"Bee, katakan sama Oma, kamu kasih apa sup nya Mama Dinka?" bentak Resti sekali lagi. Resti marah bercampur malu. Ini kelakuan Bee yang paling fatal di hadapan orang baru.
"Ma, udah." Abid menarik lembut sang mama agar duduk kembali. "Biar Bee aku yang urus."
Resti menatap Abid marah. "Kamu selalu aja bela dia, Abid ... jadinya ngelunjak begini! Kasihan Dinka sampai susah napas gara-gara ulah dia!"
"Udah-udah ... Mama tenang ya, nggak enak dilihat orang kalau ribut begini." Abid mengusap pundak Resti pelan.
Belum puas, Resti masih melotot ke arah Bee yang sedari tadi manggut-manggut menatap piringnya. Anak itu sama sekali tidak merasa takut apalagi bersalah. Ya, begitulah Bee, hanya manut dan nurut apa kata Uncle Papa.
"Ajari anak kamu itu sopan santun, Bid! Mama lelah ngadepin tingkahnya yang nakal itu!" Sekali lagi, Resti memperingati Abid—dia mendengus sebal.
Resti sudah lupa kalau ada besannya yang tercengang melihat kejadian ini.
"Maafkan perbuatan anak saya, ya, Ma." Abid menundukkan kepala ke arah Desy yang langsung mengerjapkan mata. Dia yang masih belum bisa menerima kenyataan kalau Dinka menikahi Abid yang impoten, ditambah melihat kelakuan anak Abid yang urakan membuat kepalanya pusing.
Dia tidak berkata apa-apa, hanya langsung menunduk menghadapi makanannya kembali. Astaga ... Desy ngenes dalam hati. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Abid sungkan sendiri. Di hari dimana Dinka seharusnya diperlakukan baik olehnya, justru insiden mengerikan terjadi.
"Saya susul Dinka dulu." Abid permisi dengan perasaan canggung tanpa menunggu hidangan utama yang sebentar lagi dihidangkan, dia segera berjalan cepat meninggalkan restoran.
Tak ada yang menyahut. Seharusnya Abid lakukan itu sejak tadi. Bukan malah membela anaknya yang nakal itu. Resti kesal bukan main. Dinka sudah baik hati, tetapi anaknya tidak tahu terimakasih.
"Ayo, Jeng ... lanjutkan makannya." Resti mencoba tersenyum untuk memperbaiki keadaan. Pak Anton yang memang pendiam dan cueknya setara dengan Abid itu hanya bisa menghela napas, lalu tersenyum sekilas ke arah Desy dan Rendy yang terlihat syok.
Abid berpikir Dinka ke toilet restoran, namun tak ditemukan bau gadis itu di sana meski sudah dicarinya ke seluruh bilik.
"Kemana dia?" gumam Abid seraya melangkah menuju lift. Berharap penuh Dinka berada di kamar.
Rasa pedas itu sudah berkurang banyak. Dadanya sudah lega. Hidungnya tak lagi berair, tetapi dia merasa perutnya sedikit sakit.
"Kurang asem anak itu." Dinka mengumpat pelan seraya mengusap perutnya yang mulai melilit. Baru saja dia duduk di ranjang, kini dia harus berlari lagi ke kamar mandi. "Sebanyak apa barang sialan itu dimasukkan ke supku, sampai perutku sakit begini?!"
"Dinka!" Pintu terbuka bersamaan dengan munculnya Abid.
Dinka berhenti dan menoleh. "Aku nggak ada waktu denger permintaan maaf Bee melalui kamu, Mas," celetuknya seraya menyambung langkah.
Abid seketika berhenti melihat Dinka berlari menuju kamar mandi. "Kok dia tau aku mau bilang maaf atas nama Bee?!"
Pengetahuan Dinka ini membuat Abid takjub, sekaligus takut. "Gimana kalau Dinka nggak mau maafin Bee?"
Kenapa Abid jadi khawatir begini? Ya biarkan saja kalau Dinka nggak mau maafin, kan? Kalaupun nggak dimaafkan, Bee juga tidak akan dibuangnya!
"Din ... Dinka!" Abid tanpa sadar berlari ke pintu kamar mandi dan menggedornya.
"Bisa diam nggak sih, Mas! Kita bicara nanti! Lagi fokus ini!"
Suara sayup Dinka membuat Abid menghentikan gedorannya, lalu duduk terhenyak ke ranjang membuat tulisan Olla itu berhamburan.
Abid menunggu detik demi detik dengan perasaan cemas. Tangan pria itu tak henti saling meremas. Duduk berdiri, mondar-mandir, menoleh ke pintu kamar mandi, lalu membuang napas.
Begitu pintu terbuka, Abid menoleh lalu menyerbu Dinka.
"Aku hanya bab, bukan lahiran ... kok kamu khawatirnya kaya gitu?"
"Kamu nggak akan nyuruh aku buang Bee kan?"
"Hah?!" Dinka heran saat Abid mengguncang lengannya kuat-kuat.
"Bee udah kasih wasabi di sup kamu dan nggak mau minta maaf!"
"Ya elah, kirain khawatir sama aku tadi, gak taunya khawatir sama Bee!" Dinka memutar bola matanya malas. Kemudian ditatapnya Abid lekat-lekat.
"Justru aku harus bilang makasih sama Bee, Mas."
"Hah?!" Kali ini Abid yang heran seraya melepaskan pegangan tangannya dari Dinka. "Din, Bee udah bikin kamu sakit kaya tadi loh! Kamu jangan mentolerir kesalahannya."
"Siapa yang begitu?" Dinka mencebik. "Jangan ge er, ya!"
Langkah kakinya terayun menghindari Abid dan duduk di ranjang. Sementara Abid ikut memutar badan mengikuti Dinka.
Pandangan mereka bertemu. "Aku udah tiga hari nggak bab, Mas. Jadi karena Bee, aku bisa bab dengan lancar hari ini."
"What?!"
"Iya, sayangnya kebablasan, jadi aku akan banyak ke kamar mandi malam ini! Semoga nggak ke ganggu kamunya." Dinka mengatakan itu dengan santainya seraya merebah.
"Perutku lega, sekarang. Meski masih mulas."
Abid tentu tidak bisa memeriksa kondisi Dinka tanpa peralatannya, tetapi mungkin pemeriksaan sederhana bisa membantunya.
"Lemes?" Abid duduk dengan menyentuh nadi Dinka di pergelangan tangan. "Udah berapa kali ke belakang?"
"Baru sekali." Dinka pasrah saja. "Aku nggak apa-apa, Mas! Perlu sekardus wasabi biar aku bisa tumbang. Bee bukan apa-apa, aku ada Ace yang kesemuanya melebihi Bee."
"Kamu kelelahan, daya tahan sedang nggak bagus, ditambah diare, kamu bisa drop." Abid berkeras.
"Enggak! Aku bilang enggak ya enggak, Mas! Udah sana, urus Bee. Dia butuh kamu sekarang agar nggak merasa ditinggalkan sama kamu." Dinka justru mendorong tubuh Abid keras-keras, hingga pria itu berpegangan pada Dinka.
"Akh!"
Abid jatuh ke lantai dengan Dinka jatuh di atasnya.
"Ouch!"
Bukan posisi yang membuat orang salah paham, tetapi lutut Dinka menimpa senjatanya, hingga terasa ngilu.
"Oh, maaf-maaf!"
Dinka bergegas bangun meski matanya masih melotot. Dia menyentuh dada Abid yang kenyal dan padat.
Mata Dinka naik turun memeriksa ekspresi Abid yang meringis kesakitan sehingga dia mengusap cepat barang Abid yang tertidur.
Usapan itu membuat bagian itu perlahan mengembang dan memanjang.
"Mas, kamu nggak apa-apa, kan?" Dinka terus mengusap tanpa sadar.
Abid meringis menahan ngilu akibat senjatanya tegang dalam keadaan mengalami benturan. Ngilu sekali dan kebas.
"Stop, Din!"
"Kenapa? Masih sakit?" Dinka yang panik menurunkan pandangan ke bawah, lalu dia berjingkat mundur.
"Mas, kok besar dan berdiri?" Dinka menatap horor suaminya. "Mas itu kenapa?"
"Ya, kenapa lagi emangnya?" Abid mendengus kesal. Itu ulah dia, kan? Masih juga nanya. "Kalau sampai kenapa-napa, kamu mesti tanggung jawab! Jadi orang kok ceroboh sekali! Kamu pikir kamu itu kecil?"
Abid berdiri dengan kedua kaki merenggang. Astaga, celananya sempit jika dia sedang on!
Dinka masih megap-megap di posisi nya. Dia masih duduk dengan menyangga badan dengan kedua tangannya di belakang. "Katanya impoten ... kok bisa berdiri? Kok bisa tumbuh sepanjang itu?"
"Ngapain kamu masih di situ! Bangun!"
Dinka menaikkan wajah menatap Abid yang berkacak pinggang dengan kaki terbuka. "Mas?!"
"Kenapa?"
"Itu ...!"
"Iya, kenapa itu ku? Takut? Mau mundur? Mau kabur? Lupa denda yang kamu ucapkan sendiri?"
"Hah?!"
"Cepat bangun! Tanggung jawab karena udah buat dia sakit dan berdiri!"
"Enggak mau!" Dinka menggeleng seraya terus beringsut mundur. Astaga ... kenapa kena dengkul malah jadi sembuh sih? Apa dengkulnya ajaib?
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Daniah Andini
ngakak
dengkulnya ajaib bisa ngobatin 😁😁
2024-10-29
0
Ayachi
NGAPAIN LO ELUSS DINNN😭😭 SETIDAKNYA ADA RASA MALU DIKITLAH, GIMANAPUN LO DAN ABIS BARU KENAL, MASA LANGSUNG ELUS😭
2024-07-28
0
sur yati
wah obat mujarab dengkul jdi bikin bangun si Otong
2024-01-31
0