berharap kalian bahagia." Resti menghela napas berat. "Abid hanya tidak mau melihat Mama sedih, tapi dia lupa bahagianya sendiri bagaimana. Dia sibuk membuat orang lain bahagia, agar lupa pada sakitnya, ketidakberdayaannya."
Abid beruntung bertemu Dinka yang tulus menerima kekurangan anaknya.
"Maafkan anak Mama, ya, Nak. Mama ingin berharap banyak sama pernikahan kalian, tapi Mama tau sendiri bagaimana kondisi anak Mama. Dan Mama nggak bisa nyuruh kalian berpisah juga." Resti memeluk Dinka erat-erat. Lebih dari apapun di dunia, Dinka begitu berharga dimatanya.
Setelah beberapa saat, Resti melepas pelukannya, lalu menepuk pipi Dinka keras-keras.
"Oh ya, tiket honeymoon nggak dicancel loh, jadi kamu bisa pakai. Anggap saja kamu liburan." Resti menyarankan.
"Syukur-syukur bisa melatih Abid biar perkasa lagi."
Wajah Dinka merah padam. Ingat yang tegak menjiplak di celana Abid. Belum sempurna saja begitu besar, gimana sudah sempurna? Apa dia bisa tahan kemasukan benda sebesar itu?
Itu kan sempit.
"Ayo, sana! Balik ke kamar, Abid pasti sibuk cari kamu."
Dorongan dari Resti membuat Dinka terpaksa berdiri.
"Nggak usah takut. Abid nggak akan apa-apakan kamu."
Mendengar ini, Dinka ingin menangis. Huhuhuhu, lalu bagaimana kalau yang itu menuntut balas? Tamat sudah riwayat keimutan benda berharga miliknya.
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Daniah Andini
tamat sudah keimutan benda keramatmu dinka😁
2024-10-29
0
'Nchie
🤣🤣🤣mau ngumpet malah ketahuan
2024-01-10
1
Siti Ariani
sadis amat neng🤣
2023-06-25
1