Hampir setengah jam lamanya, Abid dan Papa Anton menunggu Dinka yang pergi ke kamar mandi.
"Efek kepedesan semalam?" Papa Anton akhirnya membuka suara. Ia melirik Abid yang begitu tenang menatap layar ponsel.
Abid menarik napas dalam. "Enggak juga sih, Pa. Dia ping—em, tidur setelah makan malam." Seketika Abid mengusap bibirnya yang hampir kelepasan.
Papa Anton menatap anaknya dengan ekspresi heran untuk beberapa saat lamanya. Namun, begitu ingat kalau Abid masih sakit, jadi dia mengalihkan pandangan ke arah lain—arah dimana Dinka pergi tadi.
"Gimana terapinya?" tanya Papa Anton. Beliau tau kalau Abid pergi terapi setiap sebulan dua sampai empat kali. Tetapi beliau tidak pernah menanyakan Abid menjalani terapi apa saja. Yang jelas, dulu Dokter pernah bilang Abid mengalami impotensi selain trauma pasca kecelakaan dan patah kaki hingga beberapa waktu lamanya dia hanya bisa duduk di kursi roda.
"Masih jalan terus," jawab Abid singkat. Dia memang irit penjelasan soal itu. Bukan apa-apa, traumanya sering datang jika melihat kendaraan besar melintas, melihat kobaran api, atau melihat jalanan padat. Bayangan kelam itu datang.
"Sekarang kamu udah nikah, artinya kamu harus bisa handle istri kamu yang tampaknya atraktif. Dia terlihat mandiri dan nikah sebenarnya bukan tujuan utama hidupnya. Kamu harus hati-hati." Papa Anton melepaskan rasa khawatirnya. Sekali lagi Papa Anton menoleh ke arah Abid yang sepertinya setuju dengan apa yang barusan dia katakan.
"Dia bisa pergi kapan saja dia mau, jadi jaga hati kamu. Olla masih meninggalkan luka yang pasti susah kamu sembuhkan. Kepergian Nara juga belum berhenti kamu ratapi," sambung Papa Anton. "Nggak mungkin kan, kamu hidup dengan sakit hati terus?"
Abid menarik napas dan tersenyum getir. Papa Anton menatap putranya miris.
"Kalau Papa, lebih baik menahan malu daripada nikah asal tunjuk jari." Papa Anton tersenyum. "Ya, Dinka baik, aku percaya itu. Keluarganya kenal baik dengan kita, tapi yang mau jalani kehidupan rumah tangga kan, kamu ... jadi gimana ya, Papa nggak yakin—jujur saja."
Abid menipiskan bibir, mengerti benar maksud papanya. "Aku akan berusaha pertahankan pernikahan ini, Pa. Dinka kayaknya orang yang mau diajak kerja sama."
Di sini, Papa Anton yang tidak bisa menjelaskan. Kekurangan Abid adalah tidak memberikan kepuasan batin kepada istrinya. Sebagian orang bercerai, memakai alasan itu. Jadi apa Abid tidak mengerti?
Papa Anton menghela napas. "Kamu tau yang terbaik untuk hidup kamu, Bid. Papa hanya bisa mendoakan yang terbaik. Bagi Papa, nikah atau enggak, kamu tetap anak Papa yang terbaik."
Abid menoleh ke arah Papanya, yang menyambut Abid dengan senyuman penuh kasih sayang. Tangan pria itu terulur untuk menepuk pundak anaknya, sebelum kembali ke arah Dinka pergi. Sejak tadi, Anton penasaran apa yang dia lakukan kalau tidak sakit perut.
Abid bersyukur punya Papa yang membebaskan anaknya menentukan pilihan.
"Itu Dinka!" Papa Anton menujuk Dinka dan langsung bergerak ke mobil dengan menuntun Bee yang sejak tadi duduk dengan memainkan ponselnya. Tak lupa dia membuka bagasi untuk memeriksa bawaan Abid dan Dinka.
Abid menoleh ke arah dimana Dinka muncul. Dia tersenyum mengejek, melihat Dinka yang menatapnya kesal.
"Hehehe, pasti kakinya kram, kelamaan gantung kaki di kloset." Abid membatin, tanpa menyurutkan senyum mengejeknya.
Papa Anton duduk di kursi kemudi, sebelah tangan pria itu terulur untuk mengusap rambut tebal dan lurus milik Bee. "Bisa pake?"
"Bisa Opa." Bee menunjukkan keahliannya memakai sabuk pengaman, lalu mengacungkan jempol.
Abid duduk di kursi belakang, bersebelahan dengan Dinka yang bermuka masam.
Abid berpura-pura membenahi sepatunya, hanya untuk mengejek Dinka. "Gagal, ya? Kasian ...."
Dinka mengetatkan rahangnya seraya mendelik. Ck, sialan memang! Bukannya diomeli atau bilang batal karena ketinggalan pesawat, malah pada anteng dan naik ke mobil. Percuma dia bertapa di kloset setengah jam lebih tadi.
"Kalau masih sakit, beli obat dulu, Bid! Takutnya nanti di pesawat repot. Nggak jadi seneng-seneng di sana." Papa Anton menyarankan, sebab Abid tampak tidak berinisiatif mencarikan obat pereda mulas untuk istrinya. Dia melirik kaca spion, bertemu tatap dengan Dinka yang muram.
Kan? Papa mertua juga mendukung? Heran kan? Kenapa mereka kelewat sabar menghadapi tingkahnya yang keterlaluan?
"Bukannya udah hampir boarding, Pa? Ketinggalan pesawat nanti." Abid beralasan, seraya mengerling Dinka. Hahaha, telak dia mengerjai perempuan itu.
"Naik penerbangan selanjutnya aja. Kaya kemana aja, pake susah cari pesawat lain." Papa Anton menyalakan mobil, setelah memastikan Bee duduk dengan nyaman.
"Udah baikan, Pa. Jalan sekarang aja." Dinka berkata lembut dan manis. Sesuatu yang jarang sekali dilakukannya, walau pada orang tuanya. Oke, sekarang adalah Dinka yang baik hati bagai peri di hadapan sang mertua.
Papa Anton segera menjalankan mobil menuju bandara. Dia tidak mau anaknya ketinggalan pesawat untuk hari spesialnya.
Sepanjang jalan, Dinka sibuk memberi karyawannya arahan selama dia pergi. Meski sudah menitipkan pada Jen, tapi dia tidak terlalu percaya pada kakak iparnya tersebut. Jen pasti tidak akan datang ke Petshop. Dia hanya akan menerima laporan harian di rumah. Kenapa harus Jen? Jelas Darren jijik dengan pekerjaan Dinka yang bergelut dengan bulu. Darren benci kucing sejak kejadian yang menimpa istrinya dulu.
Mama Desy bisa sesekali datang karena lokasi toko mereka dekat, tapi mungkin dia tidak mau—jelas mereka masih dalam mode perang dingin. Papanya? Jangan tanya, budàk korporat itu sudah mirip bang toyib. Berangkat pagi, pulang larut malam. Mana sempat menolong anaknya? Menolong diri sendiri saja susah.
"Haih, gimana ini ...? Aku pikir nggak ada acara pergi-pergi begini! Bikin repot saja." Dinka membatin. Sedetik kemudian, seorang karyawannya menelpon, jadi selain menjawab, Dinka tidak punya pilihan.
Dinka sejenak menatap Abid yang memakai kaca mata hitam dan earpieces. Pria itu bersandar malas di kursinya. Pikirnya tidak apa-apa dia menjawab, toh sudah hampir sampai di bandara.
"Ya, halo-halo." Dinka bersuara pelan, "apa, nggak kedengaran? Tunggu bentar lagi, aku hampir sampai di bandara."
Dinka mematikan panggilannya, lalu kembali duduk dengan benar dan diam. Pandangannya lurus ke depan, kaku, dan tegap.
Tak berapa lama, mereka sampai di Bandara. Ketika hendak turun, ponsel Abid berdering. Dia langsung menjawabnya, seraya turun dan mengambil kopernya di bagasi. Dinka juga menyusul turun dan langsung menelpon balik karyawannya.
"Bee sama aku, Ma," jawab Abid setelah mendengar alasan kenapa mamanya menelpon.
[Syukur kalau Bee ikut kamu, Bid! Mama khawatir tadi. Honey juga bilang nggak tau dimana kakaknya. Duh, anak nakal itu, bikin mama jantungan sampai rumah! Nih, semua Mama omelin, Mbak-mbaknya juga. Kok bisa gitu anak asuhnya ilang nggak sadar! Emang sejak—"
"Ma, udah ya, ini baru sampai Bandara. Nanti Bee pulang sama Papa." Abid menukas seraya menatap Bee yang berdiri di sebelah Papanya.
Setelah mengucap salam, Abid mematikan panggilan, kemudian menginterogasi Bee. "Bee nggak pamit sama Oma, ya?"
"Oma nggak denger paling, Pa! Uncle Papa nggak lihat ributnya tante itu tadi?!" Bee mengendik ke arah Dinka yang menelpon tak jauh dari posisi mereka berdiri.
Yah, mungkin Bee benar.
Bee tersenyum sinis, "ayo pulang Opa." ajak Bee seraya menarik tangan Abid dan menciumnya. "See you, Pa."
Abid mengusap pelan rambut Bee dan mencium anak asuhnya itu. "Jangan nakal, ya. Papa nggak lama kok."
Abid berdiri dan beralih ke Papa Anton. "Nitip anak-anak, ya, Pa. Maaf bikin Papa repot."
Papa Anton tersenyum dan menepuk pundak Abid. "Nikmati liburan kamu, Bid. Jangan pikirkan rumah!"
Papa Anton dan Bee segera naik ke mobil lagi dan pergi meninggalkan mereka berdua.
Bee melirik ponsel sang kakek, lalu dia mematikan mode pesawat yang ada di ponsel tersebut. Bibirnya tersenyum miring. Rencananya berhasil.
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Daniah Andini
bee main intrik2an nih, geregetan juga bikinnya
2024-10-29
0
'Nchie
blm kena batunya nih c bee
2024-01-10
0
Rita Novrita
iihh si bee jahat deh...
2023-12-13
1