"Hah?" Bagitu masuk pesawat yang akan membawa mereka ke Bali, Dinka ternganga, lalu melangkah cepat ke arah Abid yang sudah berjalan mendahuluinya.
"Kenapa?" Abid menoleh saat mendengar suara Dinka yang seperti orang baru pertama naik pesawat. "Jangan bilang kamu baru kali ini naik pesawat?"
Dinka berdecak, matanya melotot tanda tidak terima. "Sembarangan kalau ngomong!"
"Ya siapa tau." Abid mengendik acuh tak acuh. Ia telah menemukan kursi yang akan di dudukinya, lalu berhenti dan menyilakan Dinka duduk lebih dulu. Pasti alasan Olla memesan kursi dekat jendela hanya untuk memotret awan dan di posting di media sosial dengan quotes atau caption tertentu. Dinka juga pasti sama, apalagi modelnya norak begitu.
Cibiran Dinka makin tajam menukik, "Mas, serius naik kelas ekonomi? Kupikir ...."
"Apa?!" sentak Abid ketus.
Dinka menarik napas dalam, lalu berhenti di hadapan Abid. Menatap pria itu tajam tetapi mencemooh. "Yah, kalian orang kaya, jadi biasanya mereka naik kelas bisnis untuk bulan madunya yang spesial. Pantas Mbak Olla mundur ...." Dinka merendahkan suara dan kepalanya condong ke muka Abid yang semalam membuatnya pingsan. "Honeymoon-nya aja mode irit. Mas Abid pelit dan perhitungan, walau terlihat punya segalanya."
Dinka terkekeh saat menjauhkan tubuhnya.
Abid memutar bibirnya kesal. Meski tidak tersinggung, tapi ekspresi Dinka menyebalkan sekali. Suka meremehkan dan dia jengkel setengah mati. "Asal kamu tahu, ya, Din ... ini adalah pilihan Olla! Aku bahkan siap menyewa jet pribadi untuk hari spesial kami, tapi dia menolak. Kamu tahu apa katanya?"
Dinka menghindar dengan bibir mencebik, lalu segera duduk di kursi dekat jendela. Dia menggeleng dengan bodohnya. Harusnya bilang tidak peduli kan? Memangnya dia harus tau apa alasan mantan mempelai suaminya itu milih kelas bawah kaya gini?
Abid duduk setengah membanting tubuhnya. Dia masih menatap tajam Dinka, "Dia mau uangnya ditabung buat investasi. Emang dia kamu, yang hanya mikir foya-foya aja? Olla orangnya perhitungan dan visi ke depannya jelas! Semua yang ada di masa depannya sudah dia rencanakan! Nggak kaya—"
"Aku?!" Dinka menoleh, membalas tatapan Abid tak kalah tajam. Kemudian Dinka tertawa sebab merasa Abid lucu. "Nggak usah merasa nggak enak, Mas. Enak aja! Sama aku tuh nggak usah ditutup-tutupi. Aku emang nggak bisa dibandingkan sama Mbak Olla."
Ada nada getir di sana.
Abid menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya seraya melengos ke arah lain. Ya ampun, kenapa malah mempresentasikan Olla di depan Dinka, sih? Membanding-bandingkan mantan dengan istrinya.
Abid beristigfar, sedikit menyesal telah membuat suasana tidak nyaman bagi Dinka. "Bukan gitu, tapi ini udah jadi kesepakatan aku dan Olla."
Dinka juga membuang muka, tetapi dia tertawa. "Jujur aja, Mas ... nggak apa-apa. Kalau Mas menyesal, boleh kok kalau mau menalak aku sekarang. Mumpung semuanya belum terlanjur jauh."
Dinka punya prinsip. Pria yang susah move on dari mantannya adalah pria yang buruk untuk diajak hidup bersama. Jika mantan kembali, pasti pria akan balikan dengan mantannya tersebut. Sebab pria hanya peduli pada wanita yang pernah meninggalkan kesan terindah bersamanya. Dinka harus menerima kenyataan kalau akan jadi janda sebentar lagi.
Abid bingung dengan sikap Dinka. Kenapa Dinka berpikir kalau dia menyesal? Apa menyebut mantan termasuk kata lain dari menyesal? Abid hanya menjelaskan apa yang direncanakanya dengan Olla, menjawab apa yang Dinka tanyakan.
"Bukan gitu maksud aku, Dinka! Kenapa sih, kamu begini?"
"Apa nggak cukup aku udah baik sama kamu dan keluargamu? Gantiin duduk di pelaminan aja belum cukup, ya? Masih juga harus gantiin honeymoon-nya? Nanti apa lagi yang harus aku ganti, Mas? Gaya hidup kaya Mbak Olla? Servis Mas kaya Mbak Olla?" Mata Dinka basah saat berpaling. Harusnya, Dinka tidak usah merasa begitu, tapi kesan dari semuanya, mengatakan kalau Dinka lambat laun harus mirip Olla. WTF lah!
Abid memilih berhenti mendebat. Sikap Dinka dan Olla memang bertolak belakang. Jika Olla pintar mengolah informasi yang diucapkan seseorang, Dinka adalah orang yang perasa dan terlalu lama mencerna data yang masuk ke otaknya. Ya, sudah! Abid tunggu nanti saja kalau anak ini sudah bisa diajak bicara. Lagian kalau ribut di pesawat, nggak enak sama penumpang lain.
Yang jelas, Dinka yang memulai perdebatan ini. Papa Anton benar, Abid harus menyiapkan hati. Kalau tidak mau patah hati, maka putuskan sekarang. Tapi kalau mencoba bertahan, Abid harus sabar. Abid hanya tidak mau mereka menyesal.
Abid kemudian memakai kaca mata dan earpiecesnya. Tak lama pengumuman keberangkatan disuarakan, Abid mencoba tidur di dua jam perjalanan ini.
***
Dinka mabuk udara, sehingga ketika sampai di bandara Ngurah Rai, Dinka langsung menuju toilet. Dia menahan perasaan ingin muntah sepanjang hampir dua jam perjalanan, sebab malu pada Abid dan semua penumpang. Astaga, itu sungguh menyiksa.
Pada akhirnya, Dinka tak bisa lagi menahan lebih lama perasaan itu. Dia menumpahkan semua isi perutnya, bahkan sebelum menyentuh tepian kloset. Mengenai baju dan jilbabnya. Ya ampun.
Tuntas semua hasratnyà, Dinka menuju wastafel, membersihkan mulut dan wajahnya.
"Din ... perlu bantuan?" Abid harusnya tidak usah peduli pada apa yang terjadi pada Dinka. Toh Dinka sudah membuatnya kesal. Tapi mengingat betapa baiknya gadis itu—di luar sikapnya yang menyebalkan, Abid mencoba mengusir perasaan masa bodohnya.
"Aku butuh baju, Mas," jawab Dinka dengan napas yang masih besar-besar dan tersengal. Dadanya panas dan lidahnya seperti terbakar.
Abid menoleh. "Lah, tas kamu dimana?"
"Tadi aku letakkan di atas koper kamu. Masa nggak kebawa sama kamu, Mas?" Dinka segera keluar. Panik juga. Hilang bagaimana? Ada dompet dan uangnya di sana. Dia berniat beli baju di sini, sebab tak ada yang mengantarkan baju ke hotel tadi.
Ya ampun, semua orang dirumah tidak ada yang peduli padanya. Mungkin setelah semalam, Dinka beneran dicoret dari KK Papa Rendi.
"Serius Mas?"
"Ya Allah, Din ... ngapain aku bohong?!" Abid mendorong koper ke hadapannya. Sekali lagi dia kesal dituduh bohong. "Ayo keluar! Nggak enak aku sama orang."
Dinka ikut saja saat Abid membawanya keluar dari toilet. Memang tidak ada pengunjung toilet ini yang peduli, tapi Abid tetap sungkan melihat wanita keluar masuk toilet.
"Aku pikir tadi kamu bawain, Mas." Dinka beneran tidak melihat tas itu dimana-mana.
"Aku pikir udah kamu bawa sendiri." Abid tadi sibuk sama Mamanya, terus check in, dan boarding tergesa-gesa. Jadi tidak mengecek bawaan lagi, apalagi punya Dinka. Sejak awal tidak ada titip-titipan barang, jadi ya, Abid sebodo amat.
"Kan aku taruh di atas koper kamu." Dinka tidak mau menyalahkan, tapi sungguh, Dinka mengeluarkan tas itu dan meletakkan di ... di ... tunggu!
Dinka sama sekali tidak menyentuh tas itu, dan Abid pasti tidak berpikir Dinka menitipkannya. Astaga.
"Bee!" Dinka menjeritkan nama anak itu dalam hati. "Pasti ini ulah kancil kecil yang licik itu!"
"Ya jadi gimana?" Pertanyaan Abid membuat pikiran Dinka buyar.
"Baju kamu kotor."
"Mas, belikan aku baju, ya. Nanti uangnya aku ganti." Dinka memohon.
"Kamu lupa aku orangnya pelit dan perhitungan?" Abid melirik Dinka sinis.
"Hah?!"
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Daniah Andini
bener2 ya namanya lebah, nyengatnya ngga kira2
2024-10-29
0
'Nchie
ngapain harus bayar Din ..minta aja kan sama suami wkwkwk
2024-01-10
0
Dee Na
lah, ngapain baru nyadar skrg si Dinka. salah sendiri kan menawarkan diri, SDH dikasi tau SM ortu dan saudara jg ngeyel
2023-05-02
4